Masih banyak orang yang tidak percaya pada jahatnya IMF dan Bank Dunia bagi 
rakyat jelata di dunia. Dan juga tidak percaya akan besarnya dominasi dan 
pengaruh lembaga imperialis itu pada pemerintah-pemerintah yang dengan suka 
rela menjadi boneka-bonekanya. Maka itu mereka tidak mengerti jalan pikiran 
rakyat yang tergabung dalam Gerakan Rakyat Melawan IMF-Bank Dunia yang 
baru-baru ini menyelenggarakan Konferensi tandingan di Denpasar, Bali dan 
menuntut pembubaran kedua lembaga imperialis itu. Pemerintah Jokowi, melalui 
aparat kepolisiannya, telah melarang Konferensi tandingan dan melakukan 
tindakan kekerasan terhadap para peserta Konferensi nasional dan internasional. 
Masih kurang bukti akan sifat anti-rakyat, pemberangus suara rakyat dari rezim 
Jokowi???
Pembangunan Kesehatan “Kosmetik” ala Bank Dunia (WB) dan International Monetary 
Fund (IMF)


22 October 2018
 Petrus Kanisius Siga Tage


 Harian IndoPROGRESS

Kredit foto: Alamy


 

LEMBAGA keuangan internasional seperti World bank (WB) dan International 
Monetary Fund (IMF), telah lama dianggap sebagai agen reformasi ekonomi paling 
kuat di dunia (Stubbs dan Kentikelenis, 2017; Babb dan Kentikelenis, 2017). 
Dalam empat dekade terakhir, lembaga ini, dipercaya telah berperan penting 
dalam menetapkan parameter fiskal kebijakan publik, termasuk kebijakan 
kesehatan di negara-negara berkembang tempat mereka beroperasi, melalui apa 
yang disebut dengan program ‘penyesuaian struktural’ (Thomson, Kentikelenis, 
dan Stubbs, 2017).

Di Indonesia sendiri, WB terus berupaya menjadi mitra bagi pemerintah Indonesia 
dalam upaya mendukung terciptanya Universal Health Coverage (UHC) yang 
bertujuan untuk memastikan bahwa semua orang dapat menerima pelayanan kesehatan 
yang mereka butuhkan tanpa harus mengalami financial hardship. Komitmen ini, 
dibuktikan dengan pinjaman sebesar 150 juta dollar oleh bank dunia, yang 
dikucurkan baru-baru ini (World Bank, 2018).

 

Balutan kosmetik

Pinjaman dan kepedulian dari lembaga keuangan internasional ini, tampaknya 
sepintas telah menjadikan mereka sebagai juru selamat masalah kesehatan negara 
penerima. Namun semuanya, meminjam istilah dalam laporan the Guardian (2016) 
tak lebih sebagai balutan “kosmetik” pembangunan yang menggelikan. Sebagai 
konsekuensi dari pemberian bantuan keuangan itu, negara-negara peminjam harus 
menyelesaikan daftar reformasi kebijakan yang seringkali menyakitkan dan 
bertujuan untuk menyeimbangkan anggaran, agar proses pengembalian modal serta 
bunga pinjaman dapat berjalan dengan baik.

Pemerintah negara peminjam, seringkali tidak memiliki pengaruh yang cukup kuat 
atas penyusunan dokumen kunci strategis peminjaman. Begitu pula dengan pengaruh 
masyarakat sipil pada substansi dokumen-dokumen kebijakan masih sangat 
terbatas. Padahal implementasi kebijakan strategis WB, melalui riset dan 
analisa, investasi proyek, serta pinjaman untuk perubahan kebijakan, sangat 
memengaruhi kebijakan pemerintah dan berdampak langsung pada kehidupan 
masyarakat (Bank Information Center, 2013)

Praktik intervensi ini telah membuat lembaga keuangan internasional memiliki 
otoritas yang kuat terhadap pemerintah di seluruh dunia dalam beragam bidang 
kebijakan yang secara langsung terkait dengan hak publik. Laporan United 
Nations Children’s Fun (UNICEF) berjudul Adjustment with a human face (Cornia, 
Jolly, dan Stewart, 1987) menjelaskan bahwa reformasi kebijakan yang 
dipromosikan oleh organisasi lembaga keuangan internasional, alih-alih 
menghadirkan perbaikan justru sangat merugikan kelompok negara penerima bantuan,

 

Privatisasi
Salah satu reformasi kebijakan berbahaya yang sering dituntut oleh lembaga 
keuangan internasional adalah mempromosikan privatisasi sektor kesehatan yang 
sangat menyulitkan masyarakat miskin negara penerima. Privatisasi dalam 
implementasinya seringkali dikuatkan dengan undang-undang dan sistim manajerial 
yang diperlukan untuk memastikan bahwa penerapan setiap kebijakan di sektor 
kesehatan telah berjalan dengan baik. Menurut Carroll (2010) dalam soal 
privatisasim, lembaga keuangan internasional tidak hanya berperan sebagai 
penasehat kebijakan dan penyedia wacana, namun juga berperan aktif dalam 
memfasilitasi dan menjaga keberlangsungan proses privatisasi tersebut. Satu hal 
yang lumrah dalam diskursus Kemitraan Publik-Swasta (Public Private 
Partnership).

Lembaga keuangan internasional menggunakan pengaruh kebijakannya yang amat 
otoritatif di seluruh dunia untuk mempromosikan upaya privatisasi di bidang 
kesehatan, meskipun kurangnya bukti bahwa privatisasi mampu menghadirkan jalan 
keluar perbaikan masalah kesehatan. Sebuah studi yang dilakukan oleh Oxfam 
(2009) menemukan bahwa ada banyak masalah kesehatan yang timbul dari proses 
privatisasi di bidang kesehatan ini. di Malawi, misalnya, 40% toko swasta yang 
menyediakan obat-obatan, umumnya menyediakan obat dengan kualitas yang tidak 
diketahui; di Chili partisipasi sektor swasta yang luas telah mendorong tingkat 
kelahiran tertinggi di dunia dengan metode seksio sesarea yang lebih mahal dan 
seringkali tidak diperlukan; sementara di Cina, cakupan imunisasi menurun 
hingga setengah bagian dalam lima tahun setelah adanya komersialisasi perawatan 
kesehatan oleh pihak swasta.

Studi yang dilakukan Waitzkin, Jasso-Aguilar, dan Iriart (2007) pada beberapa 
negara seperti Amerika Serikat, Argentina, Chili, dan Meksiko menemukan bahwa 
privatisasi yang melibatkan sektor swasta justru telah membuat beban pembiayaan 
kesehatan yang ditanggung individu yang sakit semakin besar.

Di Indonesia, program privatisasi bidang kesehatan secara nasional telah 
diambilalih oleh pemerintah daerah karena memperoleh lebih banyak kewenangan di 
bawah program desentralisasi dan otonomi daerah. Rencana ini, meski telah 
memungkinkan pemerintah daerah untuk meningkatkan basis keuangan mereka, tetapi 
dalam implementasinya justru membuat biaya perawatan kesehatan menjadi lebih 
besar (Bahagijo, 2007). Proses privatisasi di Indonesia dalam beberapa tahun 
terakhir berjalan sangat agresif, seiring dengan pesatnya pertumbuhan rumah 
sakit swasta dalam enam tahum terakhir dibandingkan rumah sakit umum. Rata-rata 
pertumbuhan rumah sakit umum sebesar 0.4%, sedangkan rumah sakit swasta sebesar 
15.3% (Persi, 2018)

 

Penghematan anggaran

Selain melalui upaya privatisasi, proyek lembaga keuangan internasional telah 
melakukan kontrol ketat atas penghematan anggaran. Di Yunani, misalnya, pasca 
mendapat pinjaman 110 milyar Euro dari IMF, mereka diharuskan melakukan 
pemotongan pengeluaran publik dan reformasi struktural (reformasi pasar kerja, 
liberalisasi perdagangan, dan reformasi hukum). Pemotongan anggaran menyebabkan 
penurunan skala program penyemprotan nyamuk, yang mengakibatkan munculnya 
kembali malaria yang ditularkan secara lokal untuk pertama kalinya dalam 40 
tahun, pemangkasan anggaran rumah sakit sebesar 26% telah menyebabkan 
peningkatan beban kerja tenaga kesehatan, meningkatkan daftar tunggu pasien, 
dan kekurangan obat-obatan serta peralatan medis. Yang paling terasa adalah, 
berkurangnya program pencegahan pengobatan untuk penggunaan narkoba sehingga 
memicu terjadinya peningkatan infeksi HIV oleh pengguna narkoba suntikan 
(Kentikelenis et al., 2011; Kentikelenis et al., 2014; Kentikelenis, 2017)

Dalam pergolakan tingkat pengangguran yang belum pernah terjadi sebelumnya, 
layanan kesejahteraan juga dipotong di Yunani, sehingga meninggalkan kelompok 
rentan tanpa akses ke pendapatan dan dihadapkan dengan sistem kesehatan yang 
terbebani dan semakin mahal (Karanikolos dan Kentikelenis, 2016).

 

Layanan kesehatan universal

Cakupan layanan kesehatan universal sejak awal didasari dengan penciptaan skema 
asuransi kesehatan yang memungkinkan orang dapat dengan mudah mengakses 
fasilitas perawatan kesehatan yang dijalankan oleh sektor publik, swasta dan 
lembaga nirlaba.

Laporan yang dibuat Lethbridge (2017) menjelaskan bahwa seringkali skema yang 
didukung WB justru hanya tersedia bagi orang yang bekerja di sektor formal 
dengan penghasilan tetap, meskipun mayoritas orang di negara berpenghasilan 
rendah penerima pinjaman bekerja di sektor informal dengan pendapatan kecil dan 
tidak menentu sehingga tidak mampu membayar skema asuransi kesehatan dalam 
skala kecil sekalipun. Situasi ini menjadi begitu paradoks, karena sejak awal 
kebijakan penyediaan layanan kesehatan universal telah menyatakan bahwa 
pemerintah wajib menjamin penyediaan layanan kesehatan untuk semua orang, 
terlepas dari pendapatan, status, dll.

Penelitian yang dilakukan oleh Oxfam (2014) pada skema kesehatan yang dibiayai 
oleh WB di perusahaan Nigeria untuk mensubsidi asuransi kesehatan pekerja, 
ditemukan bahwa biaya untuk konsumen perorangan pada awalnya dihitung $10 dolar 
per tahun, tetapi pada akhir tahun kelima pembiayaan ini telah meningkat 
menjadi $55 dolar karena subsidi WB berkurang dan skema ini dinyatakan gagal. 
Selain itu, skema ini tidak mencakup pengobatan kanker, perawatan intensif, 
keluarga berencana dan operasi besar apa pun, padahal masalah di atas adalah 
jenis perawatan kesehatan yang dapat memiliki efek malapetaka keuangan pada 
rumah tangga jika pembayaran out of pocket diperlukan. Desain skema ini dinilai 
cacat.

Di Indonesia, sejak tahun 2014 Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 
bidang kesehatan terus meningkat. Pada tahun 2018 sendiri, anggaran untuk 
sektor kesehatan mencapai Rp. 111 triliun atau sekitar lima persen dari total 
belanja pemerintah senilai Rp. 2.220,7 triliun (Kemenkeu, 2018). Peningkatan 
anggaran belanja ini dengan tujuan untuk meningkatkan proses UHC melalui 
pembiayaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Pada tahun 2017, total penggunaan 
dana Kemenkes, hampir separuhnya (43,80%) atau sekitar Rp. 25,5 triliun 
dialokasikan untuk pembiayaan program JKN (Kemenkes, 2018).

Namun, besarnya pembiayaan yang terus meningkat setiap tahun ini ini, nyatanya 
tidak secara efektif berdampak langsung dalam memenuhi target UHC, karena 
sejauh ini masih ada disparitas layanan kesehatannya. Ketika orang kaya yang 
tinggal di daerah perkotaan memiliki akses ke layanan kesehatan berkualitas 
tinggi, sebagian besar orang yang tinggal di daerah pedesaan justru memiliki 
akses yang sangat terbatas terhadap layanan kesehatan yang berkualitas baik 
(Kemenkes, 2017)

Selain itu, IMF dan WB yang terus mendorong upaya desentralisasi layanan 
kesehatan untuk meningkatkan responsivitas terhadap kebutuhan lokal, yang dalam 
praktiknya di beberapa negara justru dapat menghambat proses perawatan 
kesehatan yang memadai karena kendala infrastruktur di daerah (Stubbs dan 
Kentikelenis, 2017). Di Indonesia, upaya desentralisasi yang didengungkan WB 
tengah menjadi anomali bagi implementasi UHC, dimana dalam laporan Indonesian 
Corruption Watch (ICW) baru-baru ini, diperkirakan dana BPJS, sebagai bagian 
dari JKN, sekitar Rp. 1triliun, diduga menguap setiap tahun akibat dipotong 
atau dipungut secara ilegal oleh kepala daerah (BBC, 2018)

 

Kesimpulan

Pembangunan kesehatan ala lembaga keuangan internasional, semacam IMF dan WB 
dengan panji dan pretensi seperti UHC, meski bermaksud baik dan terlihat hebat, 
namun pada kenyataannya tidak berjalan dengan baik tetapi justru menghadirkan 
“penyakit” dan krisis baru yang bebannya selalu ditimpakan di atas pundak 
rakyat. Diperlukan ketegasan dan kejelian untuk membaca dan merestrukturisasi 
ulang segala macam program kesehatan yang akan dan tengah dibiayai oleh lembaga 
keuangan internasional semacam IMF dan WB.***

 

Petrus Kanisius Siga Tage, dosen Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Citra Husada 
Mandiri Kupang

 

Kepustakaan:

Babb, S. L., & Kentikelenis, A. E. (2017). International financial institutions 
as agents of neoliberalism. The SAGE handbook of neoliberalism.

Bahagijo, S. (2007). IMF aid helping the poor?. Diunduh dari: 
http://www.insideindonesia.org/imf-aid-helping-the-poor

Bank Information Center. (2013). Chapter 2: Kelompok Bank Dunia di Negara Anda.

BBC. (2018). ICW: “Sekitar Rp1 triliun dana BPJS menguap karena dipotong kepala 
daerah”. Diunduh dari : https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-43048536

Carroll, T. (2010). Delusions of development: The World Bank and the 
post-Washington consensus in Southeast Asia. Springer.

Cornia, G. A., Jolly, R., & Stewart, F. (1987). Adjustment with a human face 
Vol. I: protecting the vulnerable and promoting growth.

Karanikolos, M., & Kentikelenis, A. (2016). Health inequalities after austerity 
in Greece. International journal for equity in health, 15(1), 83.

Kemenkes. (2018). Inilah Capaian Kinerja Kemenkes 2017. Diunduh dari 
http://www.depkes.go.id/article/view/18011000004/performance-of-ministry-of-health-in-2017.html

Kentikelenis, A. E. (2017). The social aftermath of economic disaster: Karl 
Polanyi, countermovements in action, and the Greek crisis. Socio-Economic 
Review, 16(1), 39-59.

Kentikelenis, A., Karanikolos, M., Papanicolas, I., Basu, S., McKee, M., & 
Stuckler, D. (2011). Health effects of financial crisis: omens of a Greek 
tragedy. The Lancet, 378(9801), 1457-1458.

Kentikelenis, A., Karanikolos, M., Reeves, A., McKee, M., & Stuckler, D. 
(2014). Greece’s health crisis: from austerity to denialism. The Lancet, 
383(9918), 748-753.

Lethbridge, J. (2017). World Bank undermines right to universal healthcare
https://www.brettonwoodsproject.org/…/world-bank-undermine…/

Oxfam. (2009). Rich countries and World Bank must stop pushing privatized 
health in poor countries. Diunduh dari: 
https://www.oxfam.org/en/pressroom/pressreleases/2009-02-12/rich-countries-and-world-bank-must-stop-pushing-privatized-health

Oxfam. (2014). Investing for the Few: The IFC’s Health in Africa initiative. 
Diunduh dari 
https://policy-practice.oxfam.org.uk/publications/investing-for-the-few-the-ifcs-health-in-africa-initiative-325654

Persi. (2018). Jumlah RS di Indonesia Pertumbuhan RS Publik.

Stubbs, T., & Kentikelenis, A. (2017). International financial institutions and 
human rights: implications for public health. Public health reviews, 38(1).

Stubbs, T., & Kentikelenis, A. E. (2017). How years of IMF prescriptions have 
hurt West African health systems. Diunduh dari: 
https://theconversation.com/how-years-of-imf-prescriptions-have-hurt-west-african-health-systems-72806

The Guardian. (2016). The IMF has not lived up to its own hype on social 
protection. Diunduh dari 
https://www.theguardian.com/global-development/2016/may/25/the-imf-international-monetary-fund-has-not-lived-up-to-hype-on-social-protection

Thomson, M., Kentikelenis, A., & Stubbs, T. (2017). Structural adjustment 
programmes adversely affect vulnerable populations: a systematic-narrative 
review of their effect on child and maternal health. Public health reviews, 
38(1), 13.

Waitzkin, H., Jasso-Aguilar, R., & Iriart, C. (2007). Privatization of health 
services in less developed countries: an empirical response to the proposals of 
the World Bank and Wharton School. International Journal of Health Services, 
37(2), 205-227

World Bank. (2018). Working Together for Better Health Care for All 
Indonesians. Diunduh dari 
https://www.worldbank.org/en/news/press-release/2018/06/13/working-together-for-better-health-care-for-all-indonesians.

Kirim email ke