Hari Pahlawan: Siapa saja dan ke mana para 'Ibu Bangsa'?
Isyana ArthariniBBC News Indonesia
*
9 November 2018
https://www.bbc.com/indonesia/majalah-46148537
* Bagikan artikel ini dengan Facebook
<https://www.bbc.com/indonesia/majalah-46148537#>
* Bagikan artikel ini dengan Messenger
<https://www.bbc.com/indonesia/majalah-46148537#>
* Bagikan artikel ini dengan Twitter
<https://www.bbc.com/indonesia/majalah-46148537#>
* Bagikan artikel ini dengan Email
<mailto:?subject=Shared%20from%20BBC%20Indonesia&body=https%3A%2F%2Fwww.bbc.com%2Findonesia%2Fmajalah-46148537>
* Kirim <https://www.bbc.com/indonesia/majalah-46148537#share-tools>
Presiden Soekarno menghadiri peringatan Hari Kartini di Istana Negara di
tengah anggota organisasi gerakan perempuan pada 1953.Hak atas
fotoBETTMANN/GETTY IMAGESImage captionPresiden Soekarno menghadiri
peringatan Hari Kartini di Istana Negara di tengah anggota organisasi
gerakan perempuan pada 1953.
Jika kita sudah mengetahui peran Soekarno-Hatta dan Sjahrir sebagai para
founding fathers atau 'Bapak Bangsa', lalu siapa yang bisa kita sebut
sebagai 'Ibu Bangsa' dan kenapa tak banyak nama perempuan yang muncul
dalam narasi masa lalu Indonesia, terutama di masa menjelang dan sesudah
kemerdekaan Indonesia?
Situs Wikipedia punya satu halaman khusus untuk/entry/'Bapak Bangsa
<https://id.wikipedia.org/wiki/Bapak_bangsa_Indonesia>' menyebut ada 68
tokoh yang "memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia dari penjajahan
bangsa asing dan berperan dalam perumusan bentuk atau format negara yang
akan dikelola setelah kemerdekaan".
Dari 68 tokoh ini, hanya 44 yang disebutkan namanya dan semuanya laki-laki.
Namun pencarian atas 'Ibu bangsa' tak membuahkan hasil yang sama
jelasnya seperti dengan entry 'Bapak Bangsa'. Lalu siapa tokoh perempuan
yang bisa masuk kategori itu dan kenapa tak ada kategori khusus untuk
keterlibatan perempuan di masa menjelang dan sesudah kemerdekaan
Indonesia, spesifiknya antara 1942-1949?
* Belajar sejarah Indonesia lewat permainan kartu Linimasa
<https://www.bbc.com/indonesia/majalah-39302916>
* Sumpah Pemuda 90 tahun: Apa yang bisa dibanggakan dari bahasa
Indonesia? <https://www.bbc.com/indonesia/trensosial-46008037>
Menurut peneliti feminis di Institut Kajian Kritis dan Studi Pembangunan
Alternatif Ruth Indiah Rahayu, memang ada cara pandang penulisan sejarah
di Indonesia yang diskriminatif dan didominasi teori politik.
"Yang disebut politik itu adalah yang formal, kelihatan, di mana
pelakunya adalah laki-laki. Dominasi sejarah politik dalam historiografi
kita lalu jadi terpengaruh, sehingga yang disebut sejarah adalah
peristiwa-peristiwa formal yang berhubungan dengan politik formal yang
kemudian yang muncul pelakunya adalah laki-laki," kata Ruth, Jumat (9/11).
Riset tentang masa lalu, kemudian menurut Ruth, akhirnya hanya menjadi
riset tentang peristiwa dengan aktor-aktor politik laki-laki dan
aktivitas yang melibatkan aktor-aktor perempuan kemudian tidak kelihatan.
"Saya contohkan saja, aktivitas politik perempuan itu kan banyak yang
disebut garis belakang. Apa itu garis belakang? Yang pertama adalah
kurir politik, itu pekerjaan intelijen. Itu luar biasa perempuan sebagai
kurir politik, banyak perempuan digunakan untuk menerobos barikade
tentara kolonial baik Jepang maupun Belanda. Itu pekerjaan sangat
berbahaya dan penting dan memang mempertaruhkan nyawa, ini yang nggak
kelihatan," kata Ruth.
Seorang perempuan berjalan di depan lukisan Sukarno-Hatta di Blitar.Hak
atas fotoARIEF PRIYONO/LIGHTROCKET VIA GETTY IMAGESImage captionSeorang
perempuan berjalan di depan lukisan Sukarno-Hatta di Blitar.
Selain itu, pekerjaan politik perempuan dalam memimpin dapur umum -
mulai dari penyiapan logistik pengumpulan makanan sampai memasak - dan
keterlibatan perempuan dalam barisan laskar palang merah, tidak dianggap
sebagai keterlibatan politik, melainkan aktivitas sosial.
"Ada tiga aktivitas politik penting perempuan, yang hanya karena
dianggap garis belakang, dan karena tidak ada tokoh, kemudian itu
dihilangkan dalam penulisan sejarah sebagai aktivitas politik. Padahal
tanpa tiga aktivitas itu, maka makna peristiwa-peristwa politik itu
tidak akan ada," kata Ruth.
* Utuy Tatang Sontani, seniman pelarian Indonesia dan karya yang
tercecer di Moskow <https://www.bbc.com/indonesia/trensosial-45670272>
* Film Tan Malaka dilarang karena otoritas 'masih terjebak narasi
sejarah versi Orba' <https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-43855032>
* Berulang kali dibubarkan, mengapa diskusi sejarah dianggap momok?
<https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-45836811>
Meski upaya menggali serta menuliskan sejarah masa lalu Indonesia yang
melibatkan tokoh perempuan sudah dilakukan, namun menurut Ruth, belum
ada pengakuan yang kuat dalam konteks historiografi nasional akan
keterlibatan perempuan tersebut.
"Usaha ini masih sebagian kecil, belum hegemonik, masih sedikit-sedikit
di kepala orang," ujarnya.
Selain adanya bias politik yang diskriminatif dalam penulisan sejarah,
menurut Ruth, ada faktor lain yang juga berperan dalam hilangnya sosok
tokoh perempuan Indonesia pada era pra-kemerdekaan sampai pasca
kemerdekaan (1942-1949). yaitu stigma politik yang muncul pada politik
sosialis.
Wakil Presiden Hatta didampingi oleh Sjahrir pada 1945 di tengah rakyat
setelah deklarasi kemerdekaan Indonesia.Hak atas fotoUNIVERSAL HISTORY
ARCHIVE/UIG VIA GETTY IMAGESImage captionWakil Presiden Hatta didampingi
oleh Sjahrir pada 1945 di tengah rakyat setelah deklarasi kemerdekaan
Indonesia.
Ruth mencontohkan sosok SK Trimurti dan Umi Sardjono.
"Umi Sardjono sama sekali nggak dikenal, nggak dicatat bahkan, karena
sejak awal dia bergabung dengan gerakan bawah tanah melawan Jepang,
kemudian masuk Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia), masuk PKI dan
nantinya membangun Gerwani. Yang agak lebih dikenal SK Trimurti, lebih
banyak pengakuannya."
"Dia dulu dari Gerindo pimpinan Amir Sjarifuddin, dalam geng itu dia
mengorganisir buruh dan juga isu perempuan, membangun Barisan Buruh
Wanita (BBW) dengan Umi Sardjono, dan dalam kabinet Amir Sjarifuddin dia
jadi menteri perburuhan, tapi namanya tidak dicatat sebagai pahlawan
karena dia masuk dalam kelompok Amir Sjarifuddin yang juga mendapat
stigma dalam politik pengetahuan sejarah di Indonesia," kata Ruth.
Maria Ulfah adalah perempuan Indonesia pertama yang menjadi sarjana
hukum di Belanda, anggota BPUPKI, Menteri Sosial RI.Hak atas
fotoBIOGRAFI MARIA ULFAHImage captionMaria Ulfah adalah perempuan
Indonesia pertama yang menjadi sarjana hukum di Belanda, anggota BPUPKI,
Menteri Sosial RI.
Namun, peminggiran sosok perempuan dalam sejarah Indonesia juga terjadi
pada sosok-sosok yang tidak terbebani oleh stigma politik sosialis,
seperti pada Rasuna Said dan Siti Nafsiah, dua perempuan anggota BPUPKI
di antara 46 orang lain. "Berarti ada apa ini? Ini barangkalai ada
hubungannya dengan misoginis yang merasuk dalam cara pandang sejarawan
yang didominasi oleh/male bias/," kata Ruth.
Selain itu, kontribusi organisasi perempuan pada 1950an yang mengusulkan
agar persamaan hak laki-laki dan perempuan masuk pada penyusunan
Undang-undang Dasar Republik Indonesia Serikat (UUD RIS) tidak pernah
dicatat.
Begitu pula dengan sejarah gerakan perempuan yang tidak dianggap sebagai
bagian dari sejarah nasional karena dianggap bukan politik, selain juga
peminggiran karya sastra dari penulis perempuan di era itu, seperti S
Rukiah Kertapati dan Sugiarti Siswadi.
* Peristiwa G30S 1965, penumpasan PKI, dan hari-hari sesudahnya
<https://www.bbc.com/indonesia/dunia-41451322>
* 'Dicina-cinakan' di jalan: pengalaman putra 'tokoh integrasi'
Tionghoa Indonesia pada 1965
<https://www.bbc.com/indonesia/dunia-41738253>
Sementara itu, wartawan Historia, Nur Janti meneliti tentang sosok Maria
Ulfah untuk program Ruang Perempuan dan Tulisan - yang mengumpulkan
karya tulis dari perempuan yang tidak tercatat, terlupakan atau justru
dihapus dari sejarah.
Nur Janti mengatakan bahwa Maria Ulfah bisa mencapai pendidikan tinggi
dan menjadi perempuan Indonesia pertama yang menjadi sarjana di Belanda
karena latar belakangnya dari keluarga ningrat yang melek pendidikan.
"Perempuan untuk menjadi pemeran utama dalam perjuangan masih sangat
minim. Maria Ulfah salah satunya. Tapi kebanyakan bermula dari
perjuangan tentang hak perempuan, baru kemudian ikut dalam perjuangan
nasionalisme. Maria Ulfah berkawan dekat dengan Sjahrir dan sering tukar
pikiran. Bahkan pemikiran Maria Ulfah soal kebangsaan juga dipantik oleh
Sjahrir," kata Janti. Janti juga menemukan bahwa Maria Ulfah juga cukup
progresif karena dianggap perempuan langka dan paling maju di masanya.
Dia bisa terpilih sebagai anggota BPUPKI yang masuk ke panitia
pembahasan UUD, salah satu usulannya adalah pasal 27 yang memberikan
jaminan hak setara baik perempuan maupun lelaki, meski usulan Maria
Ulfah sempat ditentang Soekarno.
"Kalau dibandingkan dengan tokoh lelaki atau rekan sejawatnya, Maria
Ulfah jauh tidak terkenal. Dalam pelajaran sejarah di sekolah pun peran
perempuan nggak banyak dibahas," katanya lagi.
Konten tidak tersedia
Selain Maria Ulfah, ada juga sosok Charlotte Salawati (Salawati Daud)
yang merupakan wali kota perempuan pertama di Indonesia, yaitu di
Makassar, dari Partai Komunis Indonesia pada era pra-kemerdekaan.
Menurut peneliti Dhianita Kusuma Pertiwi yang menelaah tentang sosok
Salawati di Ruang Perempuan dan Tulisan, Salawati menjadi politisi
perempuan yang aktif dalam upaya pencapaian keseteraan hak gender yang
bisa dilihat dari tulisan-tulisannya.
* Dokumen rahasia Amerika: AS mengetahui skala pembantaian tragedi
1965 <https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-41649232>
* Mengapa ada lukisan wajah DN Aidit di Terminal Tiga?
<https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/08/160813_indonesia_lukisan_aidit>
Selain itu, menurut Dhianita, "Dia ikut pendidikan keperawatan untuk
membantu memecahkan permasalahan kurangnya perhatian terhadap ibu hamil
dan melahirkan. Bahkan ia tidak ragu untuk terjun ke lapangan dan
menangani masalah yang terjadi di daerah Makassar, seperti menghadapi
Westerling dan Kahar Muzakkar secara langsung."
Dalam kasus Salawati, menurut Dhianita, penghapusan namanya tidak bisa
dipisahkan dari peristiwa 1965-1966.
"Dia menjadi salah satu tahanan politik yang dituduh berhubungan dengan
peristiwa G30S dan dipenjara di Bukit Duri. Pasca-pembebasannya pada
tahun 1978 dan sampai meninggal, dia tidak pernah mendapatkan kembali
haknya secara penuh, misalnya hak pensiun.
Bahkan perannya sebagai walikota Makassar sempat dihapuskan, terbukti
dari tidak ditemukannya foto Salawati di museum Makassar," kata Dhianita.
---
此電子郵件已由 AVG 檢查病毒。
http://www.avg.com