Selasa 15 Oktober 2019, 12:30 WIB
Kolom
Menteri Politik Jokowi
Niko Amrullah - detikNews
Niko Amrullah
<https://news.detik.com/kolom/d-4746346/menteri-politik-jokowi#>
Share*0*
<https://news.detik.com/kolom/d-4746346/menteri-politik-jokowi#>Tweet
<https://news.detik.com/kolom/d-4746346/menteri-politik-jokowi#>Share*0*
<https://news.detik.com/kolom/d-4746346/menteri-politik-jokowi#>0
komentar <https://news.detik.com/kolom/d-4746346/menteri-politik-jokowi#>
Menteri Politik JokowiPresiden Jokowi Foto: (Andhika Prasetia/detikcom)
*Jakarta*- Presiden Jokowi mengungkap perbandingan komposisi menteri di
periode kedua dalam masa kepemimpinannya adalah 55-45, di mana 55 persen
calon menterinya diangkat dari kalangan profesional dan 45 persennya
merupakan representasi parpol. Akankah pengisian kursi menteri Kabinet
Jokowi benar-benar murni dari kalangan profesional, di saat gencarnya
arus manuver politik dari parpol koalisi dalam kompetisi jabatan politik
yang riuh menghiasi media massa terkini?
*Bongkar Pasang*
Pada 2014 lalu, babak awal Kabinet Kerja Jokowi, dari 34 menteri
sebanyak 21 menteri atau sekitar 62% di antaranya berasal dari kalangan
profesional murni. Profesional merujuk latar belakang akademisi, baik
dosen maupun rektor universitas, ketua organisasi kemasyarakatan,
pejabat perusahaan, dan sebagian berasal dari birokrat murni. Namun
komposisi tersebut tidak bertahan lama, karena bongkar pasang pun
terjadi hingga 6 jilid.
Jilid Pertama, dilakukan saat pemerintahan Jokowi-JK berjalan 10 bulan.
Terdapat 4 posisi menteri dan jabatan lain yang mengalami pembongkaran
yakni Menko Perekonomian, Menko Kemaritiman dan Sumber Daya, Menko
Polhukam, Menteri Perdagangan, dan Sekretaris Kabinet.
Jilid Kedua, perombakan pada posisi 13 menteri dan satu badan yaitu
Menteri Perhubungan, Menteri Keuangan, Menteri Agraria Tata Ruang,
Menteri ESDM, Menteri Perindustrian, Menteri Pendikan dan Kebudayaan,
Menteri Desa PDTT, Menteri PANRB, Menko Polhukam, Menko Kemaritiman dan
Sumber Daya, Menteri Perdagangan, Kepala BKPM, dan Wakil Menteri
Perindustrian.
PDIP sebagai parpol utama pendukung pemerintah masih memperoleh lima
jatah menteri di kabinet kerja. Partai Nasdem dua Menteri dan Jaksa
Agung, PKB tiga menteri, Hanura satu Menteri Koordinator, PPP satu
menteri, PKPI memperoleh Kepala BIN, Golkar hanya satu menteri, dan PAN
satu menteri.
Jilid Ketiga, Jokowi merombak posisi Menteri ESDM lantaran pengangkatan
Arcandra Tahar menuai polemik. Jilid Keempat hanya satu kementerian yang
mengalami perubahan ditambah dengan beberapa lembaga pemerintahan
non-struktural, yakni Menteri Sosial dan Kepala Staf Presiden. Jilid
Kelima mengganti Menteri PANRB. Jilid Keenam, posisi Menteri Sosial yang
semula dijabat Idrus Marham berganti ke kader Golkar lainnya.
Enam jilid tersebut menjadi gambaran bagaimana Presiden Jokowi melakukan
manajemen konflik ala Jawa./Lamun sira sekti/ojo/mateni/(meskipun kamu
sakti jangan suka menjatuhkan)./Lamun sira banter aja ndhisiki/(meskipun
kamu cepat jangan suka mendahului). Dan terakhir,/lamun sira pinter aja
minteri/(meskipun kamu pintar jangan sok pintar). Ruang balas budi
politik diberikan Presiden Jokowi kepada relawan dan parpol koalisi
dalam pergiliran kursi pejabat publik.
Dalam konteks 2019, bacaannya adalah bagaimana manuver Presiden Jokowi
di tengah hegemoni partai politik.
Menurut Gramsci (1988), hegemoni merujuk pada kuatnya pengaruh
kepemimpinan dalam bentuk moral maupun intelektual, dan diciptakan
melalui pemaksaan maupun pengaruh terselubung dengan perangkat-perangkat
kekuasaan. Sehingga, kesadaran akan strategisnya posisi parpol koalisi
pengusung Jokowi saat ini akan dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk
menancapkan jangkar pengaruhnya di masyarakat dalam waktu lima tahun ke
depan melalui instrumen kekuasaan.
Lima tahun ke depan adalah waktu emas bagi parpol untuk berkompetisi
dalam estafet kepemimpinan nasional.
*Menteri Politik
*
Sungguhpun ada istilah menteri profesional, namun tak akan jauh dari
pengaruh partai politik (parpol), atau dengan kata lain rekomendasi
parpol menjadi "gong" penentu para profesional yang akan masuk dalam
bursa menteri Kabinet Kerja Jilid II. Pada konfigurasi politik pengusung
Jokowi-Maruf Amin yang lolos pada ambang batas parlemen, terdapat lima
parpol yang memiliki pengaruh (/power/) dan kepentingan (/interest/)
dalam bursa calon Menteri Kabinet Kerja Jilid II yaitu PDIP (19,33%),
Partai Golkar (12,31%), PKB (9,69%), Partai Nasdem (9,05%), PPP (4,52%).
Meskipun pemilihan menteri menjadi hak prerogatif Presiden, namun PDIP
selaku/the ruling party/memegang peran yang sangat signifikan dalam
kompetisi riuh komposisi Kabinet Kerja Jilid II. PKB meskipun
perolehannya di bawah Partai Golkar, namun partai besutan Cak Imin) itu
sudah "menang" di awal dengan terpilihnya KH Maruf Amin sebagai
pendamping Presiden Jokowi.
Melihat fakta ini, maka Partai Golkar dan Partai Nasdem melakukan
manuvernya masing-masing. Partai Golkar mengincar kursi pimpinan DPR
sekaligus memperoleh kursi Ketua MPR melalui Bambang Susatyo. Sedangkan
Partai Nasdem mengambil peran sebagai konduktor dalam orkestra kompetisi
kekuasaan.
Bukan tanpa fakta, di tengah Megawati melakukan pertemuan politik dengan
Prabowo, dalam kesempatan yang sama Surya Paloh mengumpulkan parpol
koalisi minus PDIP. Alih-alih rekonsiliasi bangsa Jilid II pasca
pertemuan apik Jokowi dan Prabowo di MRT, justru hal ini mencerminkan
adanya perseteruan babak anyar. Fakta lain juga ditunjukkan saat
Megawati urung menyalami Surya Paloh pada pelantikan DPR periode 2019-2024.
Dalam analisis/stakeholder/, kedua parpol tersebut tergolong
kategori/key player/yaitu mempunyai tingkat pengaruh dan tingkat
kepentingan politik yang sama-sama besar. Keduanya menjadikan Jokowi
sebagai ikon untuk mengatrol perolehan suara pada Pileg 2019. Bahkan,
sebelum PDIP mengusung Jokowi sebagai calon presiden, Partai Nasdem
sudah mencuri/start/dengan meletakkan Jokowi sebagai ikon kampanye
partainya malalui branding "Jokowi Presidenku, Nasdem Partaiku".
Menguatnya peran parpol terlihat juga pada perseteruan revisi RUU KPK
dan RKUHP pada beberapa pekan lalu. Meskipun penolakan dari aliansi
masyarakat sipil termasuk juga gerakan mahasiswa, namun publik bisa
melihat dari media massa bahwa senyuman tanpa kepanikan itu tersuguhkan
dari aktor-aktor politik untuk tetap mengesahkan kedua regulasi yang
melawan psikologi publik.
Maka dari itu, istilah menteri politik akan lebih relevan untuk
melukiskan komposisi Kabinet Kerja Jilid II. Lima tahun ke depan menjadi
waktu berharga bagi parpol untuk memupuk pengaruhnya kepada publik.
Kursi menteri menjadi salah satu panggung yang strategis untuk
menancapkan pengaruhnya di masyarakat. Terlebih, tema "SDM Unggul
Indonesia Maju" adalah bentuk manis dari kemasan program politik yang
langsung menyasar kepada pemilih.
Elaborasi dari tema tersebut adalah program-program peningkatan
kapasitas SDM dalam wujud pendidikan, pelatihan, bantuan permodalan,
beasiswa pendidikan, bantuan sosial, dan bentuk-bentuk sejenis yang
dapat mengikat masyarakat secara langsung.
Baik dari profesional maupun dari representasi parpol, publik hanya
mampu menitipkan harapan kepada mereka. Modernisasi dan keterbukaan
informasi menjadi senjata ampuh bagi publik dalam memantau kinerja
Kabinet Kerja Jilid II. Pun sebaliknya, pergeseran zaman ini menjadi
senjata bagi pejabat publik untuk menunjukkan kinerjanya secara mudah
dan langsung kepada masyarakat.
Delapan puluh lima koma enam juta suara atau lebih dari separuh pemilih
dalam Pilpres 2019 menjadi legitimasi yang perlu dirawat dengan baik.
*Niko Amrullah*/Direktur Litbang Indekstat, alumnus Magister Perencanaan
dan Kebijakan Publik Universitas Indonesia/
*(mmu/mmu)*