AGRA Mendukung Aksi Petani Jambi untuk Pembebasan Azhari dan Petani yang Ditahan
22 Mei, 2018Aksi 600 orang kaum tani pemukim dan pengarap dari lereng 
pegunungan Nilo dan Lembah Masurai untuk menuntut pembebasan rekannya yang 
kriminalisasi dan menuntut penghentian operasi gabungan oleh Taman Nasional 
Kerinci Seblat (TNKS), [foto:AGRA]
MRB, Jakarta – Pimpinan Pusat Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) 
menyampaikan dukungan atas aksi 600 petani pemukim serta pengarap dari lereng 
pegunungan Nilo dan Lembah Masurai yang menuntut pembebasan petani korban 
kriminalisasi. Aksi tersebut juga menuntut penghentian operasi gabungan oleh 
Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) yang melakukan provokasi dan adu domba 
antara petani penggarap dengan penduduk asli.Aksi yang diikuti oleh kurang 
lebih enam ratus orang petani di Mapolda Jambi dan dilanjutkan ke Pengadilan 
Negeri Jambi bertepatan dengan agenda sidang Ahmad Azhari.Ketua umum AGRA, 
menjelaskan kriminalisasi yang dilakukan oleh TNKS terhadap Ahmad Azhari 
aktivis Serikat Petani Indonesia (SPI) Kabupaten Merangin dan 2 orang lainya  
adalah upaya pemerintah untuk mengusir para petani pemukim dan penggarap yang 
berada di Lereng Nilo dan Lembah Masurai yang sudah sejak lama telah dilakukan. 
Masalah ini berawal Pada tanggal 27 Januari 2018 ketika terjadi penyanderaan 
terhadap Azhari dan dua orang petani oleh ratusan warga desa Renah Alai, 
Kecamatan Jangkat, Kabupaten Merangin. Penyanderaan tersebut berujung pada 
penangkapan ke tiga aktivis petani yang dianggap sebagai dalang dari perambahan 
liar dan perusakan hutan di kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat 
(TNKS).Menurut Rahmat, penyerangan dan penyanderaan sudah pasti direncanakan 
sejak awal, dan hal ini adalah provokasi negara untuk mempertentangkan sesama 
warga negara dengan berlindung di balik slogan perlindungan kawasan hutan dari 
perambah liar, termasuk menggunakan isu jual beli kawasan hutan. Pengunaan 
argumentasi hukum tentang kehutanan, termasuk taktik adu domba dan bahkan 
pembentukan Tim Operasi Gabungan ditujukan demi melindungi keberadaan TNKS, 
sebagai sebuah institusi negara yang menguasai 1,3 juta hektar hutan di Pulau 
Sumatra disatu sisi, dan disisi yang lainnya adalah untuk melakukan pengusiran 
terhadap petani pemukim dan pengarap.Tidak berselang lama, setelah penangkapan 
Azhari dan dua orang petani. TNKS melakukan Operasi Gabungan dengan melibatkan 
Pihak Pemerintah Daerah Merangin, Polhut, Polisi dan TNI selama 4 hari. Mereka 
telah melakukan penggusuran kepada petani pemukim dan penggarap di Desa Sungai 
Lalang (rumah Hitam).Tanpa rasa kemanusiaan Tim operasi Gabungan menghancurkan 
30 pondok dengan cara di gesek dengan chainsaw dan di tarik dengan tali tambang 
hingga roboh. Mereka sama sekali tidak menghiraukan tangisan dan jeritan para 
ibu-ibu serta anak-anak petani yang kehilangan tempat tinggalnya. Tim operasi 
Gabungan juga memblokir jalan akses menuju Rumah Hitam, sehingga warga dari 
desa lain yang ingin memberikan dukungan tidak dapat masuk, mereka malah 
mendapatkan intimidasi oleh tim gabungan.Menurut Rahmat penggunaan Tim Operasi 
Gabungan TNKS hanyalah bagian kecil dari kebijakan Agraria Jokowi-JK yang tidak 
berpihak bagi kaum tani pemukim dan penggarap. Pemerintah Jokowi-JK hanya 
melihat dari sudut pandang perlindungan kawasan hutan sebagai jaminan hutang 
atas investasi bagi para pemodal besar. Negara telah melupakan tanggung 
Jawabnya yang secara konstitusi untuk memberikan perlindungan hak hidup seluruh 
warga negara, terutama hak atas tanah yang sifatnya melekat bagi seluruh 
petani.Ribuan warga pemukim dan penggarap yang disebut-sebut sebagai perambah 
hutan, pendatang liar, atau dengan sebutan diskriminatif lainnya itu, tidak 
lain adalah warga negara yang tidak pernah dipenuhi hak konstitusionalnya dalam 
hal kepastian hak atas tanah. Keadaan tersebut tidak lain disebabkan oleh 
adanya monopoli penguasaan tanah oleh perkebunan swasta yang menguasai jutaan 
hektar tanah, termasuk kehutanan dan Taman Nasional.Sejak tahun 1920-an silam, 
kawasan hutan yang saat ini menjadi objek sengketa, adalah kawasan Suaka Alam 
yang dikuasai secara politik oleh Pemerintahan Kolonial Belanda. Jutaan rakyat 
Indonesia, secara khusus rakyat di kawasan Bukit Barisan di Pulau Sumatera, 
ketika itu hidup dalam tekanan penjajah, baik secara ekonomi, politik maupun 
kebudayaan. Setelah Indonesia merdeka, kawasan suaka alam tidak pernah 
dibagikan kepada rakyat. Negara justru menjadikannya kawasan Taman Nasional 
(TNKS) sebagai akuarium hidup bagi satwa dan tumbuhan liar, demi mengambil 
keuntungan melalui kucuran dana dari lembaga donor dan bank-bank asing dan 
sebagian tanah tersebut diberikan kepada pengusaha pembabat kayu, melalui izin 
Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Sementara rakyat di sekitar TNKS tetap dibiarkan 
hidup dalam keterbatasan ekonomi, utamanya keterbatasan penguasaan tanah. 
Bahkan sebagian dari mereka ada yang dipindahkan ke daerah lain melalui program 
transmigrasi.Pasca Orde Baru berakhir, rakyat dari berbagai propinsi menguasai 
secara terbatas dan merubah tanah-tanah serta kekayaan hutan bekas HPH menjadi 
lahan produktif. Tidak hanya berhasil menghidupi keluarga sendiri, tapi hasil 
kerja petani penggarap tersebut mampu memperlancar perputaran ekonomi di 
kawasan Pegunungan Nilo dan Masurai, bahkan menyumbang pendapatan bagi 
Kabupaten Merangin secara umum.Upaya merubah tanah bekas pembabatan HPH menjadi 
produktif bukan lah pekerjaan yang ringan, kaum tani pemukim dan penggarap 
dihadapkan dengan keterbatasan ekonomi dan pengetahuan dalam membuka kebun kopi 
sebagai sandaran ekonomi yang diharapkan dimasa depan. Tidak ada satupun campur 
tangan kebijakan Negara yang andil dalam upaya kaum tani tersebut, tidak ada 
subsisi pupuk, tidak ada penyediaan benih unggul, tidak ada pemberian alat dan 
mesin yang mempermudah produksi bahkan tidak ada satupun penyuluhan cara 
penanaman kopi yang baik bagi kaum pemukim dan penggarap.Kebijakan Negara 
justru menjadikan lahan-lahan yang telah produktif tersebut justru masuk dalam 
program perluasan TNKS. Perluasan TNKS membuat petani pemukim dan penggarap 
dihadapkan dengan usaha pengusiran menggunakan instrumen kekerasan negara. 
Pengusiran, pembakaran pondok dan pembabatan 30 Ha kebun kopi pada tahun 2010 
yang lalu merupakan bukti nyata mengenai pengusiran maupun tindakan-tindakan 
kekerasan negara terhadap petani. Hingga saat ini Negara selalu menggiring 
sentimen publik melalui penyebutan petani pemukim dan penggarap sebagai 
perambah, perusak hutan, masyarakat eksodus, pendatang liar, dan 
sejenisnya.Hingga saat ini, Pemerintah Kabupaten Merangin, Dinas Kehutanan dan 
Lingkungan Hidup, termasuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) 
dan jajaran Pemerintah Pusat, tidak pernah serius menjalankan Reforma Agraria 
yang sejati, sebagai tindakan politik yang dapat menjamin kepastian hak petani 
pemukim dan penggarap, termasuk hak suku asli atas tanah. Menurut Rahmat, 
jaminan kepastian Hak oleh negara adalah jalan satu-satunya penyelesaian atas 
masalah Konflik.Karena jaminan kepastian hak tersebutlah satu-satunya jalan 
penyelesaian yang sebenarnya. Baik jaminan penghidupan layak bagi warga asli di 
Kecamatan Lembah Masurai dan Kecamatan Jangkat, maupun jaminan hak atas tanah 
bagi masyarakat yang datang dari berbagai propinsi dan daerah.Kami 
berkesimpulan, bahwa konflik yang saat ini terjadi bukanlah konflik sosial 
semata, melainkan konflik yang lahir dari sistem monopoli tanah, yang sengaja 
dipelihara oleh negara secara terus menerus. Suku-suku bangsa asli maupun 
masyarakat yang datang dari berbagai propinsi dan daerah, adalah korban dari 
sistem yang sangat terbelakang, yaitu monopoli tanah. Kami mendukung penuh 
seluruh petani pemukim dan penggarap bersama masyarakat suku bangsa asli untuk 
melawan politik pecah belah dan berbagai skema monopoli tanah oleh TNKS.Secara 
khusus kami menuntut untuk pembebasan tanpa syarat kepada Ahmad Azhari serta 
dua orang petani yang saat ini ditahan oleh Kejaksaan Negeri Jambi dan kasusnya 
sedang dalam persidangan. Kami juga menuntut kepada pemerintah Jokowi-JK untuk 
menghentikan operasi penggusuran dan berbagai bentuk intimidasi lainya terhadap 
petani pemukim serta pengarap di pegunungan Nilo dan Masurai. Kami juga 
menuntut kepada TNKS untuk menghentikan provokasi dan adu domba antar petani 
penggarap dan masyarakat asli, baik menggunakan sentimen antar suku, agama dan 
ras tertentu. Terakhir kami mendesak kepada Pemerintah Jokowi untuk mencabut 
klaim TNKS dan memastikan hak atas tanah kepada para petani pemukim dan 
penggarap serta maysarakat asli..

Kirim email ke