https://news.detik.com/kolom/d-4408793/dilema-politik-kaum-sarungan-refleksi-harlah-nu-ke-93?tag_from=wp_cb_kolom_list&_ga=2.159686525.1994110016.1548948230-1241098349.1548948230
Kamis 31 Januari 2019, 15:26 WIB
Kolom
Dilema Politik Kaum Sarungan (Refleksi
Harlah NU ke-93)
Fathor Rahman Jm - detikNews
<https://connect.detik.com/dashboard/public/fathorrahmanjm1984>
Fathor Rahman Jm
<https://connect.detik.com/dashboard/public/fathorrahmanjm1984>
Share *0*
<https://news.detik.com/kolom/d-4408793/dilema-politik-kaum-sarungan-refleksi-harlah-nu-ke-93?tag_from=wp_cb_kolom_list&_ga=2.159686525.1994110016.1548948230-1241098349.1548948230#>
Tweet
<https://news.detik.com/kolom/d-4408793/dilema-politik-kaum-sarungan-refleksi-harlah-nu-ke-93?tag_from=wp_cb_kolom_list&_ga=2.159686525.1994110016.1548948230-1241098349.1548948230#>
Share *0*
<https://news.detik.com/kolom/d-4408793/dilema-politik-kaum-sarungan-refleksi-harlah-nu-ke-93?tag_from=wp_cb_kolom_list&_ga=2.159686525.1994110016.1548948230-1241098349.1548948230#>
0 komentar
<https://news.detik.com/kolom/d-4408793/dilema-politik-kaum-sarungan-refleksi-harlah-nu-ke-93?tag_from=wp_cb_kolom_list&_ga=2.159686525.1994110016.1548948230-1241098349.1548948230#>
Dilema Politik Kaum Sarungan (Refleksi Harlah NU ke-93)
*Jakarta* - Duet Jokowi-Ma'ruf Amin pada Pilpres 2019 menunjukkan, dalam
arena politik praktis, yang dikedepankan adalah logika kekuatan, bukan
kekuatan logika. Dalam perhitungan politik, dipilihnya KH Ma'ruf Amin
menjadi cawapres Jokowi di antaranya merupakan langkah pengamanan
Koalisi Indonesia Kerja (KIK).
Tidak ada yang bisa menjamin keutuhan KIK jika Jokowi memilih Mahfud MD,
Muhaimin Iskandar, atau Romahurmuziy. Hanya Kiai Ma'ruf Amin yang bisa
diterima oleh faksi-faksi dalam koalisi tersebut lantaran senioritas dan
posisi Kiai Ma'ruf Amin yang merupakan sesepuh di Nahdlatul Ulama (NU)
dan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Langkah itu diambil Jokowi juga bisa digunakan untuk menangkal isu anti
Islam dan ulama yang selama ini disematkan padanya. Tidak ada yang bisa
menyangkal keulamaan Kiai Ma'ruf Amin. Dan benar, langkah tersebut
dinilai efektif untuk mengkonsolidasikan para eksponen NU, baik
struktural maupun kultural, hingga saat ini.
Bagi kalangan politisi NU sebagai bagian kaum Islam tradisionalis,
pilihan itu merupakan langkah konsolidatif internal untuk menghadapi
gerakan populisme Islam yang semakin gencar di Tanah Air sejak era
Reformasi, yang sejak awal rupanya lebih mesra dengan kubu Prabowo Subianto.
Memang, politik kekuasaan merupakan proses yang dinamis dan penuh dengan
ketidakpastian. Namun, dipilihnya KH Ma'ruf Amin sebagai cawapres Jokowi
merupakan pertunjukan politik yang cukup mengejutkan bagi sementara
kalangan, termasuk bagi sebagian warga NU sendiri. Kiai Ma'ruf Amin
adalah Rais Am PBNU.
Dari sudut pandang relasi, sistem, dan struktur kepemimpinan ulama dalam
tradisi NU, dipilihnya Kiai Ma'ruf Amin sebagai cawapres sering juga
dianggap tidak lumrah. Jangankan jajaran pengurus /syuriah/ apalagi Rais
Am, pengurus /tanfidziyah/ NU saja dianggap tabu terjun langsung dalam
politik kekuasaan, lebih-lebih jika dihubungkan dengan /Khittah/ NU 1926
yang ditetapkan sejak Muktamar NU ke-27 di Situbondo pada 1984.
Bahkan, pada momen Muktamar NU yang ke-32 di Makassar, misalnya, para
/muktamirin/ tampak sangat antusias dan kompak pada tiga prinsip.
Pertama, NU harus menjauhi aktivitas politik praktis. Kedua, NU harus
dilepaskan dari dominasi politisi. Ketiga, NU harus dikembalikan lagi ke
bawah supremasi ulama.
Ketika sampai pada sesi pemilihan Ketua Umum PBNU pada 2010 itu, setiap
kandidat antusias dan fasih berjanji mewujudkan tiga prinsip tersebut
jika terpilih sebagai ketua umum. Demikian juga kontestan terpilih Said
Aqil Siradj juga berjanji akan menjauhkan NU dari gelanggang politik
praktis. Namun, kenyataannya pada saat ini Said Aqil Siradj rupanya
semakin lincah "bermain" di ranah politik praktis.
Apakah dengan demikian, elite NU saat ini melanggar Pemulihan /Khittah/
NU 1926?
*Pertaruhan Besar
*Konsideran Keputusan Munas Alim Ulama NU No. II/MAUNU/1404/1983 Tentang
Pemulihan /Khittah/ NU 1926, yang kemudian dikukuhkan dengan keputusan
Muktamar NU No. 01/MNU-27/1984, antara lain disebutkan bahwa: /Dalam
kurun waktu yang cukup lama, secara tidak disadari Nahdlatul Ulama telah
menjadi kurang peka dalam menanggapi perkembangan keadaan, khususnya
yang menyangkut kepentingan umat dan bangsanya. Salah satu sebab ialah
keterlibatan yang berlebihan dalam kegiatan politik praktis.
/Mengapa /Khittah/ NU itu seakan tidak bertaji? Ini tidak lepas dari
karakter tafsir terhadap konsideran /khittah/ tersebut yang fleksibel
dan elastis. Karakterisitik ini dapat ditelusuri dalam tradisi
intelektual NU dan pesantren yang berbasis /fiqh/ dan kaidah /fiqh/.
Bahkan karakter tersebut tertulis secara gamblang di bagian lain dalam
Keputusan Munas Alim Ulama NU No. II/MAUNU/1404/1983 Tentang Pemulihan
/Khittah/ NU 1926 sebagai berikut: /Sesuai dengan kaidah /fiqh/, bahwa
setiap hukum selalu berubah menurut /'illat/-nya (/al-hukmu yadurru ma'a
'illatihi wujudan wa 'adâman/), serta tabiat alam (realitas sosial) yang
selalu berubah dan membawa kebutuhan-kebutuhan baru, maka NU selalu
sadar bahwa dalam melaksanakan semangat NU 1926 juga diselaraskan dengan
tuntutan dan kebutuhan yang baru itu. Dengan begitu cara-cara
(/kaifiyah/) perjuangan dalam perkhidmatannya juga selalu disesuaikan
dengan perubahan zaman tersebut.
/Prinsip atau kaidah /fiqh/ di atas merupakan ungkapan
artikulatif-eksplisit dari dasar sikap makropolitik NU yang tercermin
dalam sepak terjangnya dalam lintasan sejarah nasional Indonesia,
termasuk mengenai hubungan NU-politik praktis.
Sebab itu, konsekuensinya, hubungan NU-politik praktis sewaktu-waktu
dapat berubah sesuai dengan kebutuhan dan kemaslahatan yang diperlukan
bagi keberlangsungan perlindungan kepentingan-kepentingan umat Islam
tradisional. Perubahan tersebut disesuaikan dengan semangat zaman dan
kondisi yang dihadapi.
Mengapa pada 1984 NU menyatakan steril dari politik praktis? Karena
semangat zaman menuntut demikian. Itu strategi politik para elite NU
ketika kondisi politik waktu itu tidak memungkinkan untuk mengepakkan
sayap di jalur politik praktis lantaran represi pemerintah Orde Baru.
Langkah strategis itu untuk menghindari kebuntuan gerakan NU pada waktu
itu. Itulah langkah non-politis dari politik NU.
Berbeda dengan zaman Orde Baru, saat ini NU memiliki peluang yang cukup
lebar untuk memperbesar kiprahnya dalam politik praktis. Spirit zaman
memanggilnya, sehingga melalui jalur politik praktis NU bisa memiliki
peluang besar untuk mewujudkan tujuannya: (i) membangun spirit
kebangsaan; (ii) menyejahterakan masyarakat dalam segala bidang
kehidupan; dan (iii) membendung /wahabisasi/ dengan mengembangkan Islam
tradisionalis.
Namun demikian, terjunnya Kiai Ma'ruf Amin menjadi cawapres merupakan
pertaruhan besar bagi NU. Kiai Ma'ruf Amin adalah representasi ulama
/khos/ di ormas Islam terbesar di Indonesia dan dunia ini. Semestinya
dia tidak terjun dalam arena perebutan kekuasaan, apalagi hanya sebagai
cawapres. Proporsinya adalah sebagai wasit, jujukan, juru kunci
moralitas politik, dan pemersatu antarelemen bangsa yang mungkin saja
pecah lantaran pertikaian dalam proses perebutan kekuasaan.
Itulah dilema NU di tengah pusaran politik kekuasaan. Namun, NU adalah
ormas yang sudah matang dan terbukti tangguh dalam menghadapi segala
kondisi sosial politik dalam sejarah Indonesia modern yang sangat pelik
sekalipun.
*Fathor Rahman Jm*/dosen Sosiologi Politik Fakultas Syariah IAIN Jember,
pengurus PCNU Jember/
//
//
*(mmu/mmu)
*
**