https://mediaindonesia.com/editorials/detail_editorials/1851-hujan-datang-banjir-mengintai


 /*Hujan Datang Banjir Mengintai*/

Penulis: *Media Indonesia* Pada: Sabtu 16 November 2019, 05:00 WIB Editorial MI <https://mediaindonesia.com/editorials> <https://www.facebook.com/share.php?u=https://mediaindonesia.com/editorials/detail_editorials/1851-hujan-datang-banjir-mengintai> <https://twitter.com/home/?status=https://mediaindonesia.com/editorials/detail_editorials/1851-hujan-datang-banjir-mengintai>

SETIAP musim hujan tiba, saat itu juga kecemasan datang. Cemas apakah bencana banjir dan tanah longsor sudah dapat diatasi dengan belajar dari pengalaman sebelumnya. Namun, pada kenyataannya, bencana banjir dan tanah longsor terus berulang, bahkan lebih parah.

Bahkan, bisa dikatakan negeri ini sangat akrab dengan bencana banjir. Akan tetapi, dari tahun ke tahun terus saja dipertontonkan situasi pemerintah pusat, provinsi, ataupun kabupaten/kota yang masih tergagap-gagap ketika banjir dan tanah longsor melanda.

Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNBP), yang melansir dampak kerugian dan kerusakan akibat banjir dan tanah longsor di Indonesia sepanjang tahun lalu, menyebutkan 286 orang meninggal dunia, 348 luka-luka, dan 149 ribu warga mengungsi dengan taksiran kerugian mencapai puluhan triliun rupiah.

Sebuah ironi, hujan yang semestinya membawa berkah justru menjadi biang musibah. Pemangku kebijakan selalu kaget dan kelabakan. Selalu kaget jika banjir dan tanah longsor melanda. Padahal, sebetulnya bencana banjir dan tanah longsor dapat diprediksi.

Banjir ini bukan bencana alam. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika rutin membuat prakiraan cuaca mengenai kapan hujan terjadi, di mana terjadi, dan dengan intensitas seperti apa. Namun, banjir yang terus berulang mencerminkan ketidakberdayaan pemerintah memitigasi banjir. Pemerintah seakan pasrah menghadapinya.

Untuk tahun ini, BMKG memprediksi musim hujan akan berlangsung dari bulan ini hingga Januari tahun depan. Sayangnya, sekalipun sudah jelas, langkah-langkah yang diambil pemerintah di berbagai level cenderung tidak sepenuh tenaga.

Artinya, masyarakat di daerah rawan banjir dan tanah longsor mulai waswas. Seperti biasa, banjir dan tanah longsor selalu menghadirkan kesulitan dan kepedihan bagi warga karena wilayah permukiman mereka berubah menjadi kolam.

Belum lagi warga harus hidup di pengungsian dan aktivitas kehidupan akan tersendat karena seluruh akses ke luar kawasan tempat tinggal mereka tertutup oleh banjir.

Wajar kiranya jika penanggulangan banjir diharapkan lebih integratif dan efektif. Tidak hanya diperlukan koordinasi di tingkat pelaksanaan, tapi juga di tingkat perencanaan kebijakan. Warga tentu ingin agar musibah itu tak separah seperti yang sudah-sudah.

Namun, keseriusan pemerintah, baik pusat maupun daerah, belum tampak untuk meminimalkan dampak dari potensi terjadinya banjir dan tanah longsor. Di wilayah Jakarta yang menjadi langganan banjir, misalnya, proyek normalisasi Sungai Ciliwung masih 45%. Akibatnya, 28 kelurahan masih berpotensi terendam banjir.

Kondisi ini tidak bisa dimungkiri akan menyebabkan Ibu Kota Republik ini akan kembali diterjang banjir. Efeknya tentu tidak hanya bagi warga, tapi juga mengganggu wajah perekonomian secara nasional. Tak hanya karena Jakarta sebagai ibu kota, tapi juga karena Jakarta ialah pusat bisnis nasional.

Untuk itulah, jika upaya preventif belum optimal, tidak ada pilihan lain kecuali meningkatkan kesiapsiagaan menghadapi banjir, termasuk juga tanah longsor dan angin puting beliung. Relokasi warga yang masih tinggal di daerah rawan bencana.

Pemerintah daerah pun harus terus-menerus menyosialisasikan dan memberikan pengertian kepada warga agar tidak terjadi hal-hal yang merugikan mereka. Begitu pula warga, mereka tak boleh lagi apatis terhadap ancaman bencana lingkungan. Peran terkecil seperti mengurangi dan membuang sampah pada tempatnya pantang diabaikan.






Kirim email ke