https://news.detik.com/kolom/d-4187813/sengkarut-status-bencana-gempa-ntb

Rabu 29 Agustus 2018, 14:46 WIB


   Kolom


 Sengkarut Status Bencana Gempa NTB

Yuli Isnadi - detikNews
<https://connect.detik.com/dashboard/public/yuliisnadi>
Yuli Isnadi <https://connect.detik.com/dashboard/public/yuliisnadi>
Share *0* <https://news.detik.com/kolom/d-4187813/sengkarut-status-bencana-gempa-ntb#> Tweet <https://news.detik.com/kolom/d-4187813/sengkarut-status-bencana-gempa-ntb#> Share *0* <https://news.detik.com/kolom/d-4187813/sengkarut-status-bencana-gempa-ntb#> 1 komentar <https://news.detik.com/kolom/d-4187813/sengkarut-status-bencana-gempa-ntb#>
Sengkarut Status Bencana Gempa NTB Foto: Dok. CT Arsa Foundation
<https://news.detik.com/kolom/d-4187813/sengkarut-status-bencana-gempa-ntb#> <https://news.detik.com/kolom/d-4187813/sengkarut-status-bencana-gempa-ntb#> <https://news.detik.com/kolom/d-4187813/sengkarut-status-bencana-gempa-ntb#> <https://news.detik.com/kolom/d-4187813/sengkarut-status-bencana-gempa-ntb#>
*Jakarta* -

Langkah pemerintah untuk tidak menetapkan gempa bumi di NTB sebagai bencana nasional adalah tepat. Namun, pengelolaan bencana alam secara keseluruhan perlu dikritisi.

Beberapa hari terakhir banyak desakan yang meminta pemerintah menaikkan status bencana. Fadli Zon yang paling menonjol. Bahkan di sebuah cuitan ia menuntut status bencana nasional lantaran seorang kepala desa curhat, wilayahnya belum dikunjungi Presiden Jokowi padahal rusak parah. Tidak jelas bagaimana korelasi antara desa yang tidak dikunjungi Jokowi dengan status bencana nasional. Akun @Saidudu juga kurang lebih sama, pun demikian pula halnya dengan DPRD dan Gubernur NTB terpilih.

Namun, pemerintah bergeming oleh desakan-desakan itu. Alasannya sederhana. Pertama, kenaikan status hendaklah berdasar pada indikator jumlah korban, kerugian harta benda, kerusakan sarana dan prasarana, cakupan luas terdampak, dan dampak sosial ekonomi, sebagaimana diatur dalam UU No. 24 Tahun 2007 Pasal 2 Ayat 2.

Kedua, pemerintah telah mengerahkan seluruh sumber dayanya berupa SDM, anggaran, serta sarana dan prasarana, kemudian diperkuat lagi oleh Instruksi Presiden.

Menurut saya pilihan dan alasan pemerintah itu sudah tepat. Pertama, pemerintah tidak menyerah terhadap desakan-desakan yang menginginkan kebijakan penting di saat yang genting dikelola secara emosional dan serampangan. Kedua, isu yang sedang kita hadapi itu sebetulnya bukanlah perihal status bencana --daerah ataukah nasional-- melainkan, bagaimana penanganan korban bencana terselenggara dengan cepat dan tepat.

Berkaca dari pengalaman negara-negara lain, hal terpenting dalam pengelolaan bencana bukanlah status bencana nasional. Jelas kiranya, status bencana nasional tidak mampu menyelamatkan Amerika Serikat dari badai super Katrina, Chernobyl-Uni Soviet dari Nuklir, demikian pula dengan banyak negara lainnya. Hal krusial yang diyakini pakar sebagai penentu keberhasilan pengelolaan bencana adalah informasi, mobilisasi, dan kerja sama lintas aktor (Yang, 2009).

Informasi mengenai jenis bencana, daerah rawan, daerah terdampak, situasi korban, sampai dengan jenis rehabilitasi yang dibutuhkan akan memandu pemerintah dan aktor lain dalam membuat kebijakan dan mengambil langkah strategis. Mobilisasi yang tak lain merupakan aktivitas pemerintah dalam mengorganisasi dan mendorong masyarakat, dan organisasi apapun untuk mengerahkan sumber daya mereka dalam rangka pengelolaan bencana menjamin keberlangsungan penanggulangan bencana yang ideal. Sedangkan, kerja sama lintas aktor yang merupakan kerja sama pemerintah dan aktor lainnya dalam mengelola bencana berbasis konsensus juga kurang lebih sama, (Haase, 2006; Maesha, 2007; McCarthy dan Meyer 2009; Ansell dan Gash, 2007).

Ketiga hal itu harus disiapkan secara sungguh-sungguh. Mulai dari tahap pencegahan sampai dengan rekonstruksi. Semua harus terencana, dan tertuang di dalam dokumen legal tertentu. Persoalan informasi, mobilisasi, dan kerja sama lintas aktor yang terencana inilah yang kemudian mengoreksi pendapat sejumlah /opinion leader/ di dunia maya, sekaligus menghadirkan kritik bagi pemerintah.

Para /opinion leader/ virtual mendukung keputusan pemerintah dengan membandingkan Gempa NTB 2018 dengan Gempa Jogja (Kabupaten Bantul) 2006. Ada benarnya, tapi juga sesungguhnya ada kekeliruan. Betul bahwa pengelolaan gempa berjalan cepat (meski di kemudian hari dijumpai dampak negatif bagi kehidupan sosial) bukanlah perkara status bencana. Tapi, sulit untuk diterima nalar jika harus membandingkan gempa Jogja dan NTB. Beda konteks.

Pada 2006, pemerintah, pemerintah daerah, dan banyak LSM sudah parkir di Kabupaten Sleman, wilayah utara Jogja, tentunya lengkap dengan segala macam logistik, untuk menanti dan mengantisipasi erupsi Gunung Merapi. Ketika gempa tiba-tiba terjadi di selatan (Kabupaten Bantul), dengan mudah semua personal, keuangan, sarpras dialihkan ke selatan.

Jogja "beruntung" karena meskipun belum mempunya rencana pengelolaan bencana yang mapan, namun persoalan mobilisasi dan kerja sama lintas aktor, setidaknya, telah teratasi. Kondisi ini tidak ditemukan di NTB. Perencanaan ketiga hal penting itu benar-benar diuji di NTB.

Sebetulnya sudah ada upaya pemerintah dalam menyediakan rencana penanggulangan bencana yang komprehensif dan terpadu. UU No. 24 Tahun 2007 mengamanatkan dibentuknya Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) di tingkat pusat dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) tingkat daerah (Pasal 10-25). Kedua lembaga ini memiliki fungsi strategis, di antaranya dalam mengumpulkan informasi, memobilisasi, dan membangun kerja sama lintas aktor.

Hal itu kemudian diturunkan menjadi dokumen Rencana Strategis (Renstra) BPBD NTB Tahun 2014-2018. Ada sejumlah kegiatan perencanaan pengelolaan bencana yang dilakukan BPBD NTB, tentunya di bawah supervisi BNPB. Tapi, justru ketika bencana terjadi, sejumlah persoalan muncul. Ini merupakan indikasi bahwa rencana terkait ketersediaan informasi, mobilisasi, dan kerja sama lintas aktor yang disiapkan tidak berjalan.

Ada banyak persoalan terjadi di lapangan. Tidak tersedia informasi lokasi-lokasi yang menderita gempa secara komprehensif, sehingga ada banyak keluhan masyarakat tentang bantuan yang tak kunjung tiba sampai beberapa hari setelah bencana. Mobilisasi sumber daya juga berjalan lambat, terutama dari aktor di luar pemerintah. Demikian halnya dengan jumlah dan varian aktor terlibat yang tidak ideal. Hanya ada beberapa organisasi non pemerintah yang tampak menonjol seperti ACT, Rumah Zakat, dan beberapa lainnya. Padahal, merupakan hal keliru bila semata mengharapkan pemerintah, karena bagaimanapun sumber daya yang dimilikinya sangat terbatas.

Maka dari itu, memperdebatkan status bencana sesungguhnya tidak esensial. Melengkapi informasi tentang daerah dan korban bencana, memobilisasi sumber daya dari seluruh aktor yang bersimpati, serta membangun kerja sama lintas aktor dalam dan luar negeri adalah hal tepat untuk dilakukan. Memang sudah terlambat untuk bicara informasi, mobilisasi, dan kerja sama lintas aktor saat bencana sudah melanda. Namun, inilah hal terbaik yang bisa kita lakukan sekarang.

*Yuli Isnadi* /pengajar FISIPOL UGM, mahasiswa PhD NCKU Taiwan, penulis buku /Bencana Kedua: Ketika Kebijakan Penanggulangan Bencana Berbuah Bencana




*(mmu/mmu)







*

Kirim email ke