Cerita Pagi


Pemberontakan PKI

di Banten dan Silungkang 1926-1927 (1)



*Hasan Kurniawan*

Senin, 23 November 2015 - 05:05 WIB



*PEMBERONTAKAN* Partai Komunis Indonesia (PKI) di Banten dan Silungkang
tahun 1926-1927 merupakan pemberontakan pertama kaum perintis kemerdekaan
Indonesia. Pemberontakan ini sangat besar artinya bagi sejarah Indonesia
modern.



Dalam peristiwa itu, kaum komunis dan agamis bekerja sama memukul
Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Inilah untuk pertama dan terakhir
kalinya PKI menjalin kerja sama dengan kaum agama. Bagaimana peristiwa itu
terjadi? Berikut ulasannya.



Dalam buku Sedjarah PKI, Djamaluddin Tamim menerangkan bahwa lahirnya PKI
sebagai akibat dari perang dunia pertama pada 1914-1918 antara
kapitalis/imperialis Jerman dengan Inggris dan Prancis dalam memperebutkan
tanah jajahannya.



Akibat peperangan hebat itu, negara kapitalis/imperialis peserta perang
dunia mengalami kebangkrutan. Dari sanalah lahir perjanjian damai
Versailles pada 11 November 1918 yang ditengahi oleh negara
kapitalis/imperialis Amerika Serikat.



Melalui perjanjian damai itu, Amerika membangun kembali kapitalisme Eropa
yang telah hancur akibat perang. Langkah cepat Amerika itu untuk mencegah
menyebarnya revolusi komunis Rusia 1917 di Eropa, terutama Jerman yang
sedang bangkrut.



Ketakutan negara-negara kapitalis/imperialis menjadi kenyataan saat banyak
partai sosialis di Eropa berganti nama menjadi partai komunis, seperti
Partai Komunis Jerman, Partai Komunis Prancis, Partai Komunis Italia dan
lainnya.



Langkah mengganti nama partai itu dilakukan setelah Lenin mengganti nama
Partai Bolsjewik/Partai Sosial Demokrat Rusia menjadi Partai Komunis Rusia.
Gelombang revolusi Rusia juga sampai ke tanah jajahan Pemerintah Kolonial
Hindia Belanda.



Saat itu, kekejaman dan kesengsaraan rakyat Hindia Belanda sudah mencapai
titik didihnya. Berbagai organisasi gerakan dan partai politik mulai
bermunculan. Zaman bergerak itu disebut juga era kebangkitan nasional dan
perintis kemerdekaan.



Di Solo lahir Sarekat Dagang Islam (SDI) dengan tokohnya seorang wartawan
pejuang Tirto Adhie Soerjo (TAS) dan pengusaha batik Haji Samanhudi.
Gerakan yang didirikan pada 1905 ini merupakan perintis kebangkitan
nasional di Hindia Belanda.



Lahirnya SDI diikuti dengan berbagai organisasi dan partai politik seperti
Boedi Oetomo (BO) pada 1908, Indische Partij (IP) pada 1912, dan Indische
Social Democrat Vereeniging (ISDV) pada 1914. SDI kemudian menjadi Sarekat
Islam (SI).



Kehadiran ISDV di Hindia Belanda disambut gembira Semaun, Darsono, Tan
Malaka, Djamaluddin Tamim, dan tokoh pergerakan perintis kemerdekaan
lainnya. Pada 1919, usul agar ISDV dibubarkan dan diganti menjadi PKI telah
mencuat.



Saat itu, Tan Malaka sempat mengusulkan dari tempat mengajarnya di Sanembah
Mij agar ISDV diganti menjadi Partai Nasional Revolusioner Indonesia untuk
menghindari tuduhan Partai Komunis sebagai alat Rusia dan asing di tanah
Hindia Belanda.



Namun setelah melalui perdebatan panjang, akhirnya diputuskan nama baru
ISDV adalah Partai Komunis Indonesia pada 23 Mei 1920. Dengan dipakainya
nama Indonesia, PKI menjadi partai pertama di Hindia Belanda yang
menggunakan nama Indonesia.



Setelah PKI berdiri, Tan Malaka diminta segera meninggalkan pekerjaannya
sebagai guru di Medan dan pindah ke Semarang untuk memperkuat PKI. Setelah
melunasi utang-utangnya di Eropa dan kepada Engku Fonds, barulah Tan Malaka
pergi.



Kepergian Tan Malaka ke Semarang sempat tertahan selama tiga bulan akibat
masalah pribadi yang menjeratnya itu. Baru pada 1921 Tan Malaka
meninggalkan pekerjaannya yang bergaji besar itu dan memimpin PKI
pendidikan Vak Bewegingen di Jawa.



Pada awal berdirinya, Alimin dan Muso tidak pernah terlibat dan duduk
sebagai pimpinan PKI. Pada masa itu, kedua orang itu merupakan anggota SI
dan pengikut setia Tjokroaminoto afdeling B yang merencanakan perang sabil
di Garut, Cimareme.



Akibat pemberontakan itu, Alimin dan Muso bersama 300 orang kawan-kawannya
ditangkap dan dipenjarakan. Mereka ditangkap pada 1919 dan baru bebas
penjara pada 1923. Kedua orang ini mengulang kegagalannya pada
pemberontakan PKI 1926-1927.



Pindahnya Tan Malaka ke Semarang menjadi api bagi PKI. Dengan cepat, api
PKI itu hinggap ke Nusantara, mulai Sumatera, Kalimantan, Sulawesi,
Ternate, dan seluruh kepulauan di Indonesia Timur. Berbagai penerbitan PKI
juga mulai bermunculan.



Beberapa penerbitan itu adalah Suara Rakjat, Sinar Hindia (kemudian diganti
dengan API), serta brosur-brosur, pamflet-pamflet, manifest PKI, dan
sebagainya yang berisi tentang ajaran komunisme. Sambutan rakyat saat itu
sangat besar.



Dalam waktu singkat, sebanyak 35.000 buruh di Hindia Belanda menjadi
anggota PKI. Begitupun dengan sebagian banyak anggota SI berpindah menjadi
anggota PKI. Perkembangan PKI yang begitu pesat membuat
kapitalisme/imperialisme Belanda pucat.



Serikat-serikat buruh dan tani mulai didirikan. Begitupun dengan Sekolah
Rakjat (SR) yang memberikan kesadaran terhadap rakyat Hindia Belanda
bermunculan di mana-mana. Singkat kata, gerakan total Tan Malaka PKI
membuat tumbuh sangat pesat.



Dalam setiap rapat-rapat PKI dan SI di mana Tan Malaka berpidato selalu
dibanjiri oleh massa proletar yang datang dari berbagai daerah di
Indonesia. Hingga akhirnya, Tan Malaka ditangkap oleh Pemerintah Kolonial
Belanda di Bandung.



Penangkapan itu dilakukan pada Desember 1921 usai Tan Malaka berpidato di
Bandung. Dari Bandung, Tan Malaka dibawa polisi kolonial ke Semarang dan
dijebloskan ke penjara Pekalongan dengan tuduhan menghasut pemogokan
karyawan rumah gadai Yogya.



Sebulan setelah penangkapan itu, surat keputusan untuk membuang Tan Malaka
keluar. Pada awalnya, besluit interneering Tan Malaka ke Pulau Timor. Namun
diubah pada awal Maret 1922 ke Nederland dengan menggunakan hak
exorbitantie rechten.



Tan Malaka berangkat ke pembuangannya di Belanda pada 22 Maret 1922.
Sebelum pembuangan dilakukan, rakyat Semarang mendesak Pemerintah Kolonial
Belanda agar mempertemukan mereka dengan Tan Malaka. Permintaan ini
dikabulkan.



Pada 22 Maret 1922 pagi, Tan Malaka dibawa ke Semarang dan membuat
kata-kata perpisahan di hadapan 20.000 orang lebih. “Saudara-saudara,
kawan-kawan semuanja tak usahlah bersedih hati, karena sebentar saja akan
kembali!" ungkapnya.



Namun siapa sangka ternyata pembuangan Tan Malaka berlangsung hingga
puluhan tahun lamanya. Meski begitu, dia memenuhi janjinya dan kembali di
saat yang tepat, yakni saat Indonesia akan melangsungkan kemerdekaannya
pada 17 Agustus 1945.



Absennya Tan Malaka dari panggung pergerakan rakyat di Tanah Air tidak
serta merta menghentikan laju PKI. Sebaliknya, patah tumbuh hilang
berganti. Di bawah Semaun, pergerakan PKI malah semakin berani dan semakin
kencang berlari.



VSTP memulai pemogokan di bulan Februari 1923 menuntut perbaikan
kesejahteraan. Pemogokan ini berlangsung secara terus-menerus dan menyambar
berbagai perusahaan lainnya di Hindia Belanda, mulai Postel, Pegadaian,
Perkebunan, dan Perkapalan.



Reaksi pemerintah kolonial terhadap aksi mogok buruh sangat keras. Para
pemimpin buruh dan mereka yang terlibat dalam pemogokan ditangkapi mulai
Februari-Maret 1923. Salah satu pemimpin pemogokan yang ditangkap adalah
Semaun.



Senasib dengan Tan Malaka, Semaun menggunakan hak exorbitante rechten. Dia
lalu dibuang ke Belanda pada pertengahan tahun 1923. Hilangnya dua pemimpin
PKI ini membuat gerakan komunis di Hindia hilang arah dan bertindak di luar
jalur komunisme.



Semangat komunisme berganti menjadi putch/sabilullahistis/bakuninis.
Kebun-kebun tebu dibakar, aksi-aksi pemboman mulai dilakukan di G.G Foch
Solo dan Yogyakarta, dan sabotase-sabotase makin sering terjadi di bawah
komando pimpinan PKI.



Aksi-aksi sabotase yang kerap dilakukan kaum anarchistis ini dengan cepat
membakar jiwa golongan rakyat tani dan pekerja yang ada di bawah Sarekat
Rakyat (SR). Anggota SR banyak berasal dari kaum tani Muslim dan memiliki
semangat anti-Belanda.



Ketimbang jiwa komunisnya, anggota SR yang banyak berasal dari kalangan
santri itu lebih menjiwai semangat perang sabil dan mati syahid. Gerakan
ini cukup cepat menyebar ke luar Jawa, seperti Sumatera, Kalimantan,
Sulawesi, dan sebagainya.



Saat situasi revolusioner sedang dibangun para pemimpin PKI itu, HB PKI di
Semarang merencanakan Kongres PKI pada bulan Juni 1924 di Jakarta, dan akan
memindahkan kedudukan PKI dari Semarang ke Jakarta setelah kongres
dilaksanakan.



Ketika rencana untuk menggelar Kongres PKI santer digaungkan, Alimin dan
Muso selesai menjalani hukuman selama empat tahun penuh, pada Desember
1923. Mereka lalu mendaftarkan diri dan menjadi anggota PKI Seksi
Djakarta-Raja.



Masuknya Muso dan Alimin menjadi anggota PKI mengandung perdebatan para
pimpinan PKI. Sebab keduanya dikenal memiliki jiwa
anarchistis/sabilullahistis yang sangat berbahaya bagi gerakan komunis di
Indonesia.



Kongres PKI Juni 1924 akhirnya memutuskan bahwa anggota-anggota HB PKI yang
baru adalah Sardjono sebagai Voorzitter, Budisutjitro sebagai Sekjend,
Winanta sebagai Keuangan, Alimin, Muso dan Ali Archam sebagai
komisaris-komisaris.



Kongres juga memutuskan organ HB PKI yang baru Njala, madjalah Doklek dalam
bahasa Belanda, harian Matahari, dan Sinar Hindia diganti dengan API,
Proletar, Suara Tambang, Suara Postel, dan sebagainya hingga akhir 1924.



Setelah Kongres PKI 1924 selesai di Jakarta, masuklah buku Tan Malaka yang
sangat melegenda secara sembunyi-sembunyi berjudul Naar de Republik
Indonesia. Buku ini dengan cepat menjadi bacaan wajib kaum perintis
pergerakan saat itu.



Di bawah kepemimpinan yang baru ini, PKI menjadi lebih tenang dan tampak
kurang semangat seperti pada tahun-tahun yang lalu. Namun hal ini justru
membuat pemerintah kolonial curiga dan was-was. Mata-mata kolonial pun
disebar luas.



Pada bulan Januari 1925, Alimin mendapat kehormatan untuk menemui Tan
Malaka di Canton. Sebelumnya, pada Desember 1923, Alimin juga diutus PKI
untuk menemui Tan Malaka dan menyampaikan perkembangan PKI yang akan
melangsungkan Kongres 1924.



Dari pertemuannya yang pertama, Alimin diberi bekal untuk kaum komunis di
Indonesia sebuah dekumentasi penting dari Tan Malaka yang dikenal dengan
Pidato Sukendar. Pada pertemuan kedua ini Alimin kembali memaparkan
perkembangan PKI.



Saat itu, Tan Malaka sedang menderita sakit berat. Namun kabar yang dibawa
Alimin menambah rasa sakitnya. Kabar itu adalah pembubaran Sarekat Rakjat
(SR) dan memasukkan seluruh anggotanya yang beraneka warna itu menjadi
anggota PKI.



Meski keputusan untuk membubarkan SR ditolak Tan Malaka, tetapi HB PKI
tetap membubarkan SR dan memasukkan anggotanya ke dalam PKI. Keputusan PKI
yang dinilai keliru itu diperparah dengan hasil pertemuan Prambanan pada 25
Desember 1925.



Pertemuan itu dihadiri oleh anggota HB PKI yang terdiri dari Sardjono,
Budisutjitro, Winanta, Alimin, Muso, Ali Archam, dan Sutan Said Ali dari
Sumatera, ditambah empat orang lainnya dari Solo dan Surabaja. Totalnya ada
11 orang.



Dalam pertemuan itu, Ketua Umum HB PKI Sardjono mengatakan bahwa seluruh
Seksi PKI yang berjumlah 30 seksi di seluruh Indonesia menginginkan suatu
revolusi. Untuk itu, HB PKI diminta segera menentukan tanggal, hari, dan
bulannya.



Hasil pertemuan itu adalah revolusi serentak di seluruh Indonesia dilakukan
pada 15-18 Juni 1926. Hasil keputusan itu lalu disampaikan kepada Tan
Malaka untuk dimintai komentarnya. Alimin kembali ditunjuk untuk menemui
Tan Malaka di Manila.



Laporan Alimin membuat Tan Malaka sangat kecewa. “Bukankah pada bulan
Januari 1925 saja sudah menjatakan di Canton, bahwa membubarkan Sarekat
Rakjat itu adalah suatu kesalahan taktik jang amat besar, membahajakan dan
merugikan kepada PKI??”



Menurut Tan Malaka para pemimpin PKI telah kerasukan paham mati syahid dan
mencari surga. "Dari buku sedjarah revolusioner manakah saudara-saudara
dapat membatja bahwa sesuatu revolusi itu bisa ditentukan, hari, tanggal,
bulan dan tahunnja?"



"Putusan tuan-tuan jang hanja sebelas orang sadja di atas Tjandi Prambanan
pada 25 December 1925 bukanlah revolusi, tetapi itu adalah 'putch'.
Tuan-tuan bukanlah bertindak sebagai seorang revolusioner, tetapi putchers
semata-mata," tegasnya.



Dalam sejarah putch yang telah terjadi beratus tahun yang lampau, tidak
pernah ada kemenangan di sana. Bahkan hanya akan mengakibatkan kekalahan
dan kehancuran partai semata-mata. Semua keterangan ini panjang lebar
disampaikan Tan Malaka.



Lebih lanjut, Tan Malaka meminta Alimin untuk menyampaikan kepada para
pimpinan PKI di Hindia Belanda agar segara mencabut dan menghentikan
berbagai persiapan putch tersebut. Sebaliknya Tan Malaka menyarankan
mengadakan aksi yang teratur.



Mendengar keterangan Tan Malaka, Alimin dengan segera mengaku salah dan
mengaku akan segera pulang ke Singapura menemui para pemimpin PKI yang
telah lama menunggu seperti Sardjono, Budisutjitro, Winanta, Sugono, Musso,
dan Subakat.



Selain menyampaikan penolakan secara lisan, Tan Malaka juga menyampaikan
penolakannya secara tertulis kepada Alimin dan diharapkan tulisannya itu
akan disampaikan Alimin kepada para pemimpin PKI di Singapura. Berikut isi
tesis Tan Malaka:



*I. Saja sudah mendengar langsung dari mulutnja Alimin bahwa HB PKI
Sardjono, Budisutjitro dan bersama sembilan anggota stafnja berkumpul di
atas Tjandi Prambanan, pada 25 December 1925. *



*Dan sudah mengambil keputusan penting memutuskan-menentukan akan
mengadakan revolusi serentak seluruh Indonesia pada 18 Djuni 1926.
Tuan-tuan sebelas mengharapkan kepada saja supaja segera mengirimkan
perbantuan sendjata, dll.*



*II. Sambutan saja/Tan Malaka terhadap putusan Prambanan 1925 tersebut
adalah putusan jang amat sesat/salah karena sesuatu revolusi tidak mungkin
dapat ditentukan lebih dahulu oleh pemimpin-pemimpin revolusioner. *



*Dan putuskan tuan-tuan sebelas di atas Tjandi Prambanan pada 25 December
1925 adalah putch semata-mata, jakni bukanlah revolusi namanja jang
demikian itu.*



*III. Mengingat keadaan/kondisi seperti jang sudah didjelaskan oleh Alimin
seperti di atas saja mengusulkan supaja Putusan Prambanan tadi dibatalkan
dengan segera dan diganti dengan Massa-Actie.*



Lebih jauh, Tan Malaka juga meminta diadakannya suatu pertemuan di
Singapura untuk membicarakan pembatalan ini kepada para perwakilan seluruh
daerah atau seksi PKI, setelah tesis yang disampaikannya kepada Alimin
dibacakan kepada pimpinan PKI.



Namun sejarah berkata lain, tesis Tan Malaka dibakar dan tidak pernah
dibacakan oleh Alimin. Kepada para pimpinan PKI, Alimin hanya bahkan
menjelekkan nama Tan Malaka yang disambut kecewa oleh para pemimpin PKI
yang menunggunya di Singapura.



"Kawan-kawan semua! Saja tak membawa suatu apapun djua dari Tan Malaka baik
berupa materi/alat-alat uang, baikpun berupa pikiran pendapat ataukah
usulnja terhadap putusan Prambanan, karena Tan Malaka masih terus-menerus
sakit sadja!"



Sampai di sini ulasan bagian pertama Pemberontakan PKI di Banten dan
Silungkang 1926-1927 diakhiri. Bagian kedua tulisan ini akan dilanjutkan
pada Sabtu 28 November 2015. Semoga memberikan manfaat kepada pembaca.



*Sumber Tulisan*



*1)    **Harry A Poeze, Pergulatan Menuju Republik, Tan Malaka 1925-1945,
Grafiti, Cetakan Pertama 1999. *



*2)   **Michael C Williams, Arit dan Bulan Sabit, Pemberontakan Komunis
1926 di Banten, Syarikat, Cetakan Pertama 2003. *



*3)   **Nina H Lubis, Banten dalam Pergumulan Sejarah, Sultan, Ulama,
Jawara, LP3ES, Cetakan Pertama, Januari 2004. *



*4)   **Djamaluddin Tamim, Sedjarah PKI, dikutip dalam laman
http:arie-widodo.blogspot.co.id <http://arie-widodo.blogspot.co.id>. *



*5)   **A Muluk Nasution, Pemberontakan Rakyat Silungkang, Sumatera Barat
1926-1927, Mutiara Jakarta, 1981. *



*6)   **IFM Chalid Salim, Limabelas Tahun Digul, Kamp Konsentrasi di Nieuw
Guinea, Bulan Bintang, Cetakan Pertama 1977. *



*(san)*



https://daerah.sindonews.com/read/1063631/29/pemberontakan-pki-di-banten-dan-silungkang-1926-1927-1-1448208437

Kirim email ke