Putusan Ajaib Mahkamah Agung
Kamis, 8 November 2018 07:00 WIB
0 komentar
<https://kolom.tempo.co/read/1142814/putusan-ajaib-mahkamah-agung/full&view=ok#comments>
33034
#
#
#
#
Oesman Sapta Odang. TEMPO/Dhemas Reviyanto
<https://statik.tempo.co/data/2016/12/20/id_565685/565685_620.jpg>
Oesman Sapta Odang. TEMPO/Dhemas Reviyanto
KOMISI Pemilihan Umum semestinya tetap menggunakan putusan Mahkamah
Konstitusi yang melarang calon anggota Dewan Perwakilan Daerah dari
pengurus partai politik. Putusan Mahkamah Agung, yang berkebalikan dan
membolehkan rangkap fungsi itu, patut diabaikan. Apalagi putusan
Mahkamah Konstitusi sebenarnya berkekuatan final dan mengikat.
Produk dua lembaga hukum yang bertentangan itu bermuara pada satu nama:
Oesman Sapta Odang, Ketua Dewan Perwakilan Daerah, yang ingin
mencalonkan diri kembali pada Pemilihan Umum 2019 sekaligus tetap
mempertahankan jabatannya sebagai Ketua Umum Partai Hanura. Pada Juli
lalu, Mahkamah Konstitusi menerima uji materi Pasal 182 huruf l
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Lembaga ini memutuskan
pengurus partai politik dilarang menjadi anggota DPD guna menghindari
perwakilan ganda dari partai politik dalam pengambilan keputusan di
Senayan. Komisi Pemilihan Umum, berdasarkan putusan itu, mengeluarkan
Peraturan Nomor 26 Tahun 2018 yang mencoret pengurus partai politik dari
daftar calon anggota DPD.
Oesman kemudian mengajukan uji materi peraturan itu ke Mahkamah Agung.
Anehnya, lembaga ini mengabulkan gugatan Oesman dan membatalkan
peraturan yang merupakan pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi.
Putusan ini bisa dikatakan ajaib. Sebab, Undang-Undang Dasar 1945 Pasal
22 telah menyatakan Dewan Perwakilan Daerah berasal dari calon
perseorangan dan bukan dari partai politik. Lembaga ini dibentuk setelah
reformasi 1998, sebagai representasi dan penyalur aspirasi daerah.
Adapun aspirasi partai politik telah terwakili dalam Dewan Perwakilan
Rakyat.
Dalam sistem ketatanegaraan, DPD merupakan kamar kedua dalam parlemen
Indonesia. Lembaga ini dibentuk untuk menjalankan fungsi checks and
balances pada legislatif. Sebab, menurut risalah pembahasannya, aspirasi
daerah belum tertampung pada anggota DPR sebagai perwakilan rakyat.
Dalam hal ini, putusan Mahkamah Konstitusi pada Juli lalu, yang kemudian
diterjemahkan KPU dengan mencoret calon anggota DPD dari unsur pengurus
partai politik, sebenarnya sudah tepat.
Putusan Mahkamah Agung yang seolah-olah menganulir Mahkamah Konstitusi
bisa menjadi preseden buruk. Mereka yang tidak puas terhadap putusan
Mahkamah Konstitusi kelak bisa saja kemudian menggunakan jalur Mahkamah
Agung untuk melawannya. Putusan yang final dan mengikat di Mahkamah
Konstitusi dapat dibelokkan melalui uji materi peraturan di bawahnya ke
Mahkamah Agung.
Komisi Pemilihan Umum, yang kebingungan karena dihadapkan pada dua
produk hukum yang bertentangan, harus tetap berpegang pada putusan
Mahkamah Konstitusi: anggota DPD dilarang merangkap sebagai pengurus
partai politik. Mengikuti putusan Mahkamah Agung, yang artinya
mengingkari putusan Mahkamah Konstitusi, berarti mengkhianati
Undang-Undang Dasar. Kalau masih khawatir dianggap melanggar hukum,
Komisi Pemilihan Umum bisa menyusun peraturan baru mengenai pencalonan
anggota DPD. Komisioner lembaga itu tidak perlu keder pada ancaman
Oesman dan pengacaranya. Politikus ini menyatakan akan menggugat KPU ke
Pengadilan Tata Usaha Negara jika tidak kembali mencantumkan namanya di
daftar calon tetap anggota DPD.
Mahkamah Agung juga terkesan mengistimewakan Oesman. Pada saat menangani
sengketa pemilihan Ketua DPD antara Oesman dan Gusti Kanjeng Ratu Hemas,
tahun lalu, Mahkamah Agung tiba-tiba melantik Oesman sebagai ketua
lembaga itu. Bermain-main politik seperti ini sangat tidak patut. Jika
terus terulang, tak salah jika lembaga ini kelak dijuluki mahkamah ajaib.
==========
https://kolom.tempo.co/read/1143418/putusan-janggal-mahkamah-agung/full&view=ok
Putusan Janggal Mahkamah Agung
Selasa, 6 November 2018 07:07 WIB
Mantan Hakim Agung Artidjo Alkostar saat jumpa wartawan di Media Center
Mahkamah Agung, Jakarta Pusat, Jumat, 25 Mei 2018. TEMPO/M Julnis
Firmansyah
<https://statik.tempo.co/data/2018/05/25/id_707919/707919_720.jpg>
Mantan Hakim Agung Artidjo Alkostar saat jumpa wartawan di Media Center
Mahkamah Agung, Jakarta Pusat, Jumat, 25 Mei 2018. TEMPO/M Julnis Firmansyah
Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebaiknya mengabaikan putusan Mahkamah Agung
yang membolehkan pengurus partai politik menjadi calon anggota Dewan
Perwakilan Daerah (DPD). Putusan tersebut bertabrakan dengan putusan
Mahkamah Konstitusi. Pada Juli lalu, Mahkamah Konstitusi meluluskan uji
materi atas Pasal 182 huruf I Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang
Pemilu dan melarang pengurus partai politik menjadi anggota DPD.
Pasal 182 huruf I mengatur tentang persyaratan calon anggota DPD.
Pertimbangan para hakim konstitusi sudah terang-benderang, yakni
menghindari perwakilan ganda dari partai. Sebab, kalau pengurus partai
boleh mencalonkan diri menjadi anggota DPD, tujuan pembentukan lembaga
tersebut tidak tercapai.
DPD merupakan lembaga perwakilan yang didirikan untuk mengakomodasi
aspirasi daerah atau semacam kamar kedua di parlemen. Mereka berfungsi
sebagai penyeimbang terhadap suara partai di legislatif. Faktanya saat
ini, jumlah pengurus partai yang menjadi anggota DPD malah lebih banyak
dari perwakilan murni daerah. Hal ini jelas merisaukan. Para politikus
tersebut akan lebih patuh terhadap keputusan partai. Padahal anggota DPD
seharusnya hanya setia kepada suara masyarakat di daerahnya.
Kekacauan hukum ini bermula dari keinginan Ketua DPD Oesman Sapta Odang
kembali mengajukan diri sebagai anggota DPD, tapi tak mau melepaskan
jabatannya sebagai Ketua Umum Partai Hanura. Peraturan Komisi Pemilihan
Umum (PKPU) Nomor 26 Tahun 2018 yang merupakan turunan dari
Undang-Undang Pemilu pasca-uji materi menghalangi niat tersebut.
Sebenarnya KPU telah cukup bijak. Dengan pertimbangan bahwa putusan
Mahkamah Konstitusi keluar setelah proses pendaftaran calon DPD
berjalan, KPU membolehkan pengurus partai yang telanjur mendaftar untuk
mempertahankan status pencalonannya, asalkan mereka mundur dari
kepengurusan partai. Namun Oesman menolak. Selain menggugat ke Mahkamah
Agung, dia bersama pengacaranya mengancam akan meneruskan sengketa ke
Pengadilan Tata Usaha Negara jika KPU tak menjalankan putusan Mahkamah
Agung.
Komisioner KPU tidak perlu khawatir akan ancaman Oesman dan
pengacaranya. Bagaimanapun, putusan Mahkamah Konstitusi derajatnya lebih
tinggi karena merujuk pada undang-undang. Jika diperlukan, KPU bisa
menyiapkan peraturan baru soal pencalonan anggota DPD menggantikan PKPU
yang telah dianulir Mahkamah Agung.
Di sisi lain, putusan Mahkamah Agung yang seolah melawan putusan
Mahkamah Konstitusi ini merupakan preseden buruk bagi penyelenggaraan
hukum. Sebuah aturan perundang-undangan yang telah diputuskan oleh
Mahkamah Konstitusi kini dapat dilawan dengan uji materi atas peraturan
turunannya di Mahkamah Agung. Kalau hal ini dibiarkan, kekacauan hukum
semacam itu akan terus berulang.
Mahkamah Agung seharusnya tidak mempermainkan hukum. Keputusan janggal
seperti yang terjadi dalam sengketa PKPU yang melibatkan Oesman ini,
selain merusak tatanan hukum, bisa menggerus kepercayaan publik. *
------------------------------------------------------------------------