----- Pesan yang Diteruskan ----- Dari: Al Faqir Ilmi alfaqiri...@yahoo.com 
[sastra-pembebasan] <sastra-pembeba...@yahoogroups.com>Terkirim: Senin, 18 
November 2019 07.55.05 GMT+1Judul: #sastra-pembebasan# Mengapa perlu Ahok 
memimpin Pertamina
     

Mengapa perlu Ahok memimpin Pertamina.
Tadinya sistem pengelolaan Migas di Indonesia menerapkan skema bagi hasil atau 
Production Sharing Cost (PSC) cost recovery.  Namun sekarang sudah diganti 
dengan skema Gross Split. Apa bedanya dengan Cost recovery ? Kalau 
dianalogikan, Skeman PSC cost recovery seperti pemilik lahan sawah dan orang 
lain sebagai penggarap. Dalam hal ini, Pemilik lahan sawah adalah pemerintah, 
sementara penggarap yang diminta menggarap lahan milik pemerintah adalah 
perusahaan migas atau kontraktor kontrak kerja sama (KKKS). Sewaktu penggarap 
menggarap sawah yang diperintahkan pemilik, didapati hasil kotornya adalah 10 
karung. 
Nah, jika menggunakan skema PSC cost recovery, semua biaya operasi beli bibit, 
perawatan, usir burung, hitung habis biayanya lima karung, dan sisanya tinggal 
lima karung. Dari lima karung yang tersisa itu, jika PSC cost recovery ada 
perjanjian antara pemilik dengan pekerjanya itu 85 persen dari 5 karung milik 
pemilik sawah, maka KKKS mendapati 15 persen dari 5 karung dari pemilik lahan. 
Namun faktanya, berpotensi mudah dikorup. Karena bisa saja ada permainan antara 
Pejabat SKK Migas dengan KKKS ( kontraktor kontrak kerja sama). Kongkalikong 
soal cost production bisa saja terjadi, agar semakin kecil bagian pemerintah.
Oleh karenannya, pemerintah akhirnya memutuskan mengubah skema PSC menjadi 
gross split. Di mana, pembagian migas, 57 persen untuk negara dan 43 persen 
untuk kontraktor, sementara pembagian untuk gas bumi 52 persen ke negara, 48 
persen untuk kontraktor. Jadi kalau hasil 10 karung, mau si pekerja sawahnya 
(KKKS) pakai pupuk apa, bibit seperti apa, pokoknya dari 10 karung hasilnya, ya 
5 karung negara, 5 lagi kontraktor dengan catatan semua cost ditanggung 
sendiri. Mau cost 8 karung pokoknya 5 karung negara, mau cost-nya lebih rendah 
tiga karung misalnya, tetap negara 5 karung.
Dengan skema gross split ini memungkinkan pemerintah menunjuk Pertamina sebagai 
wakil pemegang saham pada kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) yang dapat 
konsesi blok MIGAS. Tidak seperti sebelumnya Pertamina lebih banyak sebagai 
penonton dan harus bersaing dengan KKKS mendapatkan konsesi blok Migas.. 
Karenanya diperlukan Dirut Pertamina seperti Ahok, yang jujur dan amanah untuk 
memastikan tidak tunduk dengan konspirasi antara KKKS dan elite politik yang 
bisa saja mengurangi bagian pemerintah.
Disamping itu, Ada 22 blok migas yang kontraknya yang sebagian besar bakal 
berakhir tahun 2020. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) 
Nomor 15/2015 keberpihakan pemerintah kepada Pertamina itu menjadi prioritas 
untu mengelola Kontrak yang sudah berakhir. Namun dalam peraturan itu tidak 
secara tegas menyatakan hak prioritas Pertamina untuk mendapatkan blok migas 
yang kontraknya akan berakhir. Artinya bisa saja dialihkan ke pihak KKKS 
lainnya. Karenanya Pertamina butuh orang seperti Ahok yang sudah terbukti 
kinerjanya. Agar hak itu tidak jatuh ke pihak swasta. Misal, Surya Energy ( 
milik SP) sudah mengajukan proposal untuk mengelola blok migas yang akan 
berakhir masa kontraknya. 
Kalau Ahok jadi ditempatkan sebagai Dirut Pertamina, maka itu lebih karena 
Jokowi percaya kepada Ahok, dan sangat paham tentang Ahok. Jokowi tentu yakin 
bahwa Ahok bisa mengawal kepentingan negara di Pertamina dari segala tekanan 
politik yang ingin menguntungkan oligarki bisnis rente, dan sekaligus melakukan 
restrukturisasi bisnis agar Pertamina bukan hanya  sebagai produsen dan 
distributor tetapi juga sebagai trader  oil and gas berkelas dunia.

Erizeli Jely Bandaro

Dikirim dari Yahoo Mail untuk iPhone
    

Kirim email ke