Analisa yang bagus.Saya lebih cenderung berpendapat kehadiran Ma'ruf Amin hanya 
akan membesarkan konservatisme dari dalam.---


Bisakah Ma'ruf Amin Jadi Moderat?
5 November 2018Dibaca Normal 3 menitSetelah serangkaian demonstrasi 'Aksi 212' 
yang menyelimuti pemilihan gubernur DKI Jakarta 2017, pembicaraan seputar 
ketidakpuasan umat Islam dan penguatan peran ulama makin mengemuka di kalangan 
pengkritik Jokowi dari golongan Islamis. 

Ancaman politik ini tak diabaikan Jokowi. Jokowi misalnya menunjukkan komitmen 
keislaman dengan berkunjung ke pesantren dan merekrut sejumlah tokoh dan 
politikus Islam ke dalam kubunya. Bahkan, sebelum menggandeng Ma’ruf Amin 
sebagai calon wakil presiden, Jokowi telah mengangkat Ali Mochtar Ngabalin 
sebagai tenaga ahli di Kantor Staf Presiden pada Mei 2018. Ia juga menunjuk Din 
Syamsuddin, mantan ketua Muhammadiyah yang konservatif, sebagai “utusan khusus 
presiden”. Pemilihan Ma’ruf Amin sebagai pasangan cawapres adalah puncak dari 
strategi akomodatif Jokowi tak lama setelah tragedi Ahok.

Tantangan kelompok Islamis dan respons kubu Jokowi menghadirkan momentum yang 
tepat untuk mengkaji ulang tesis inklusi-moderasi (inclusion-moderation 
thesis), sebuah konsep besar yang lazim dipakai untuk memahami pengaruh 
aktor-aktor Islam dalam politik Indonesia. Menurut tesis ini, pengakomodasian 
aktor-aktor politik yang berpotensi menggoyang sistem (potentially disruptive 
actors) ke dalam proses dan lembaga-lembaga politik yang ada, akan mengubah 
tujuan/perilaku dari yang semula radikal ke arah posisi lebih moderat.

Baca juga: Ma'ruf Amin di Antara Fatwa MUI dan Posisi Wakil Presiden
Perspektif ini sering digunakan untuk memahami evolusi partai dan organisasi 
Islam seperti PKS, yang dari waktu ke waktu melembutkan pandangan keagamannya 
dengan cara mendukung Pancasila secara resmi, bahkan merevisi AD/ART organisasi 
sehingga kalangan non-muslim dapat menduduki jabatan eksekutif di tubuh partai. 
Dari sudut pandang sejarah, Jeremy Menchik berpendapat bahwa selama 
bertahun-tahun Nadhlatul Ulama dan Muhammadiyah telah menunjukkan kemampuan 
mereka untuk memoderasi diri dan “menjadi bagian dari sistem, alih-alih 
menggulingkannya”.


Membesarkan Konservatisme dari Dalam
Jika dibaca lewat teropong tesis inklusi-moderasi, Ma’ruf diprediksi akan 
mengurangi anasir konservatismenya dan bersikap lebih moderat jika terpilih 
sebagai wakil presiden pada 2019. Sebagai wakil presiden, mau tak mau, ia akan 
bekerja sama dengan lebih banyak pemangku kepentingan, termasuk pihak-pihak 
dari kelompok etnis dan agama minoritas di Indonesia. Maka, seperti yang pernah 
ditulis Greg Fealy di New Mandala, menjadi logis jika Ma’ruf akan lebih toleran 
jika terpilih sebagai wakil presiden; lebih toleran ketimbang saat duduk di 
kursi ketua MUI.

Namun, asumsi tersebut terkesan sangat optimis.

Di balik kerangka moderasi yang sama, keterlibatan dalam proses-proses 
demokratis justru menyuburkan aktor-aktor Islamis. Ketika kaum Islamis 
berpotensi menjadi lebih moderat ketika masuk ke dalam lembaga kekuasaan, 
institusi-institusi demokrasi bisa dan akan mengadopsi agenda-agenda Islam 
politik.

Dalam jangka panjang, fenomena ini akan menciptakan apa yang disebut Jeremy 
Menchik sebagai “sakralisasi” negara Indonesia—inilah harga yang harus dibayar 
ketika aktor-aktor Islam tertentu, yang memiliki tendensi anti-demokrasi, 
diserap ke dalam sistem.

Kami yakin skenario ini lebih bisa digunakan untuk memahami dampak pencalonan 
Ma’ruf Amin. Jika terpilih, ada kemungkinan Ma’ruf akan memengaruhi periode 
kedua pemerintahan Jokowi sehingga menjadi lebih konservatif, terutama dalam 
urusan agama.

Rekam jejak sikap intoleran Ma’ruf sudah bukan rahasia umum. Jika ia mengambil 
sikap yang sama sebagai wakil presiden, kecil kemungkinan Jokowi bakal 
mengindahkan tekanan publik untuk mendengar suara kelompok minoritas. 
Indikasinya sudah terlihat: di tengah kasus Ahok, Jokowi terlihat menjaga jarak 
dan tidak berusaha membela mantan gubernur Jakarta itu dari dakwaan penodaan 
agama. Kehadiran Ma’ruf Amin kemungkinan besar menempatkan Jokowi pada posisi 
yang sama: tak membela kelompok-kelompok minoritas di Indonesia—jika bukan 
malah secara aktif melegitimasi diskriminasi yang sudah ada.

Baca juga: Kiprah Ma'ruf Amin di MUI: Dibesarkan SBY, Dipakai Jokowi
Di sisi lain, watak ormas-ormas Islam yang berusaha diakomodasi Jokowi juga 
berubah. Selama satu dekade terakhir, baik NU dan Muhammadiyah, mengalami 
perubahan internal. Anasir konservatif dalam kedua organisasi makin menonjol. 
Pengangkatan Ma’ruf Amin—yang mewakili sayap konservatif NU—sebagai Rais Aam NU 
adalah contohnya. 

Kedudukan sosial NU dan Muhammadiyah sebagai otoritas Islam Indonesia juga 
diperebutkan oleh ormas-ormas keagamaan di luar kedua organisasi. Lagi-lagi, 
kasus 'Aksi 212' dapat dikutip sebagai contoh. Meskipun beberapa kali NU dan 
Muhammadiyah mengeluarkan pernyataan resmi agar anggotanya tidak berpartisipasi 
dalam 'Aksi 212', tetap saja ada banyak anggotanya yang bergabung dengan ormas 
semacam Wahdah Islamiyah dan FPI. Semakin luas FPI dan ormas-ormas sejenis 
menebar di masyarakat, tokoh Islamis dari faksi NU “Garis Lurus” seperti Abdul 
Somad atau Rizieq Shihab dari FPI boleh jadi akan mengikuti jalan Ma’ruf Amin 
dan melebarkan otoritas keagamaan mereka ke dalam struktur politik formal.


Tak Sepenuhnya Kalah, Tak Mutlak Menang
Terlepas dari siapa yang akan memenangkan pemilihan presiden 2019, hampir 
mustahil mengabaikan peran aktor-aktor agama dalam perpolitikan lokal dan 
nasional di Indonesia hari ini. 

Sejak pemilu 2014, banyak orang memilih Jokowi karena takut demokrasi akan 
terancam jika Prabowo menang. Ketakutan semacam ini sah-sah saja mengingat 
rekam jejak HAM Prabowo yang bermasalah serta afiliasi sang capres dengan 
kelompok-kelompok Islam politik. Pada saat bersamaan, penunjukan Ma’ruf Amin 
sebagai cawapres mengambarkan betapa Islam politik hari ini diakomodasi penuh 
oleh kedua kubu, baik Jokowi maupun Prabowo.

Pencalonan Ma’ruf Amin menyodorkan pekerjaan rumah besar bagi tesis 
inklusi-moderasi. Pasalnya, tesis ini berpijak pada asumsi dasar bahwa ancaman 
terbesar terhadap demokrasi datang dari aktor-aktor yang menolak 
institusi-institusi demokrasi. Namun, rupanya tantangan itu tidak berasal dari 
Hizbut Tahrir Indonesia, ormas Islam transnasional yang dipandang oleh 
pemerintah dan sebagian peneliti sebagai ancaman terbesar bagi demokrasi di 
Indonesia.

Aktor-aktor politik Islam yang terjun ke dunia politik seraya mempertahankan 
konservatisme mungkin akan menjadi ancaman yang lebih besar ketimbang HTI.. 
Tokoh seperti Ma’ruf Amin boleh jadi tidak bercita-cita mengubah sistem 
demokrasi. Namun, aktor-aktor politik Islam semacam Ma’ruf Amin adalah orang 
yang sangat percaya pada pentingnya menegakkan norma-norma agama dalam 
kehidupan publik.

“Sakralisasi negara”, demikian saran Jeremy Menchik, lebih tepat didudukkan 
sebagai konsekuensi sejarah yang tak terelakkan, alih-alih dipandang sebagai 
satu-satunya tantangan bagi demokrasi Indonesia. Bagaimanapun juga mengamankan 
peran agama selalu menjadi bagian penting dalam formasi negara di Indonesia. 
Untuk memastikan agar demokrasi berfungsi, tegas Menchik, penting bagi 
pemerintah Indonesia untuk menciptakan situasi tatkala anasir-anasir keagamaan 
tak sepenuhnya “kalah” atau tak mutlak “menang” dalam lembaga-lembaga demokrasi.

Baca juga: Mengapa Publik (Terpaksa) Harus Menerima Paket Jokowi-Ma'ruf Amin?
Kami mengakui pentingnya menganalisis demokrasi Indonesia di luar kerangka 
demokrasi liberal khas Barat. Namun, ada soal mendasar yang tak kunjung 
terpecahkan: sampai mana demokrasi Indonesia mampu mengakomodasi aktor-aktor 
politik Islam tanpa kehilangan nilai-nilai dasarnya? Bagi minoritas di 
Indonesia, sebuah sistem ketika aktor-aktor politik Islam “tidak sepenuhnya 
kalah maupun menang” hanya menawarkan kekalahan abadi.

Sayangnya lagi, tak ada batasan yang jelas (dan ideal) antara demokrasi dan 
tuntutan politik Islam di Indonesia. Walhasil, kelak, ketika kita berhasil 
memahami betapa suksesnya aktor-aktor Islam politik mengubah watak demokrasi 
Indonesia di masa mendatang, barangkali kita sudah terlambat mengambil sikap.

Pandangan ini mungkin menawarkan prediksi masa depan yang suram. Namun, penting 
untuk kembali menengok perkembangan 'Aksi 212' yang telah membuat banyak pihak, 
termasuk peneliti, bingung menentukan sikap. Jika kita masih percaya pada 
kelebihan tesis inklusi-moderasi, kajian-kajian di masa mendatang perlu membuat 
garis tegas untuk memastikan pada titik apa kelompok-kelompok Islam politik 
mulai menjadi ancaman serius bagi demokrasi.


=====


Tulisan ini diterjemahkan oleh Irma Garnesia dari "Ma’ruf Amin and the 
inclusion–moderation thesis" yang dimuat di New Mandala pada 3 Oktober 2018. 
Penerjemahan dan penerbitan di Tirto atas seizin penulis.
*) Opini kolumnis ini adalah tanggungjawab penulis seperti tertera, tidak 
menjadi bagian tanggungjawab redaksi tirto.id.

Kirim email ke