Gelombang Perlawanan: Respon Terhadap Ketidakberesan Elite Politik dan 
Disfungsi Negara
3 October 2019
MahpudihHarian IndoPROGRES
PADA hari Senin, 23 September 2019, ribuan mahasiswa yang terdiri dari berbagai 
universitas di Yogyakarta turun ke jalan. Mereka melakukan long march dari 
kampus masing-masing untuk kemudian bertemu di titik simpul yang sama, di Jalan 
Gejayan. Gejayan menjadi saksi bisu hadirnya kekuatan aliansi mahasiswa 
Jogyakarta menyuarakan sekaligus menuntut pemerintahan yang dianggap  
bermasalah. Aksi ini kemudian dikenal dengan seruan #Gejayan_Memanggil. 
Perkembangan teknologi digital melalui pemanfaatan media sosial menjadi 
instrumen penting dalam memobilisasi masa dan menyesaki ruang publik virtual. 
Masifnya mobilisasi massa melalui penggunaan media sosial telah membuat seruan 
#Gejayan_Memanggil menjadi salah satu tranding topic di Twitter. 
Gejayan dipilih sebagai simpul berkumpulnya aksi mahasiswa karena memiliki 
nilai sejarah yang sama. Di tahun 1988, ribuan mahasiswa Jogyakarta turun ke 
jalan membawa semangat yang sama dan tunggal, yaitu menuntut Soeharto turun 
dari jabatan presiden. Rezim Soeharto yang menerapkan sistem pemerintahan 
birokratik-otoriter selama 32 tahun, telah kehilangan legitimasi menyusul 
munculnya krisis ekonomi yang melanda Indonesia. Elemen masyarakat dan 
mahasiswa menuntut reformasi yang menghadirkan sistem politik demokratis. 
Tanggal 23 September 2019, ada romantisme akan keberhasilan gerakan sipil di 
Jalan Gejayan. Tuntutan dan isu yang diperjuangkan berbeda. Jika  tahun 1998 
common enemy mereka adalah rezim orde baru yang otoriter, maka aksi mahasiswa 
tahun 2019 common enemy mereka bukanlah rezim otoriter, tetapi demokrasi itu 
sendiri. Mereka menganggap bahwa makna demokrasi telah ditelanjangi dan 
dikorupsi oleh elite politik yang berhasil mentransformasikan diri melalui 
pintu demokrasi.
Aksi demonstrasi sebagai bentuk ungkapan, ekspresi sekaligus kritik publik 
terhadap negara merupakan sebuah keniscayaan dalam sistem demokrasi. Demokrasi 
menghendaki adanya kebebasan warga negara untuk berpartisipasi dalam kehidupan 
sosial politik sekaligus melakukan kontrol populer secara setara. Hadirnya 
demontrasi mahasiswa sebagai bentuk kritik atas penguasa mengindikasikan adanya 
problem dalam tubuh demokrasi. Praktik kekuasaan negara yang dijalankan oleh 
aktor politik melalui logika patronase dan klientalisme, oligarkis dan praktik 
kartel adalah varian dari problem demokrasi yang tengah dihadapi Indonesia paca 
orda baru. Reformasi politik yang mengubah transformasi politik dari 
otoritarianisme ke demokrasi ternyata tidak serta merta membawa iklim perubahan 
sosial politik dan pembangunan ekonomi ke arah yang lebih baik.
Selama kurang lebih 20 tahun pasca orba, telah banyak kajian yang berusaha 
memotret paradoks bekerjanya demokrasi di Indonesia. Aspinall (2014) 
berkesimpulan bahwa politik Indonesia kontemporer dihiasi oleh kegiatan 
patronase antar elite untuk merebut jabatan di arena politik formal.  Praktik 
patronase, misalnya, dengan mudah ditemui pada masa pemilu. Calon kandidiat 
menawarkan sumber material maupun non-material kepada pemilih untuk dikonversi 
menjadi dukungan dalam bilik suara (voting buying). Praktik ini tentu membuat 
dimensi persaingan antar aktor menjadi tidak sehat dan akhirnya menghadirkan 
pemimpin politik yang tidak berintegritas dan akuntabel. Praktik korupsi 
menjadi sulit dihindari.
Pandangan yang lain menyebut bahwa demokrasi Indonesia telah dikuasai oleh 
segelintir elite yang mempunyai kepentingan pada politik pertahanan kekayaan. 
Segelentir elite ini disebut oleh Hadiz & Robinson (2004) dan Winters (2011) 
sebagai oligarki. Resources yang melekat pada negara merupakan lahan basah 
untuk berburu rente para oligarki. Hubungan yang dibangun secara harmonis 
antara negara dengan para oligarki telah mengeksklusi sekaligus mengorbankan 
warga negara.  Distribusi kekuasaan politik dan ekonomi yang memusat ke tangan 
elite oligarki ini menjadi penyebab munculnya ketimpangan di tengah masyarakat 
yang akhirnya berujung pada absennya negara dalam menyuguhkan pelayanan publik 
yang berkualitas dan menciptakan kesejahteraan warga negara. Sebagaimana yang 
disebutkan oleh Slater (2014) dan Ambardi (2009), munculnya kekuatan oligarki 
ini tidak lepas dari praktik kartel-kartel politik. Persoalan-persoalan yang 
muncul di tubuh rezim demokrasi ini menjadi alasan mengapa proses transisi di 
Indonesia tidak berjalan mulus alias mandek (Tornquist, 2013).
Persoalan demokrasi dalam praktik bernegara kian hari semakin tidak bisa masuk 
akal dalam nalar demokrasi. Hari ini ruang publik disesaki oleh isu tentang 
ketidakberesan elite politik dan disfungsi negara yang gagal dalam mewujudkan 
tuntutan warga negara yang haus akan kesejahteraan. Upaya pelemahan KPK, 
sejumlah isu RKUHP yang kontroversial, Undang-undang Pertanahan dan 
Undang-Undang Minerba yang memihak kepentingan elite dan pemodal menjadi pemicu 
meledaknya gelombang perlawanan mahasiswa Jogyakarta di Gejayan dan terus 
direspon oleh aksi demontrasi di berbagai daerah, termasuk di Jakarta.
Ketidakberesan Elite Dan Disfungsi Negara
Awal mula terbentuknya negara pada dasarnya tidak lepas dari mandat rakyat yang 
memberikan legitimasi dan kedaulatan mereka kepada negara sebagai institusi dan 
lembaga yang mengatur kehidupan rakyat untuk menciptakan keteraturan demi 
mencapai kebaikan bersama. Hal ini tidak lepas dari realita bahwa individu dan 
kelompok yang hidup dalam suatu daerah teritorial memiliki kepentingan 
masing-masing sehingga rentan terhadap konflik dan pertumpahan darah sebagai 
akibat adanya persaingan dan benturan kepentingan yang beragam dalam 
memperebutkan sumber daya yang terbatas. Untuk meminimalisir terjadinya 
konflik, individu dan kelompok bersepakat untuk memilih suatu organisasi atau 
institusi bernama negara yang bertanggungjawab dalam menciptakan ketertiban dan 
harmonisasi kehidupan sosial-politik. Negosiasi antara kelompok (rakyat) dengan 
negara disebut sebagai kontrak sosial. Rakyat memberikan legitimasi, 
kepercayaan, loyalitas dan bersedia diatur oleh negara. Sementara negara 
berkewajiban melindungi hak-hak warga negara dan berkomitmen menciptakan 
kebaikan bersama. Keberhasilan dan kegagalan negara sangat ditentukan oleh 
sejauh mana negara menjalankan tugas tersebut secara efektif. 
Namun dalam logika bekerjanya negara, tidak selalu berada pada ranah ideal.  
Negara kerap kali justru bertindak sebagai alat bagi kelas berkuasa untuk 
menindas kelompok lain yang berada di luar kekuasaan negara. Negara menjelma 
sebagai entitas kekuatan dominasi elite yang menyatu dalam tubuh negara untuk 
mendapatkan akses terhadap resources dan disaat yang bersamaan memarginalisasi 
dan mengekslusi kehidupan rakyat. Inilah yang dikatakan oleh kaum Marxian bahwa 
negara tidak lain hanya sebagai perpanjangan tangan segelintir elite yang 
berkuasa. Tidak hanya sebagai alat bagi kelas dominan untuk mengejar 
kepentingan mereka, negara seringkali menemui jalan buntu bagaimana seharusnya 
mengelola negara dan masyarakat. Fungsi negara sebagai penyedia layanan publik, 
membuat produk kebijakan, distribusi dan alokasi nilai kepada rakyat kerap kali 
terhambat ketika berhadapan dengan kepentingan elit politik yang berkuasa. 
Dengan kata lain, keberadaan elite politik yang mengelola institusi negara 
telah menyandera fungsi-fungsi dan tujuan dari negara itu sendiri.

Kirim email ke