Keadilan dalam Kepastian Hukum
Oleh :
Andi Hamzah
Rabu, 12 Desember 2018 07:00 WIB
0KOMENTAR
<https://kolom.tempo.co/read/1154467/keadilan-dalam-kepastian-hukum/full&view=ok#comments>
000
#
#
#
#
Baiq Nuril. ANTARA
<https://statik.tempo.co/data/2018/11/17/id_797540/797540_720.jpg>
Baiq Nuril. ANTARA
*Andi Hamzah*
/Pakar Hukum Pidana/
Bahaya paling besar yang dapat mengancam stabilitas nasional adalah
apabila masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap upaya penegakan
hukum, yang tak mampu menghadirkan rasa ke-adilan dan keseimbangan
keadilan di hati masyarakat. Potret yang merisaukan masih saja tampak di
depan mata kita, yakni begitu seringnya penegakan hukum justru dilakukan
dengan cara-cara yang melanggar asas dan aturan hukum.
Contoh yang mutakhir adalah kasus Baiq Nuril, guru di Mataram. Mahkamah
Agung menerima permohonan jaksa dan menghukum Nuril enam bulan penjara.
Padahal putusan Pengadilan Negeri adalah bebas dari dakwaan. Hal ini
jelas melanggar Pasal 244 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang
menyebutkan, "Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada
tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain dari Mahkamah Agung,
terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan kasasi kepada
Mahkamah Agung, kecuali terhadap putusan bebas."
Artinya, putusan bebas tak boleh digugat ke tingkat kasasi. Jadi,
putusan MA ini melanggar kepastian hukum dan langsung menjadi putusan
yang tidak adil. Kondisi semacam inilah yang sering kita temukan dalam
penanganan berbagai kasus, terlebih kasus-kasus yang sarat dengan muatan
politik.
Salah satu kasus semacam ini, yang hingga sekarang masih tampak
kontroversial di mata masyarakat, adalah kasus mantan Ketua Dewan
Perwakilan Daerah, Irman Gusman. Ia dihukum 4 tahun 6 bulan ditambah
pencabutan hak politik selama tiga tahun karena dianggap menerima suap
dan memperdagangkan pengaruh.
Ulasan ini tidak bermaksud "mengadili" putusan pengadilan karena putusan
tersebut sudah berkekuatan hukum tetap. Tulisan ini bertujuan memberikan
bahan perenungan tentang penegakan hukum yang belum mampu menghadirkan
rasa keadilan dan keseimbangan.
Ada beberapa catatan saya tentang penanganan kasus ini. Pertama, majelis
hakim menerapkan Pasal 12 huruf b sebagai dakwaan primer dengan tuduhan
bahwa Irman menerima suap. Padahal Ketua DPD sama sekali tidak memiliki
kewenangan dan kewajiban dalam jabatannya yang berhubungan dengan urusan
impor dan distribusi gula. Ini bukan kewenangan DPD, tapi Badan Urusan
Logistik.
Kedua, peristiwa Irman menerima pemberian dari seorang saudagar gula
asal Sumatera Barat sebesar Rp 100 juta itu lebih tepat dikategorikan
sebagai peristiwa yang mengarah pada hadiah atau gratifikasi, dan
semestinya Irman diberi kebebasan untuk melaporkan pemberian itu kepada
Komisi Pemberantasan Korupsi dalam tempo 30 hari setelah kejadian.
Istilah "gratifikasi" sendiri bukanlah pelanggaran hukum. Gratifikasi
yang melanggar ketentuan hukumlah yang bisa dipidana.
Ketiga, KPK sudah menyadap Irman selama berbulan-bulan, tapi sama sekali
tidak melakukan upaya pencegahan. Tugas mulia penegak hukum bukan
mencari-cari kesalahan, melainkan mencegah terjadinya pelanggaran hukum.
Penegak hukum bukanlah "tukang-tukang hukum", melainkan pengawal
ketaatan hukum dan pencipta rasa keadilan.
Keempat, Irman dituduh memperdagangkan pengaruhnya kepada Bulog untuk
menguntungkan dirinya dan si pemberi gratifikasi itu. Ini lebih aneh
lagi karena tindakan perdagangan pengaruh itu sendiri belum dimasukkan
ke Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau undang-undang lain.
ADVERTISEMENT
Kelima, hakim juga memutus perkara Irman dengan memberikan hu-kuman
tambahan berupa pencabutan hak politiknya selama tiga tahun, padahal ini
tidak didakwakan jaksa. Di sini hakim terkesan kurang membaca
Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, yang mengharuskan hakim menggali
semua fakta dan aspek suatu perkara demi menghadirkan keadilan dalam
kepastian hukum.
Keenam, penggunaan istilah operasi tangkap tangan perlu diluruskan.
Istilah "tertangkap tangan" sama dengan "tertangkap basah". Kalau
seseorang disadap berbulan-bulan lalu ditangkap, itu bukan tertangkap
tangan, melainkan pengintaian dan penjebakan. Celakanya, ini
diperbolehkan dalam sistem yang berlaku. Padahal di sinilah tempat
penegak hukum bisa melakukan pencegahan agar pelanggaran hukum tidak
sampai terjadi.
Kepastian hukum dan keadilan harus dilihat sebagai dua sisi yang tak
dapat dipisahkan dari satu koin yang utuh. Sebab, keadilan mesti menjadi
tujuan utama dari kepastian hukum. Selain itu, keadilan sendiri tak akan
bisa ditemukan apabila tak dibangun dalam kebenaran dan kejujuran dalam
penerapan hukum.
---
此電子郵件已由 AVG 檢查病毒。
http://www.avg.com