Meliana Bukan Penoda Agama
Kamis, 30 Agustus 2018 07:30 WIB
Terdakwa kasus penistaan agama, Meliana. ANTARATerdakwa kasus penistaan
agama, Meliana. ANTARA
VONIS nan zalim terhadap Meliana bisa dihindari andai kata polisi dan
jaksa tidak serampangan menjerat warga Tanjung Balai, Sumatera Utara,
ini. Protes Meliana soal suara toa masjid yang terlalu keras seharusnya
jauh dari urusan penodaan agama, apalagi sampai membuat ia diadili dan
divonis 18 bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Medan.
Keluhan Meliana yang keturunan Tionghoa dan beragama Buddha ini
semestinya dianggap sebagai bentuk protes yang wajar saja dalam negara
demokrasi. Suaminya pun telah meminta maaf jika pernyataan perempuan 44
tahun itu menyinggung umat lain. Tapi urusan yang mencuat pada Juli dua
tahun lalu itu menjadi berkepanjangan. Massa yang tersulut rumor sampai
merajam rumah Meliana dengan batu. Mereka juga menyerang belasan vihara
dan kelenteng. Majelis Ulama Indonesia Sumatera Utara ikut-ikutan
menambah kemelut dengan menyatakan Meliana menistakan agama.
Tak hanya gagal membendung aksi anarkistis di Tanjung Balai, penegak
hukum malah bertindak gegabah dengan menetapkan Meliana sebagai
tersangka. Polisi menjerat dia dengan Pasal 156 dan 156-a Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana. Dua pasal lawas itu mengancam warga negara
yang dianggap menyebarkan permusuhan, kebencian, atau penghinaan dan
penodaan agama. Keberadaan aturan karet ini sudah sering dipersoalkan
karena bisa kapan saja digunakan untuk kepentingan politik atau menekan
kelompok minoritas.
Delik penistaan agama pula yang menyebabkan Gubernur DKI Jakarta Basuki
Tjahaja Purnama masuk penjara. Ia dituduh menodai agama karena menyitir
Surat Al-Maidah ayat 51 ihwal larangan memilih pemimpin nonmuslim.
Polisi kehilangan nyali setelah demonstran mengepung Ibu Kota. Basuki
menjadi korban kesekian penggunaan pasal tersebut.
Penegak hukum di Sumatera Utara pun mengulang kesalahan yang sama. Bukan
hanya polisi, kejaksaan pun ikut-ikutan tunduk pada tekanan massa.
Alih-alih mengoreksi sikap polisi dengan mendakwa Meliana tak bersalah,
kejaksaan malah meyakinkan hakim bahwa dia menodai agama. Proses
peradilan Meliana pun terlihat janggal. Hakim mengabaikan pendapat saksi
ahli yang menyatakan Meliana tak menghina agama.
Vonis terhadap Meliana sangat kontras dengan putusan Pengadilan Negeri
Tanjung Balai Asahan terhadap pelaku penyerangan vihara dan kelenteng.
Tujuh pelaku yang nyata-nyata menodai kesucian rumah ibadah itu divonis
kurang dari 2 bulan. Hanya satu pelaku dihukum 2 bulan 18 hari. Jelas
sudah hukum tak berpihak pada minoritas, yang dengan mudah dituding
menodai agama.
Pengadilan banding mesti mengoreksi vonis Meliana. Ia sebaiknya
dibebaskan karena perbuatannya tidak masuk kategori menodai agama.
Presiden Joko Widodo juga tak sepatutnya diam atau menggunakan
pernyataan "tak bisa mengintervensi proses hukum" sebagai tameng.
Presiden memiliki kekuasaan untuk mencegah proses hukum yang
serampangan. Sebagai atasan kepolisian dan kejaksaan, Jokowi bisa
menginstruksikan agar pasal karet tersebut tak lagi digunakan.
Presiden juga mempunyai kekuasaan lebih dari cukup untuk memastikan
Meliana sebagai korban terakhir Pasal 156 dan 156-a KUHP. Pemerintah dan
Dewan Perwakilan Rakyat harus menghapus dua pasal tersebut dari
Rancangan KUHP. Kedua pasal itu jelas menghambat kebebasan berekspresi.
Selama masih ada aturan karet ini, kaum minoritas mudah disudutkan,
bahkan dijebloskan ke penjara seperti yang dialami Meliana.
---
此電子郵件已由 AVG 檢查病毒。
http://www.avg.com