https://tirto.id/buruh-di-proyek-megah-cina-kerja-diperlakukan-bak-serangga-c7lg
Buruh di Proyek Megah Cina: Kerja
Diperlakukan Bak Serangga
Pekerja migaran domestik Cina dalam sebuah kawasan industri di Beijing.
FOTO/AP
<https://tirto.id/buruh-di-proyek-megah-cina-kerja-diperlakukan-bak-serangga-c7lg>
Pekerja migaran domestik Cina dalam sebuah kawasan industri
di Beijing. FOTO/AP
Oleh: Faisal Irfani - 19 Oktober 2018
Dibaca Normal 3 menit
/Di balik pembangunan besar-besaran di kota-kota Cina, para pekerja
datang dari desa ke kota hanya untuk "diperlakukan bak serangga."/
tirto.id <https://tirto.id/> - Wang Zhaogang, 52 tahun, pindah ke kota
untuk memperbaiki kehidupan. Ia ingin punya pekerjaan tetap dan
pendapatan yang layak sehingga kelak bisa memenuhi kebutuhan keluarganya.
Namun, alih-alih mampu mewujudkan mimpinya, Wang justru hidup sengsara;
berat badannya turun drastis hingga 15 kg, tak punya uang, dan
paru-parunya terserang infeksi mematikan. Segala kenestapaan itu
merupakan imbas dari buruknya perlakuan pemerintah kota terhadap pekerja
seperti Wang.
“Kami diperlakukan bak serangga
<https://www.scmp.com/news/china/politics/article/2167706/dying-chinas-economic-miracle-migrant-workers-ravaged-lung>
… bukan seperti manusia,” kata Wang kepada /South China Morning Post/.
“Sudah kujual hidupku ke Shenzen. Jika aku tahu risiko kerjanya seperti
ini, aku tak akan datang ke kota. Tak peduli seberapa miskinnya aku nanti.”
Baca juga:
* Di Balik Raibnya Presiden Interpol: Cara Brutal Cina Atasi Korupsi
<https://tirto.id/di-balik-raibnya-presiden-interpol-cara-brutal-cina-atasi-korupsi-c55K>
Wang datang ke Shenzen dari tempat asalnya di Sangzhi, Provinsi Hunan,
pada 2004. Bersama ratusan pekerja lainnya, Wang tertarik dengan
kampanye pembangunan Kota Shenzen yang menjanjikan lapangan pekerjaan
dan upah menggiurkan.
Program pembangunan besar-besaran yang dilakukan Shenzen memang
membuahkan hasil. Dari yang semula berstatus kota perikanan dengan
pendapatan tak seberapa, Shenzen berubah jadi kota berpendapatan
domestik senilai 338 juta dolar pada 2017. Tapi, nasib baik itu tak
mampir di hidup para pekerja yang turut menyukseskan pembangunan. Banyak
dari mereka yang hidup nelangsa dan bahkan tak jarang terancam sekarat.
Kota-Kota Lain Juga Sama
Pemandangan serupa juga terlihat di kota-kota besar lainnya di Cina
daratan. Di Beijing, misalnya, belasan pekerja tewas dalam insiden
kebakaran pada November 2017. Mengutip /The Guardian/, kebakaran terjadi
di kawasan industri yang berlokasi di Beijing Selatan. Pekerja pendatang
yang tewas mencapai 17 orang.
<https://www.theguardian.com/world/2017/nov/27/china-ruthless-campaign-evict-beijings-migrant-workers-condemned>
Pemerintah Beijing dihujani kritik tak lama setelah insiden tersebut.
Poin dari kritikan rata-rata senada: menyesalkan sikap pemerintah yang
mengabaikan nasib jutaan pekerja migran yang tersebar di restoran,
perusahaan pengiriman barang, lokasi konstruksi, toko ritel, dan
sejumlah pabrik kecil di Beijing.
Di Kota Guangdong, yang terkenal dengan sebutan “lantai pabrik dunia,”
para pekerja migran juga menghadapi kenyataan yang sama. Mereka dibayar
dengan upah rendah, diperlakukan secara tak manusiawi, dan anak-anak
mereka tidak mendapatkan akses pendidikan yang layak.
Di Cina, migrasi pekerja dari desa ke kota-kota besar adalah hal yang
lumrah. Mayoritas penduduk desa pindah ke kota karena lahan pertanian
tak lagi dapat menyediakan pendapatan yang berkelanjutan. Migrasi
pekerja melaju pesat seiring menggeliatnya pembangunan di Cina.
<https://theconversation.com/chinas-migrant-worker-crisis-and-the-children-who-are-left-behind-43725>
Kedatangan pekerja migran di kota praktis membuka kesempatan bagi tenaga
kerja yang murah.
Baca juga:
* Janji Jack Ma dalam Pusaran Perang Dagang Cina-AS
<https://tirto.id/janji-jack-ma-dalam-pusaran-perang-dagang-cina-as-c2iX>
Para pekerja migran—atau kerap disebut “imigran domestik”—boleh saja
punya ekspektasi lebih. Akan tetapi, kenyataan berbicara sebaliknya. Di
samping memperoleh upah rendah dan mendapatkan perlakuan semena-mena,
masalah yang seringkali harus mereka hadapi ialah minimnya pemenuhan
hak-hak kesehatan.
Penelitian Therese Hesketh dkk berjudul “Health Status and Access to
Health Care of Migrant Workers in China”
<https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2239328/> yang
dipublikasikan /Public Health Reports/ (2008) menyebutkan bahwa pekerja
migran di kota-kota besar Cina tidak memperoleh layanan kesehatan secara
maksimal. Rata-rata hanya 19 persen pekerja migran yang punya asuransi
kesehatan. Angka itu lebih baik dibanding di Chengdu dan Shenyang yang
pekerjanya sama sekali tidak memiliki asuransi kesehatan.
Situasi itu terjadi akibat beberapa faktor, mulai dari ruwetnya
birokrasi, biaya asuransi yang mahal, sampai perlakuan diskriminatif
rumah sakit terhadap para pekerja migran. Walhasil, kesehatan para
pekerja migran, catat Hesketh dkk, “rentan memburuk dalam jangka waktu
yang panjang”.
Infografik Nasib suram pekerja domestik
Tambah Parah karena /Hukou/
Ada sekitar 260 juta “imigran domestik” yang mendiami kota-kota besar di
Cina—atau setara 20 persen populasi keseluruhan. Catatan Partai Komunis
Cina memperlihatkan bahwa dalam tiga dekade terakhir, demografi “imigran
domestik” di Cina telah tumbuh sebanyak 30 kali.
Seiring berjalannya waktu, angka tersebut menjadi masalah bagi
pemerintah Cina. Pasalnya, terlepas dari pembangunan yang kian
menggeliat, gelombang pekerja migran menciptakan masalah-masalah baru
seperti kepadatan penduduk hingga kesenjangan sosial.
Guna mengatasi masalah tersebut, pemerintah Cina mengeluarkan kebijakan
/hukou/—sistem registrasi dan pendataan bagi pendatang—untuk
mengendalikan arus perpindahan penduduk di kota. Bagi pendatang yang
ingin bekerja di kota, mereka harus punya /hukou/.
<https://www.dw.com/en/unhappy-migrant-workers-in-china-are-a-growing-problem/a-16053409>
Dengan /hukou/, para pendatang bisa mendapatkan hak yang sama seperti
masyarakat kota pada umumnya: perawatan kesehatan, jaminan sosial,
pendidikan dasar untuk anak-anak, dan perumahan yang layak.
Namun, penerapan /hukou/ tak semudah yang dibayangkan. Untuk sebagian
besar pekerja migran dari pedesaan, /hukou/ merupakan masalah besar;
mereka harus membayar lebih untuk memperoleh layanan tersebut, yang
sayangnya tidak otomatis mengubah /hukou/ mereka menjadi “penduduk
kota.” Tempat kerja para pendatang pun seringkali gagal memfasilitasi
mereka untuk memperoleh /hukou/ yang sesuai.
Masalah /hukou/ ini rupanya punya akar historis sejak pemerintahan Cina
dipegang oleh Mao Zedong. Dalam “China’s 20 Percent Problem”
<https://www.foreignaffairs.com/articles/china/2015-08-25/chinas-20-percent-problem>
yang terbit di /Foreign Affairs/ (2015), Damien Ma mencatat pada era
1950an, Partai Komunis Cina sedang berupaya untuk menciptakan stabilitas
dalam negeri. Ketua PKC, Mao, lantas mengeluarkan sistem pendaftaran
penduduk untuk mengendalikan pertumbuhan populasi.
Kebijakan ini secara umum ditafsirkan sebagai berikut: penduduk desa
yang ingin masuk ke kota diatur secara ketat. Selain mencegah kota
semakin sesak, kebijakan itu juga diterapkan agar pertanian yang
menyuplai pasokan beras tetap bisa beroperasi.
Terlepas dari alasan teknis, banyak pihak meyakini bahwa kebijakan
tersebut adalah cara Mao untuk menjaga suara konstituen PKC di kota. Mao
khawatir apabila masyarakat desa dibiarkan masuk kota, maka penduduk
kota akan tidak terima dan akhirnya memberontak dari partai. Maka, opsi
“bijak” yang dapat diambil yakni dengan “mengorbankan” penduduk desa
agar tetap di desa mengingat, terang Ma, “mereka cenderung mudah
dikendalikan dan lebih sulit terlibat dalam aksi kolektif yang dapat
mengancam rezim.”
Baca juga:
* Bagaimana Xi Jinping Menjelma Jadi Mao Zedong KW II
<https://tirto.id/bagaimana-xi-jinping-menjelma-jadi-mao-zedong-kw-ii-czku>
Mulanya, sistem /hukou/ berjalan relatif lancar tatkala perekonomian
Cina masih ditopang sektor pertanian. Tapi, situasi perlahan berubah
seiring munculnya tekanan reformasi ekonomi pada 1980-an yang menuntut
pasar tenaga kerja Cina menyesuaikan industrialisasi serta pembangunan
besar-besaran sektor manufaktur.
Akibatnya, Beijing tidak punya banyak pilihan selain mengendurkan
pembatasan perpindahan penduduk ke kota. Masyarakat pedesaan
berbondong-bondong meninggalkan desa dan mulai bekerja di pabrik-pabrik
di tepi Sungai Zhujiang dan daerah Delta Sungai Yangtze.
Semakin ke sini, sistem /hukou/ dirasa jadi penghalang bagi 'migran
domestik' di Cina karena menghalangi mereka untuk mendapatkan
hak-haknya. Dorongan masyarakat agar pemerintah menghapuskan kebijakan
itu pun seketika membesar.
Pada 2013, pemerintah Cina menyusun rencana untuk mereformasi sistem
/hukou/. Singkatnya, pemerintah Cina ingin /hukou/ tak lagi menyulitkan
para pekerja pendatang.
Kenyataannya, usaha pemerintah masih jauh dari harapan. Dalam “China’s
Hukou Reforms and the Urbanization Challenge”
<https://thediplomat.com/2017/02/chinas-hukou-reforms-and-the-urbanization-challenge/>
yang dipublikasikan /The Diplomat/ (2017), Spencer Sheehan menyebutkan
bahwa hidup para pekerja migran masih saja sulit, kendati pemerintah
telah merencanakan reformasi /hukou/ dan melakukan investasi
besar-besaran untuk menghapus kesenjangan lewat penyediaan rumah dan
fasilitas lainnya.
Reformasi /hukou/, tegas Sheehan, dipandang tidak merata. Akses
kesehatan bagi pekerja masih minim, demikian pula pemenuhan pendidikan
bagi anak-anak mereka. Angka kepemilikan rumah untuk para pekerja pun
juga masih rendah karena pemerintah mematok harga yang cukup mahal.
Pembangunan di Cina memang sedang menggeliat. Tapi, di saat bersamaan,
pembangunan itu membuat jutaan buruh dalam negeri hidup miskin di tengah
beban kerja yang berat dan hak-hak sosial-ekonomi yang tak kunjung
terpenuhi akibat kebijakan pemerintah yang tidak tepat sasaran.
Baca juga artikel terkait HAK PEKERJA
<https://tirto.id/q/hak-pekerja-mPK?utm_source=internal&utm_medium=lowkeyword>
atau tulisan menarik lainnya Faisal Irfani
<https://tirto.id/author/faisalrezairfan?utm_source=internal&utm_medium=topauthor>
(tirto.id - Politik)
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Windu Jusuf
Ada sekitar lebih 200 juta pekerja pendatang yang mendiami kota-kota
besar di Cina.