https://mediaindonesia.com/editorials/detail_editorials/1700-mk-membutuhkan-bukti-bukan-narasi
/*MK Membutuhkan Bukti bukan Narasi*/
Penulis: *Media Indonesia* Pada: Senin, 27 Mei 2019, 05:05 WIB Editorial
MI <https://mediaindonesia.com/editorials>
<https://www.facebook.com/share.php?u=https://mediaindonesia.com/editorials/detail_editorials/1700-mk-membutuhkan-bukti-bukan-narasi>
<https://twitter.com/home/?status=https://mediaindonesia.com/editorials/detail_editorials/1700-mk-membutuhkan-bukti-bukan-narasi>
MAHKAMAH Konstitusi menjadi penentu hasil Pilpres 2019. Disebut penentu
karena kubu Prabowo Subianto-Sandiaga Uno mendaftarkan sengketa
perselisihan hasil pilpres ke MK pada Jumat (24/5).
Keputusan MK yang paling lambat dibacakan pada 28 Juni nanti bersifat
final dan mengikat. Karena itu, kubu Prabowo-Sandi mestinya menyiapkan
data, bukan narasi, untuk membuktikan tuduhan kecurangan yang dilakukan
kubu Joko Widodo-Ma’ruf Amin.
Narasi yang coba dibangun ialah MK jangan menjadi bagian dari rezim yang
korup. "Mudah-mudahan Mahkamah Konstitusi bisa menempatkan dirinya
menjadi bagian penting di mana kejujuran dan keadilan harus menjadi
watak dari kekuasaan, dan bukan justru menjadi bagian dari satu sikap
rezim yang korup," kata Bambang Widjojanto, Ketua Tim Hukum Prabowo-Sandi.
Pernyataan Bambang itu mendapat reaksi keras, termasuk dari hakim MK
periode 2003-2006 Maruarar Siahaan. Menurut Maruarar, pernyataan Bambang
bahwa MK jangan menjadi bagian dari rezim yang korup ialah /framing/
opini yang berbahaya. "Dia (Bambang) mau membangun opini jika MK nanti
menolak gugatan kubu 02, lembaga ini korup dan bagian dari pemilu
curang," kata Maruarar.
Elok nian bila semua pihak yang beperkara di MK mengandalkan pada alat
bukti, bukan membangun opini yang menyesatkan, sebab patokan MK dalam
memutuskan perkara ialah sesuai dengan alat bukti dan keyakinan hakim.
Putusan MK yang mengabulkan permohonan didasarkan pada
sekurang-kurangnya dua alat bukti.
Hanya ada enam alat bukti yang berlaku di MK sesuai ketentuan
perundangan, yaitu surat atau tulisan, keterangan saksi, keterangan
ahli, keterangan para pihak, petunjuk, dan alat bukti lain berupa
informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara
elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.
Sebanyak 51 bukti diserahkan kubu Prabowo-Sandi kepada MK untuk
membuktikan dalil mereka bahwa Pilpres 2019 ialah pemilu yang dilakukan
penuh kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM). Hal itu
diukur dari penyalahgunaan APBN, ketidaknetralan aparat, penyalahgunaan
birokrasi, pembatasan media, serta diskriminasi perlakuan dan
penyalahgunaan penegakan hukum.
Sebagian besar dari 51 bukti yang diserahkan itu berupa /file/ dan
dokumentasi dari pemberitaan media massa. Sebelumnya, pasangan
Prabowo-Sandi juga pernah membuat laporan kepada Badan Pengawas Pemilu
(Bawaslu) terkait dengan dugaan pelanggaran TSM oleh pasangan Joko
Widodo-Ma’ruf Amin pada saat tahapan pemilu berlangsung.
Putusan Bawaslu yang dibacakan pada 20 Mei itu menyatakan laporan dugaan
pelanggaran administratif pemilu TSM tidak dapat diterima. Dalam
pertimbangannya, Bawaslu menyebut bukti-bukti yang diajukan kubu
Prabowo-Sandi belum memenuhi kriteria karena bukti yang diajukan di
antaranya berupa tautan /link/ berita.
Tautan atau /link/ berita semata tidak cukup kuat dijadikan dasar
pembuktian kecurangan pilpres sehingga ditolak Bawaslu. Tidak kuat
karena sumber berita yang dikutip itu belum tentu pihak yang melihat,
mendengar, atau mengetahui informasi sesungguhnya. Peradilan itu
membutuhkan bukti materiil seperti dokumen atau saksi yang terlibat
dalam peristiwa hukum.
Meski demikian, kubu Prabowo-Sandi tetap mencoba peruntungan di MK
dengan membawa bukti yang sebagiannya sudah ditolak Bawaslu. Apa pun
putusan MK, untung atau buntung, wajib dipatuhi karena putusan itu
bersifat final dan mengikat.
Kepatuhan mengikuti putusan MK sebagai satu-satunya jalur konstitusional
dalam mempersoalkan hasil pilpres sesungguhnya cermin dari kematangan
berdemokrasi. Beradu bukti di MK, bukan membangun narasi opini
menyesatkan, juga bagian dari kematangan berdemokrasi itu sendiri.
Percayalah, bukti-bukti yang diungkapkan di dalam persidangan menjadi
pertimbangan utama hakim konstitusi dalam memutus perkara.
MK merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan
kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan. Karena itu, tidak tepat menyebut MK sebagai bagian
dari rezim yang korup.
<https://www.facebook.com/share.php?u=https://mediaindonesia.com/editorials/detail_editorials/1700-mk-membutuhkan-bukti-bukan-narasi>
<https://twitter.com/home/?status=https://mediaindonesia.com/editorials/detail_editorials/1700-mk-membutuhkan-bukti-bukan-narasi>