Terima kasih banyak sudah sharing cerita para anak buah dedengkot "imperialis" 
Sukarno melawan imperialis Belanda!!  

    On Wednesday, May 23, 2018 5:07 AM, "jonathango...@yahoo.com [GELORA45]" 
<GELORA45@yahoogroups.com> wrote:
 

     


Kisah Herlina Kasim, Sebulan di Hutan Belantara Hingga Merangkak di Bawah 
Desingan Peluru Belanda
 Senin, 30 April 2018 17:19
INTISARIHerlina Kasim di antara prajurit Pembebasan Irian Barat 

TRIBUNJOGJA.COM - Meski bukan seorang pria, hati Herlina Kasim ikut terketuk 
saat Ibu Pertiwi memanggilnya untuk ikut membebaskan Irian Barat dari Belanda. 
Dia tercatat sejarah sebagai wanita pertama TNI yang dengan sukarela berjibaku 
di rimba perawan Irian untuk bergerilya.
Waktu sudah menunjukkan pukul 5.40 pagi hari. Angin Mamiri  yang akan membawa 
Herlina Kasim dengan teman-temannya menerobos ke Irian Barat masih 
terapung-apung di tengah laut.
Kompas tak ada, yang ada malah  kabut tebal. Tidak ada jalan lain untuk masuk 
teluk dan harus menunggu sampai kabut agak reda. Daripada menunggu di kapal, 
mereka turun sebentar. Alangkah kagetnya. Yang disinggahi justru pos tentara 
Belanda.

Untung tidak ada penjaga. Tanpa pikir panjang, mereka seketika kembali ke 
perahu. Motor dihidupkan, terus meluncur. Arah dikira-kira saja, asal sudah 
bisa keluar dari lubang buaya.
Fajar sudah mulai menyingsing, waktu mereka tiba di perairan musuh. Tanpa punya 
kompas mereka yakin sudah menuju ke arah yang benar. Bendera Belanda dipasang, 
demi berhasilnya usaha mereka. Lihai, tetapi apa boleh buat.
Pulau Waigeo di mana sebagian dari Pasukan Gerilya (PG) 500 mendarat, sudah 
berada di depan mata. Namun di mana posnya?
Bendera merah putih biru diganti dulu dengan merah putih. Sangat berbahaya, 
tetapi tidak ada jalan lain. Mereka sudah diberi pesan, di sekitar Pulau Waigeo 
harus menggunakan bendera Indonesia. Salah-salah bisa diganyang oleh kawan 
sendiri.
Akhirnya mereka toh bisa bertemu dengan rekan-rekannya. Pos mereka di Teluk 
Arago. Kapal tak dapat dinaikkan ke darat, karena sudah telanjur air surut.. 
Padahal kapal sama dengan urat nadi.
Tanpa kapal mereka tidak mungkin dapat berkutik. Lagi pula kapal tersebut dapat 
memberi petunjuk kepada musuh. Tetapi sekarang tak ada jalan lain, daripada 
menunggu sampai sore hari.
Selama itu awak Angin Mamiri menggunakan kesempatan untuk terjun ke laut. Badan 
rasanya sudah ketat. Beberapa hari tidak pernah menyentuh air. Baru 
enak-enaknya mandi, tiba-tiba ada seorang berteriak, “Kapal musuh!”
Kapalnya memang terlihat memakai bendera merah putih. Tetapi tidak mungkin 
kapal Republik Indonesia berlayar dengan seenaknya di perairan tersebut. 
Herlina merangkak keluar di bawah hujan peluru. Bagaimanapun juga mereka yakin, 
Belanda tidak akan berani mendarat.
Hujan peluruLetak Teluk Arago terlalu masuk ke darat dan pohon-pohon tumbang 
bergeletakan di mana-mana. Posisi mereka sekarang sangat berbahaya, oleh karena 
sudah diketahui musuh.
Satu-satunya jalan untuk mempertahankan diri ialah main kucing-kucingan di 
pulau-pulau kosong sekitarnya. Apa yang harus mereka lakukan dalam keadaan 
segawat itu?
Suara peluru terakhir baru saja lenyap, sewaktu Komandan J. Komontoy membuat 
rencana untuk meluncurkan sebagian pasukannya, agar musuh tidak terus-menerus 
menghadang mereka. Sungguh suatu putusan yang sangat berani.
Dua puluh tiga orang yang akan ikut. Sisanya harus mengembara di hutan, 
termasuk Herlina.“Sebulan lamanya kami mengembara di hutan belantara,” kata 
Herlina.
“Juli 1962, kami mendarat di Irian Barat. Makanan yang dibawa sudah habis, 
binatang-binatang tak ada, kecuali kerang di tepi pantai. Itu pun harus dimakan 
mentah. Karena kami tidak boleh menyalakan api. Takut ketahuan musuh.”
Herlina tidak doyan. Jadi terpaksa hanya minum air melulu, kalau tidak bisa 
menemukan makanan lain. Pulau Waigeo tandus. Para gerilyawan pada umumnya warga 
masyarakat dari daerah sekitarnya. Mereka tidak mengalami kesulitan menu.
Penduduk setempat sudah biasa makan ikan mentah-mentah, segera setelah 
ditangkap.
Selama pengembaraan tersebut Herlina bertemu dengan wanita Irian Barat pertama, 
istri penunjuk jalan mereka, Domingus. Herlina masih terkesan bila dia 
mengenang pengalaman mereka bersama.
“Kami mandi sama-sama di sungai, jalan bersama-sama.” Ibu Domingus malah juga 
dia buatkan pakaian baru. “Padahal saya jarang memegang jarum dan benang.”
Tentunya bukan dari bahan baru, hanya rok lama yang dipermak. Herlina masih 
geli kalau teringat akan hasil kerjanya. “Rupanya, jangan ditanya.”
Suatu hari Domingus datang menghadap. Apa gerangan yang dikehendaki?
“Ibu,” katanya “... apakah rambut  istri saya tak dapat dipotong seperti Ibu?”
Sungguh suatu permintaan yang sangat sukar. Pertama, karena rambutnya lebih 
keriting. Kedua, Herlina tidak pernah mengikuti kursus menata rambut.
Namun dia tak mau mengecewakan harapan Domingus. Keesokan harinya mereka 
bersama menuju ke sungai untuk mencuci rambut dulu, seperti dalam salon 
benar-benar. Sesudah agak terurai, rambut istri Domingus dipotong model poni.
“Saya tak berani memotong lebih dari itu. Takut menyalahi adat kebiasaan.”
Sisa rambut diikat ke belakang dengan tali serat pisang, seperti ekor kuda. 
Bagaimanapun juga, Domingus puas. Dengan bangga dia memperkenalkan istrinya 
kepada anggota pasukan lain.
“Selama di Irian Barat, saya tak pernah mengalami sesuatu yang kurang sedap 
dari siapa pun juga,” Herlina menandaskan, “Dari orang-orang yang sedang mabuk 
maupun yang sadar.”
Bukan sesuatu yang aneh, kalau dia dulu pukul 3 dini hari masih berada di 
tengah hutan belantara dengan pengendara jip.
Dikalungi emasHerlina orangnya memang berani. Waktu duduk di SMA dia sudah 
mempunyai angan-angan untuk mengelilingi Tanah Air.
Lamunan itu tak sekadar lamunan. Sesudah lulus dia benar-benar berangkat 
setelah mengikuti Tour de Java, naik sepeda bersama Dorine The. Rutenya, 
Jakarta - Jawa Timur - Bandung, sepanjang 1.900 km.
Apakah ada pengalaman yang mengesankan selama dalam perjalanan?
“Banyak sekali. Kesan utama ialah, bahwa tugas kita jauh dari selesai. Masih 
banyak daerah yang sangat terpencil, sehingga kurang hubungannya dengan dunia 
luas dengan segala macam konsekuensinya. Kesulitan bahasa pada umumnya tidak 
ada. Mereka semuanya sedikit banyak dapat berbahasa Indonesia berkat bersekolah 
di madrasah.”
Indonesia memang sangat luas dengan penduduk yang beraneka ragam. Di daerah 
Indragiri misalnya, wanita-wanitanya masih memakai tutup muka. Mereka juga 
hanya diperbolehkan keluar rumah di waktu malam. “Bagaimana caranya menemui 
mereka,” pikir Herlina.
Syarat mutlak untuk bisa  mencapai hasil ialah, di mana-mana harus menyesuaikan 
diri dengan keadaan. Jangan sekali-kali menyinggung perasaan penduduk setempat.
“Bila mereka hanya boleh keluar pada malam hari, baiklah pertemuan kami 
selenggarakan juga pada malam hari,” pikirnya.
Para ibu dikumpulkan dan diberi “kuliah” tentang tugas dan kewajiban kaum 
wanita.
Apakah setelah “indoktrinasi” tersebut mereka akan tenggelam lagi dalam keadaan 
semula?
Dalam hal ini Herlina sangat optimistis. “Masa dari sekian banyak wanita tidak 
ada satu pun yang berani memberontak?”
Pernah dia tiba di suatu daerah yang baru saja dilanda wabah influenza. 
Kebetulan dia membawa tablet antiinfluenza, yang segera saja dia bagi-bagikan. 
Tetapi sebelum mereka mau menelan, Herlina harus memberi contoh dulu.
Mereka agaknya merasa takut kalau-kalau pendatang tersebut hanya ingin membuat 
gara-gara. Namun ketika benar-benar bisa sembuh, kegirangan mereka tidak dapat 
dilukiskan. Herlina didukung-dukung dan dianggap”dewa” penyelamat.
Walau pun sudah mendapat gelar Srikandi Indonesia dan sudah pernah merasakan 
betapa beratnya pending emas yang dikalungkan di lehernya, di samping sedikit 
banyak juga ikut berjuang untuk kembalinya Irian Barat ke pangkuan Ibu Pertiwi, 
Herlina masih tetap saja Herlina biasa.
Sebagai informasi, Herlina sering dikaitkan dengan pending emas karena ia 
mendapat hadiah pending emas sebagai perempuan pertama yang didaratkan ke Irian 
Barat dalam usaha mengembalikan wilayah itu ke pangkuan RI.
Presiden Sukarno pun memberinya hadiah berupa emas yang berbentuk seperti 
“kendi kecil” yang disebut pending, beratnya sekitar 1-2 kg..
“Perjuangan saya tak ada artinya,” katanya. “Saya masih belum apa-apa.” Banyak 
yang sudah dialaminya sejak Herlina dilahirkan tanggal 24 Februari 1941. Namun 
mungkin yang paling mengesankan ialah waktu dia tiba di Jakarta untuk pertama 
kalinya dari Irian Barat.
Pada saat yang sama kebetulan juga berlabuh sebuah kapal niaga Pelni. Mas 
Harkomojo, mualim  kapal tersebut ternyata juga ingin menyongsong kedatangan 
Srikandinya.
Pertemuan yang menentukan bagi hari depan mereka.
Setelah perjuangan merebut Irian Barat berakhir, Herlina meniti karier di 
Kementerian Luar Negeri. Hingga akhirnya dia meninggal dunia pada di RSPAD 
Jakarta pada Selasa malam, 17 Januari 2017, pukul 22.45 WIB di usia 75 tahun.. 
(Ditulis oleh Jacob Oetama, dalam buku Sketsa Tokoh ­– Intisari)--Artikel ini 
sudah tayang di INTISARI dengan judul Kisah Herlina Kasim: Merangkak di Bawah 
Hujan Peluru Guna Merebut Irian Barat Dari Belanda

Artikel ini telah tayang di Tribunjogja.com dengan judul Kisah Herlina Kasim, 
Sebulan di Hutan Belantara Hingga Merangkak di Bawah Desingan Peluru Belanda, 
http://jogja.tribunnews.com/2018/04/30/kisah-herlina-kasim-sebulan-di-hutan-belantara-hingga-merangkak-di-bawah-desingan-peluru-belanda?page=all.

Editor: mon

  #yiv8893485510 #yiv8893485510 -- #yiv8893485510ygrp-mkp {border:1px solid 
#d8d8d8;font-family:Arial;margin:10px 0;padding:0 10px;}#yiv8893485510 
#yiv8893485510ygrp-mkp hr {border:1px solid #d8d8d8;}#yiv8893485510 
#yiv8893485510ygrp-mkp #yiv8893485510hd 
{color:#628c2a;font-size:85%;font-weight:700;line-height:122%;margin:10px 
0;}#yiv8893485510 #yiv8893485510ygrp-mkp #yiv8893485510ads 
{margin-bottom:10px;}#yiv8893485510 #yiv8893485510ygrp-mkp .yiv8893485510ad 
{padding:0 0;}#yiv8893485510 #yiv8893485510ygrp-mkp .yiv8893485510ad p 
{margin:0;}#yiv8893485510 #yiv8893485510ygrp-mkp .yiv8893485510ad a 
{color:#0000ff;text-decoration:none;}#yiv8893485510 #yiv8893485510ygrp-sponsor 
#yiv8893485510ygrp-lc {font-family:Arial;}#yiv8893485510 
#yiv8893485510ygrp-sponsor #yiv8893485510ygrp-lc #yiv8893485510hd {margin:10px 
0px;font-weight:700;font-size:78%;line-height:122%;}#yiv8893485510 
#yiv8893485510ygrp-sponsor #yiv8893485510ygrp-lc .yiv8893485510ad 
{margin-bottom:10px;padding:0 0;}#yiv8893485510 #yiv8893485510actions 
{font-family:Verdana;font-size:11px;padding:10px 0;}#yiv8893485510 
#yiv8893485510activity 
{background-color:#e0ecee;float:left;font-family:Verdana;font-size:10px;padding:10px;}#yiv8893485510
 #yiv8893485510activity span {font-weight:700;}#yiv8893485510 
#yiv8893485510activity span:first-child 
{text-transform:uppercase;}#yiv8893485510 #yiv8893485510activity span a 
{color:#5085b6;text-decoration:none;}#yiv8893485510 #yiv8893485510activity span 
span {color:#ff7900;}#yiv8893485510 #yiv8893485510activity span 
.yiv8893485510underline {text-decoration:underline;}#yiv8893485510 
.yiv8893485510attach 
{clear:both;display:table;font-family:Arial;font-size:12px;padding:10px 
0;width:400px;}#yiv8893485510 .yiv8893485510attach div a 
{text-decoration:none;}#yiv8893485510 .yiv8893485510attach img 
{border:none;padding-right:5px;}#yiv8893485510 .yiv8893485510attach label 
{display:block;margin-bottom:5px;}#yiv8893485510 .yiv8893485510attach label a 
{text-decoration:none;}#yiv8893485510 blockquote {margin:0 0 0 
4px;}#yiv8893485510 .yiv8893485510bold 
{font-family:Arial;font-size:13px;font-weight:700;}#yiv8893485510 
.yiv8893485510bold a {text-decoration:none;}#yiv8893485510 dd.yiv8893485510last 
p a {font-family:Verdana;font-weight:700;}#yiv8893485510 dd.yiv8893485510last p 
span {margin-right:10px;font-family:Verdana;font-weight:700;}#yiv8893485510 
dd.yiv8893485510last p span.yiv8893485510yshortcuts 
{margin-right:0;}#yiv8893485510 div.yiv8893485510attach-table div div a 
{text-decoration:none;}#yiv8893485510 div.yiv8893485510attach-table 
{width:400px;}#yiv8893485510 div.yiv8893485510file-title a, #yiv8893485510 
div.yiv8893485510file-title a:active, #yiv8893485510 
div.yiv8893485510file-title a:hover, #yiv8893485510 div.yiv8893485510file-title 
a:visited {text-decoration:none;}#yiv8893485510 div.yiv8893485510photo-title a, 
#yiv8893485510 div.yiv8893485510photo-title a:active, #yiv8893485510 
div.yiv8893485510photo-title a:hover, #yiv8893485510 
div.yiv8893485510photo-title a:visited {text-decoration:none;}#yiv8893485510 
div#yiv8893485510ygrp-mlmsg #yiv8893485510ygrp-msg p a 
span.yiv8893485510yshortcuts 
{font-family:Verdana;font-size:10px;font-weight:normal;}#yiv8893485510 
.yiv8893485510green {color:#628c2a;}#yiv8893485510 .yiv8893485510MsoNormal 
{margin:0 0 0 0;}#yiv8893485510 o {font-size:0;}#yiv8893485510 
#yiv8893485510photos div {float:left;width:72px;}#yiv8893485510 
#yiv8893485510photos div div {border:1px solid 
#666666;min-height:62px;overflow:hidden;width:62px;}#yiv8893485510 
#yiv8893485510photos div label 
{color:#666666;font-size:10px;overflow:hidden;text-align:center;white-space:nowrap;width:64px;}#yiv8893485510
 #yiv8893485510reco-category {font-size:77%;}#yiv8893485510 
#yiv8893485510reco-desc {font-size:77%;}#yiv8893485510 .yiv8893485510replbq 
{margin:4px;}#yiv8893485510 #yiv8893485510ygrp-actbar div a:first-child 
{margin-right:2px;padding-right:5px;}#yiv8893485510 #yiv8893485510ygrp-mlmsg 
{font-size:13px;font-family:Arial, helvetica, clean, sans-serif;}#yiv8893485510 
#yiv8893485510ygrp-mlmsg table {font-size:inherit;font:100%;}#yiv8893485510 
#yiv8893485510ygrp-mlmsg select, #yiv8893485510 input, #yiv8893485510 textarea 
{font:99% Arial, Helvetica, clean, sans-serif;}#yiv8893485510 
#yiv8893485510ygrp-mlmsg pre, #yiv8893485510 code {font:115% 
monospace;}#yiv8893485510 #yiv8893485510ygrp-mlmsg * 
{line-height:1.22em;}#yiv8893485510 #yiv8893485510ygrp-mlmsg #yiv8893485510logo 
{padding-bottom:10px;}#yiv8893485510 #yiv8893485510ygrp-msg p a 
{font-family:Verdana;}#yiv8893485510 #yiv8893485510ygrp-msg 
p#yiv8893485510attach-count span {color:#1E66AE;font-weight:700;}#yiv8893485510 
#yiv8893485510ygrp-reco #yiv8893485510reco-head 
{color:#ff7900;font-weight:700;}#yiv8893485510 #yiv8893485510ygrp-reco 
{margin-bottom:20px;padding:0px;}#yiv8893485510 #yiv8893485510ygrp-sponsor 
#yiv8893485510ov li a {font-size:130%;text-decoration:none;}#yiv8893485510 
#yiv8893485510ygrp-sponsor #yiv8893485510ov li 
{font-size:77%;list-style-type:square;padding:6px 0;}#yiv8893485510 
#yiv8893485510ygrp-sponsor #yiv8893485510ov ul {margin:0;padding:0 0 0 
8px;}#yiv8893485510 #yiv8893485510ygrp-text 
{font-family:Georgia;}#yiv8893485510 #yiv8893485510ygrp-text p {margin:0 0 1em 
0;}#yiv8893485510 #yiv8893485510ygrp-text tt {font-size:120%;}#yiv8893485510 
#yiv8893485510ygrp-vital ul li:last-child {border-right:none 
!important;}#yiv8893485510 

   
  • [GELORA45] Kisah Herlina... jonathango...@yahoo.com [GELORA45]
    • Re: [GELORA45] Kisa... Tatiana Lukman jetaimemuc...@yahoo.com [GELORA45]
      • Re: [GELORA45] ... Jonathan Goeij jonathango...@yahoo.com [GELORA45]
        • Re: [GELORA... Tatiana Lukman jetaimemuc...@yahoo.com [GELORA45]
          • Re: [GE... Jonathan Goeij jonathango...@yahoo.com [GELORA45]
            • Re... Tatiana Lukman jetaimemuc...@yahoo.com [GELORA45]
              • ... Jonathan Goeij jonathango...@yahoo.com [GELORA45]
                • ... Tatiana Lukman jetaimemuc...@yahoo.com [GELORA45]
    • Re: [GELORA45] Kisa... Jonathan Goeij jonathango...@yahoo.com [GELORA45]

Kirim email ke