https://news.detik.com/kolom/d-4408783/mau-dibawa-ke-mana-produk-petani

Kamis 31 Januari 2019, 14:48 WIB


   Kolom


 Mau Dibawa ke Mana Produk Petani?

Dyah Woro Untari - detikNews
<https://news.detik.com/kolom/d-4408783/mau-dibawa-ke-mana-produk-petani#>
Dyah Woro Untari <https://news.detik.com/kolom/d-4408783/mau-dibawa-ke-mana-produk-petani#> Share *0* <https://news.detik.com/kolom/d-4408783/mau-dibawa-ke-mana-produk-petani#> Tweet <https://news.detik.com/kolom/d-4408783/mau-dibawa-ke-mana-produk-petani#> Share *0* <https://news.detik.com/kolom/d-4408783/mau-dibawa-ke-mana-produk-petani#> 4 komentar <https://news.detik.com/kolom/d-4408783/mau-dibawa-ke-mana-produk-petani#> Mau Dibawa ke Mana Produk Petani? Bupati Tangeran dukung petani hortikultura (Foto: Ewindo/Istimewa)
*Jakarta* -

Kita patut berbangga karena dalam kurun waktu satu dekade data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan tingkat inflasi turun dari 11,06% menjadi 3,13%. Bahkan Kementerian Pertanian telah memproyeksikan produk bawang merah dan cabai serta olahannya untuk diekspor pada tahun 2045.

Tentunya ini menjadi angin segar untuk geliat kehidupan ekonomi masyarakat yang tumbuh 5,27% pada triwulan kedua tahun 2018 menurut BPS. Tingkat kesejahteraan masyarakat semakin meningkat, kebutuhan gizi, papan, dan edukasi yang lebih aman merupakan salah satu titik penentu investasi pembangunan sumberdaya manusia.

*Harga di Tingkat Petani
*

Namun demikian jika kita melakukan studi kualitatif ke daerah perdesaan, justru harga inilah yang menjadi permasalahan. Ketika banyak masyarakat Indonesia yang menikmati harga pangan murah, para petani justru mengalami kesulitan karena harga di tingkat petani dapat dipastikan lebih rendah dari pasar dikarenakan panjangnya rantai pasar, khususnya produk hortikultura.

Apalagi ketika terjadi panen serentak dan produk melimpah. Tak jarang harga yang diperoleh berada di bawah titik impas dan menyebabkan petani tidak mampu menyisihkan pendapatan untuk modal tanam musim berikutnya. Sebagian petani pun mencoba berbagai inisiatif seperti mencoba memotong rantai pasar dengan melakukan penjualan secara kolektif.

Tentunya ini menjadi perhatian bersama. Pemerintah dalam hal ini pun telah mengupayakan solusinya, salah satunya dengan strategi perlindungan petani yang tertuang dalam UU No 15 tahun 2013. Di sana disebutkan bahwa perlindungan harga merupakan salah satu strategi perlindungan petani. Salah satu yang krusial adalah pengembangan sistem dan sarana pemasaran pertanian.

*Menguatkan Modal Pemasaran
*

Banyak cara yang telah atau sedang dilakukan yang patut diapresiasi, misalnya dengan pengembangan Toko Tani Indonesia, penguatan modal pemasaran kelompok tani, mempertemukan petani selaku produsen dengan supermarket maupun menghadirkan pabrik pangan untuk terhubung langsung dengan petani. Bahkan di beberapa daerah pun dana desa telah diproyeksikan untuk menguatkan modal pemasaran secara berkelompok oleh para petani.

Sebenarnya sudah menjadi rahasia umum bahwa kebanyakan petani tidak bisa menjual langsung ke konsumen. Walaupun sekarang ini sudah banyak /platform/ /fintech/ yang mempromosikan transaksi langsung antara produsen dan konsumen, namun hal ini belum banyak menyentuh sektor pertanian di pedesaan.

Pada umumnya, permasalahan yang dihadapi petani adalah tidak adanya akses untuk mencapai rantai pasar terakhir. Di samping dikarenakan permasalahan tidak adanya /network/ penjualan, faktor modal dan /trust/ adalah yang paling urgen.

*Menanggung Risiko
*

Dapat kita bayangkan apabila, taruhlah, para petani hortikultura di daerah mengumpulkan produknya dan mengirimkannya dalam jumlah besar ke pasar induk, misalnya ke Jakarta. Kemungkinan yang terjadi adalah barang sampai di tujuan, namun pembayaran tidak serta-merta terjadi. Bisa jadi para petani tersebut harus menunggu hingga 2-4 kali pengiriman untuk mendapatkan pembayaran kiriman produk yang pertama.

Para petani menyebutkan, mereka sangat terbatas dalam ketersediaan dana cadangan. Belum lagi jika ternyata faktor kepercayaan tidak didapatkan, alias barang entah kenapa tidak dibayar. Mereka harus menanggung risiko kerugian barang dalam jumlah yang besar milik banyak petani. Belum lagi biaya sortasi, pengepakan, dan transportasi yang telah dikeluarkan.

Sedangkan pihak yang berperan dalam hal ini adalah pedagang perantara yang mau menanggung berbagai risiko seperti keterlambatan pembayaran, tidak didapatnya kepercayaan yang diharapkan, biaya transportasi, dan lain-lain.

Untuk mengatasi masalah tersebut, meniadakan peran pedagang perantara juga bukan hal yang serta-merta dapat dilakukan. Karena memang sebagian besar petani sendiri belum mampu melakukan penjualan produknya pada level tersebut.

*Akses Pasar
*

Beberapa hal yang menjadi perhatian adalah diberlakukannya harga eceran terendah untuk produk-produk pertanian. Walaupun pada saat ini sudah ditetapkan harga eceran tertinggi dan terendah, namun pada umumnya berlaku untuk produk beras dan palawija.

Dis amping itu, apabila kita mendengarkan suara dari petani, banyak yang mengeluhkan, kenapa hortikultura tidak dijamin pembeliannya, tidak seperti beras, bukankah hortikultura juga termasuk kebutuhan pokok?

Tentu saja ini menjadi dilematis, karena memang produk hortikultura bersifat cepat rusak dan memiliki daya simpan yang singkat. Namun, sepertinya ide para petani itu tidaklah buruk.

Apalagi jika misalnya pemerintah membeli produk petani dengan harga layak dan melengkapi sistem resi gudang yang sudah dimiliki dengan /cooling-storage/ sebelum akhirnya dijual kepada pihak ketiga atau diolah. Dengan demikian pemerintah mengambil alih faktor risiko yang mungkin timbul.

Pada dasarnya dengan pengalaman yang mereka miliki, petani kita sudah amatlah cerdas dalam hal memproduksi pangan. Di samping itu, telah banyak pihak yang berperan membantu petani dalam hal budidaya dan pemberantasan hama baik dari pemerintah sendiri serta perguruan tinggi maupun swasta.

Jika akses pasar yang layak tersedia dengan peluang terjadinya risiko yang masih mampu ditahan oleh petani, para petani sebenarnya tidak usah disuruh, mereka akan dengan sendirinya memutar otak bagaimana memenuhi kualifikasi dan jumlah permintaan yang dimaksud.

*Dyah Woro Untari* /staf Fakultas Pertanian UGM, awardee BUDI-LN 2016, sedang menempuh studi di Wageningen University Belanda/




*(mmu/mmu)*

*
*

*
*

*
*

*
*

Kirim email ke