Tulisan Dahlan Iskan ini menarik terutama bagi mereka yang
menginginkan terwujudnya masyarakat berdikari di bidang pangan.
Selamat membaca. Lusi.- 


Profesor Petani

Oleh Dahlan Iskan
Kamis, 26 September 2019 – 07:47 WIB


jpnn.com - Mereka berkumpul dalam AB2TI. Itulah cara kreatif mereka
untuk melawan birokrasi. Juga cara yang merdeka dan produktif.
Bukan cara marah atau ngambek. Apalagi putus asa. Dan itu dilakukan
oleh para petani padi. Khususnya petani yang terus gelisah: untuk
selalu bisa meningkatkan produksi beras. Mereka itulah yang kini
menemukan benih padi unggul. Dengan produktivitas 12 ton/ha. Gabah
kering panen.

Nama benih unggul itu IF16. Indonesia Farmers 16. Nama menunjukkan jati
diri: itulah karya mandiri petani. Angka 16 mencerminkan mereka tidak
pernah putus asa. Mencoba dan terus mencoba. Mereka meriset terus. Dari
IF1 sampai berhasil di IF16. Selama lebih 10 tahun. Dengan biaya
sendiri. Hanya saja IF1 sampai IF7 di bidang jagung. Penemunya petani
Kediri. Yang juga ditangkap. Seperti petani Aceh itu. Dianggap melanggar
peraturan negara.

Sebetulnya mereka sudah berhasil di IF8. Di tahun 2014. Produktivitas
IF8 sudah sangat tinggi: 13 ton/ha. Batangnya juga lebih kuat -- tahan
angin. Tidak mudah rebah.

Kelebihan lain: cocok untuk berbagai variasi jenis lahan. Namun masa
panennya masih lima hari lebih lambat. Juga kurang tahan hama
--khususnya wereng.

Itu pun sudah menyenangkan banyak petani. Misalnya Pak Ramli, petani
dari bagian lain di Aceh. Sampai menangis. Saat melihat IF8-nya
menjelang panen. Di tanahnya yang hanya setengah hektare itu, biasanya,
hanya bisa panen 3 ton (setara 6ton/ha). Dengan IF8 bisa 5,6 ton
(setara 11 ton/ha).

Apakah para petani penemu IF8 itu tidak ditangkap? Karena menggunakan
benih yang belum bersertifikat birokrasi?

Inilah kreatifnya kelompok ini -- dalam menghindari jeratan hukum.
Mereka bersatu dalam wadah: Asosiasi Bank Benih Teknologi Tani
Indonesia (AB2TI). Benih unggul itu ditemukan oleh petani yang
bergabung di kelompok itu. Lalu digunakan sendiri oleh anggota kelompok
itu.

Yang demikian pun dulunya dianggap melanggar. Lalu ada yang menggugat
ke Mahkamah Konstitusi. Pelopornya Indonesia Human Right Committee for
Social Justice. Juga Aliansi Petani Indonesia. Dan beberapa lembaga
lagi. Mereka menang di MK.

Petani punya hak menemukan benih unggul sendiri dan memakainya sendiri.
Itu bagian dari hak asasi.

Maka petani Aceh yang ditangkap itu -- karena menjual benih unggul
temuannya -- baiknya mengikuti jejak AB2TI. Bikin kelompok sendiri. Atau
bahkan sekalian bergabung ke situ.

Anggota AB2TI kini sudah lebih 3.000 orang. Tersebar di seluruh
Indonesia. Ketua umumnya profesor pemberani: Prof. DR. Ir. Dwi Andreas
Santoso. Kelahiran tahun 1962 -- sekampung dengan Pramoedya Ananta Toer
di Blora.

Profesor Andreas berada di pihak petani. Karena itu sempat menjadi
'musuh bersama' birokrasi benih. Hubungan itu sekarang sudah baik. IF16
misalnya akan didaftarkan ke Balai Benih pemerintah. Silsilah IF16 pun
lengkap. Beda dengan IF8 yang proses kelahirannya dianggap tidak sesuai
prosedur penelitian di Balai Benih. Benih IF16 awalnya adalah IF8.
Penemunya para petani anggota AB2TI Karanganyar, Solo.

Mereka menyeleksi berbagai benih unggul. Diuji coba sampai stabil. Lalu
ditanam di 13 Kabupaten di Jawa. "Hasilnya 57 persen lebih tinggi dari
benih yang sudah dilepas pemerintah," ujar Prof Andreas.

Sebagai guru besar di Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof Andreas
memang sangat menekuni perbenihan. Doktornya di bidang Life Sciences
Braunschweig University of Technology, Jerman. Gelar masternya di
bidang pertanian dari Universitas Padjadjaran, Bandung. Pernah juga
kuliah di Oregon, Amerika dan Korea. S1-nya sendiri dari ilmu tanah UGM
Jogja.

IF8 itulah indukan IF16. Proses menjadi IF16 sangat panjang. Dan lama.
Melibatkan petani di tujuh kabupaten. Untuk menyeleksi 3.500 galur.

Prof Andreas menjelaskan seleksi dilakukan terhadap berbagai karakter
agronomis. Mulai umur berbunga, tinggi tanaman, jumlah mulai per
rumpun, jumlah gabah isi, gabah hampa, bobot 1000 butir gabah isi,
serta hasil gabah bersih per plot. Tujuan utama proses seleksi itu,
menurut Prof Andreas, untuk mendapatkan galur-galur yang berproduksi
tinggi dengan umur lebih pendek lagi dibanding IF8 yang sudah begitu
unggul. Tentu juga harus tahan terhadap hama dan penyakit tanaman yang
sering menyerang padi. Tentu, yang tidak kalah penting, ada juga uji
rasa. 

Apakah rasa nasinya enak. 

Itu terjadi di tahun 2014 setelah IF8 dipandu dengan benih unggul
lokal. Termasuk dari Malang. Juga setelah dicoba ditanam di dalam rumah
kaca di pusat AB2TI di Bogor. Lalu diuji coba ditanam di banyak
kabupaten. Termasuk Indramayu dan Gresik.

Kalau saja tidak ada keputusan MK itu, usaha seperti ini bisa sia-sia.
Bahkan berujung pada penjara.

Waktu itu Prof Andreas menjadi saksi ahli di MK. Beliaulah yang
berkeras bahwa temuan-temuan petani seperti itu tidak membahayakan
produksi padi. Bahkan pertanian kita lebih tangguh.

"Produksi IF16 terbukti jauh lebih tinggi dari benih apa pun yang sudah
diluncurkan pemerintah," ujar Prof Andreas. Kesaksian itulah yang
membuat Prof Andreas seperti berseberangan dengan birokrasi benih. 

Inti putusan MK itu adalah: petani di dalam negeri punya hak untuk
menemukan sendiri dan memakainya sendiri benih unggul.

MK mengecualikan petani dalam negeri. Dalam kebijakan yang mengatur
penggunaan benih unggul dari luar negeri. Yang selama itu diberlakukan
sama.

Bulan lalu saya sempat pulang dua hari. Setelah dari Amerika dan
Tiongkok itu. Saya pun mengemudikan mobil dari Jakarta ke Surabaya.
Saat melewati Indramayu saya tertarik dengan panen di situ. Yang
ternyata panen uji coba IF16. Yang lahannya persis di sebelah tanaman
padi benih unggul Inpari.

Sejak itulah saya terus berkomunikasi dengan Prof Andreas. Beliau juga
mengajak melihat panen uji coba di Gresik. Minggu berikutnya. Namun
saya sudah telanjur terikat program di Inggris.

Selama muter di Inggris komunikasi dengan Prof Andreas jalan terus.
Dalam hati saya bangga. Kok ada yang melawan birokrasi benih dengan
cara yang kreatif, cerdik, tekun, tanpa putus asa, produktif, dan bisa
menghindari jebakan hukum.

Padahal mereka harus membiayai sendiri semua penelitiannya itu. Dan
hasilnya kok bisa lebih baik dari yang menggunakan anggaran negara.
Wajar kalau ada yang marah.

Saya harus mengaku kalah dari para petani AB2TI itu.(***)


Kirim email ke