https://news.detik.com/kolom/d-4597705/sengkarut-tata-kelola-bumn-kita
Senin 24 Juni 2019, 12:27 WIB
Kolom
Sengkarut Tata Kelola BUMN Kita
Pandhu Yuanjaya - detikNews
<https://connect.detik.com/dashboard/public/pandhu1>
Pandhu Yuanjaya <https://connect.detik.com/dashboard/public/pandhu1>
Share *0*
<https://news.detik.com/kolom/d-4597705/sengkarut-tata-kelola-bumn-kita#>
Tweet
<https://news.detik.com/kolom/d-4597705/sengkarut-tata-kelola-bumn-kita#>
Share *0*
<https://news.detik.com/kolom/d-4597705/sengkarut-tata-kelola-bumn-kita#>
0 komentar
<https://news.detik.com/kolom/d-4597705/sengkarut-tata-kelola-bumn-kita#>
Sengkarut Tata Kelola BUMN Kita Gedung Kementerian BUMN (Foto: Hendra
Kusuma/detikFinance)
*Jakarta* -
Kasus korupsi terus mendera BUMN kita. Kasusnya merentang luas mulai
dari pengadaan barang, anggaran fiktif, terjerat suap, hingga
gratifikasi proyek. Lebih miris lagi, pelakunya adalah direktur BUMN itu
sendiri. Belakangan, ada direktur Krakatau Steel yang terkena Operasi
Tangkap Tangan (OTT) oleh KPK karena suap. Kasus yang sama menjerat
Direktur PLN dalam kasus suap PLTU Riau 1. Belum lagi masalah investasi
Pertamina yang justru mengantar mantan direkturnya, Karen Agustiawan ke
jeruji besi dengan dakwaan majelis hakim bahwa investasi tersebut
merugikan Rp 568 miliar bagi negara.
Jika masing-masing kasus korupsi BUMN tersebut kita ulas lebih detail,
bukan titik terang yang kita dapat, tapi rasa sedih. Sedih, karena semua
kasus korupsi itu adalah kasus yang sama belaka dengan kasus korupsi
BUMN kita pada masa lalu. BUMN kita masa lalu pengelolaan bisnisnya
dikendalikan dan diintervensi dengan pendekatan politis-birokratis yang
tidak beda dengan instansi pemerintah lainnya, seperti dana bersumber
dari APBN, pegawai PNS, program /inward looking/ ke birokrasi, pelayanan
buruk, dan KKN membudaya.
Organisation for Economic Co-operation and Development (2005, 2015)
menggambarkan bahwa BUMN kesulitan berkembang karena intervensi negara
yang berlebihan dalam manajemen perusahaan, terlebih terjadi konflik
kepentingan di multilevel kepemimpinan, banyak tujuan dari para
/shareholder/ seiring dengan ketidakpahaman politisi dan birokrasi
terhadap arah kemajuan dan risiko bisnis BUMN.
Kinerja yang demikianlah yang selama ini menjadi alasan bagi pemerintah
sejak awal 2000-an untuk melakukan perubahan besar pada BUMN kita, mulai
dari restrukturisasi, privatisasi, profitisasi, hingga paling baru
proyek holdingisasi BUMN. Intinya, kita sudah melakukan semua yang
diperlukan untuk memperbaiki BUMN kita. Bahkan, mengenai privatisasi
yang dilakukan pada beberapa BUMN, bertahun-tahun kita telah
mendiskusikan hingga berbusa-busa, sebagian saling memaki, berulang
terus hingga saat ini.
Namun, apa yang terjadi? Hari ini kita melihat BUMN yang sama. Tidak
bisa lepas dari kekangan bernuansa politis dan birokratis meski sebagian
BUMN sudah memiliki /shareholder/ yang beragam. Padahal, beberapa tahun
belakangan ini kita menikmati pemberitaan Garuda Indonesia sebagai
maskapai dengan pelayanan terbaik di dunia, PLN dan Pertamina masuk 500
perusahaan terbaik dunia berdasarkan penilaian majalah bisnis terkemuka,
BUMN memiliki kinerja yang bagus di bursa, dan citra yang terus membaik
juga dimiliki oleh banyak BUMN kita yang lain. Kemudian, citra baik itu
anjlok tatkala rentetan pejabat BUMN itu, terutama perusahaan yang sudah
disebut, terjerat korupsi.
Setidaknya, terdapat tiga kondisi yang mendorong pejabat BUMN melakukan
korupsi. Pertama, pemilihan direksi dan komisaris BUMN terkesan politis
karena ditentukan oleh pemenang kontestasi pemilu. Sering ini merupakan
ekses dari politik transaksional, bukan orientasi kemajuan bisnis dan
layanan publik. Kedua, BUMN sering mengalami kekalahan apabila bersaing
dengan perusahaan multinasional atau perusahaan "milik" politisi
berpengaruh. Hal ini mendorong direksi untuk melakukan suap, karena
tuntutan dari kementerian untuk memenangkan tender juga besar.
Ketiga, BUMN yang memiliki /privilege/ untuk memonopoli barang dan jasa
publik tidak akan ditinggalkan konsumen apapun yang terjadi. Tidak hanya
kasus korupsi, BUMN yang merusak lingkungan misalnya, produknya masih
tetap dibeli masyarakat. Masyarakat mau tidak mau tetap membeli.
Kenyataan inilah yang juga menyebabkan apapun masalah yang mendera BUMN,
harga sahamnya relatif stabil.
*Layanan dan Keuntungan*
Bagaimanapun yang telah diuraikan di atas tidak bisa mengurangi peran
BUMN yang penting bagi penyediaan barang dan jasa publik, penjaga harga,
serta misi pembangunan di Indonesia. Kita perlu bersama mengingatkan
agar capaian yang diraih tidak sirna dengan maraknya kasus korupsi.
Perlu dipahami oleh seluruh/shareholder/ BUMN, Undang-Undang No 19 tahun
2003 mengamanahi BUMN sebagai perusahaan negara dengan tujuan
menyediakan barang dan jasa publik untuk memberikan layanan sekaligus
mendapatkan keuntungan. Dua tujuan ini tidak bisa dilepaskan satu sama
lain. Kondisi BUMN saat ini alih-alih mengejar keuntungan, dalam
memberikan layanan sering terseok-seok sesuai kompleksitas masalah yang
dijelaskan tadi. BUMN harus didorong sekuat tenaga untuk
sebenar-benarnya menjadi perusahaan, bukan instansi pemerintah yang
sedang berbisnis.
Dalam arti lain, BUMN harus didorong memiliki tata kelola perusahaan
yang baik, atau bisa disebut /Good Corporate Governance/ (GCG). Ini
usaha lama yang tidak kunjung dapat dilakukan dengan baik. Bahkan,
setelah diperjelas dalam keputusan Menteri BUMN No. PER-01/MBU/2011
tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik pada BUMN juga tidak
kunjung terlaksana, malah berita korupsi pejabat BUMN yang didapat
masyarakat.
Setidaknya, terdapat enam prinsip GCG yang harus diterapkan di seluruh
BUMN kita, yaitu transparansi, akuntabiitas, responsibilitas,
kemandirian, kewajaran, dan kepentingan. Transparansi menyangkut
keterbukaan dalam proses pengambilan keputusan dan keterbukaan informasi
mengenai perusahaan. Akuntabilitas: keharusan tentang kejelasan fungsi,
pelaksanaan, dan pertanggungjawaban sehingga pengelolaan perusahaan
terlaksana efektif.
Responsibilitas: kesesuaian pengelolaan perusahaan terhadap peraturan
perundangan yang berlaku. Kemandirian: kondisi perusahaan yang dikelola
secara profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh atau tekanan
dari pihak mana pun. Kewajaran: keadilan dan kesetaraan memenuhi hak-hak
/stakeholder/. Terakhir, kepentingan yang timbul berdasarkan perjanjian
dan peraturan yang perundang-undangan.
Keenam prinsip GCG tersebut tidak hanya perlu ditanamkan pada
seluruh/stakeholder/ BUMN, namun juga harus menjadi aturan formal
perusahaan. Memang, di hampir semua BUMN terdapat aturan tertulis yang
diklaim mencerminkan GCG. Namun melihat pelaku korupsi adalah pejabat
BUMN, maka kita perlu sangsi seberapa jauh aturan tersebut menjadi
petunjuk nilai dan etika perusahaan sesuai GCG. Tidak ada pilihan, GCG
harus dimulai dengan penegakan aturan perusahaan yang mengikat seluruh
pegawai.
Tantangan penerapan GCG tidak hanya dari internal BUMN yang sebagian
masih mengikuti alur kerja birokratis, namun juga negara sebagai
pemilik. Kita harus memastikan bahwa negara berkomitmen untuk memaksa
BUMN menerapkan GCG secara transparan dan akuntabel, dengan tingkat
profesionalisme dan efektivitas yang tinggi. Untuk itu, terdapat dua hal
penting yang perlu ditekankan oleh pemerintah terhadap BUMN. Pertama,
pemerintah harus menyederhanakan dan menstandarkan peraturan hukum
operasional BUMN yang juga mengikuti dan diterima sesuai norma perusahaan.
Kedua, pemerintah harus merelakan BUMN memiliki otonomi dalam mencapai
tujuan dan menahan diri dari usaha intervensi. Kasus di Indonesia yang
sering terjadi, intervensi sesuai agenda politik kelompok yang sedang
berkuasa. Oleh karenanya, agenda ini tidak hanya tantangan bagi BUMN,
namun juga pemegang kekuasaan di Indonesia.
Tantangan mewujudkan GCG dari masyarakat sebagai/stakeholder/? Tidak
ada. BUMN telah memonopoli produksi barang dan jasa publik, tidak ada
masalah. Maka, pemerintah dan BUMN harus sadar bahwa masyarakat sangat
mengharapkan tata kelola BUMN yang baik. BUMN bukan untuk kepentingan
pribadi, kelompok, penguasa atau pihak asing, namun kepentingan seluruh
masyarakat Indonesia.
*Pandhu Yuanjaya* /staf pengajar jurusan Administrasi Publik Universitas
Negeri Yogyakarta/
*(mmu/mmu)*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*