Masih ingat IGGI yang diketuai Jan Pronk? Nah, itulah wujud neo kolonialisme-imperialisme yang menyergap Indonesia di era kemerdekaan. Wujud evolusi dari VOC; EIC (Inggris); dan kongsi-kongsi dagang penjajah lainnya. Boleh telusuri jejak nekolim di Indonesia sejak IGGI ditendang Soeharto sampai nongolnya raja Belanda di depan Jokowi hari ini. Persis sekumpulan pemerkosa yang bolak-balik bergiliran.
--- roeslan12@... wrote: REFLEKSI : Postingan saya yang sekarang ini adalah komentar saya terhadap kesanggupan Belanda untuk ``membantu`` Indonesia. Dalam konteks ini saya ingin sejenak melihat kebelakang, yaitu melihat proses dimulainya penjajahan kolonoalisme Belanda di Indonesia, yang awalnya dimulai dari masuknya kongsi dagang monopoli rempah-rempah di Indonesia yang dilakukan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) pada tahun 1602.. Akhirna kalau tak salah ingat pada tahun 1800-an VOC bangkrut karena mengalami kesukaran keuangan, gara-gara Korupsi, Jadi menurut pendapat saya singkatan nama VOC bisa saya artikan Vergaan Onder Corruptie. Dalam keadaan seperti itu maka Pemerintah Belanda saat itu besikap untuk menyelamatkan VOC dengan cara mengambil alih perusahaan dagang milik VOC menjadi perusahaan dagang rempah-rempah milik pemeritah Belanda saat itu, dan sejak itulah dimulainya penjajahan kolonialisme Belanda di Indonesia, ini menurut ingatan saya, kalau salah harap dikoreksi. Menurut pengamatan saya, sikap pemerintah Belanda saat ini, yang mau kasi ``bantuan``kepada Indonesia, yang kini sedang mengalami krisis keuangan karena tetjadinya megakorupsi dan banyak utangnya,maka sikap pemerintah Belanda itu bisa disamakan dengan sikap pemerintah Belanda diera VOC dalam proses kehancuran VOC yang disebabkan adanya megakorupsi. Jadi maksud memerintah Belanda yang mau kasih ``bantuan`` pada Indonesia itu, mudah sekali dibaca, maksutnya, yaitu Pemerintah Belanda yang sekarang ini berkehendak unuk melakukan penjajahan model baru di Indonesia, dengan cara memompa (memberi kridit ``murah``) utang, agar supaya rezim neolib Jokowi tetap hidup, sehingga terbukalah jalan TOL bagi pintu masuk neokolonialisme Belanda di NKRI.. Roeslan. Dikirim dari Yahoo Mail di Android Pada Rab, 11 Mar 2020 pada 20:19, ajeg ajegil...@yahoo.com [GELORA45]<GELORA45@yahoogroups.com> menulis: Belanda bisa bantu dalam 4 tahun kemiskinan jadi nol persen? --- djiekh@... wrote: Belanda ya suka kasih "bantuan", karena mengharapkan kemudahanuntuk proyek2 berikutnya. Hebatnya kali ini sampai raja Belanda sendiri minta maaf ataskejadian lampau, bukan si perdana menteri, menteri luar negeriataupun dutabesarnya.Banyak mahasiswa dari Indonesia belajar di Belanda. Juga dosen2nya.Dan dosen2 yang sudah dapat PhDnya mengajar beberapa tahun di Belanda.Ada beberapa dari dosen ini sering datang diundang beri ceramah olehmasyarakat Indonesia. Op wo 11 mrt. 2020 om 06:36 schreef ajeg : Keadaan semakin memburuk. Menteri-menteri menjaga jarak, partai-partai pendukung melengos. Jokowi.. minta bantuan Raja Belanda... 😂 --- roeslan12@... wrote: REFLEKSI : NKRI BERADA DALAM CENGKERAMAN YANG SANGAT KUAT DARI OLIGARKI EKONOMI YANG BEREDIOLOGI NEOLIBERALISME!!! >>BISAKAH NKRI MENJDADI NEGARA MAJU???<< Glittering Generatity : Kabinet Jokowi periode ke dua ini diberi nama Kabinet Indonesia Maju; menurut pengamatan saya;Presiden Jokowi selalu menghubungkan sesuatu dengan ``kata yang baik; dipakai untuk membuat kita menerima dan menyetujui sesuatu, tanpa memeriksa bukti-bukti`` Menurut pengamatan saya : Kabinet Indonesia Maju tidak akan bisa terjadi, yang akan terjadi adalah : KabinetIndonesia Mundur, karena kebijakan ekonomoi politiknya berputar balik mundur meniru kebijakan kapitalisme AS ditahun 1840, yang mengeluarkan Undang-undang Omnibus Law. Tulisan ini berusaha untuk mengalisa akan terjadinya kegagalan Kabinet Indonesia Maju periode ke dua rezim neoliberal Jokowi, karena tidak didasarkan pada kenyataan realita soaial politik kita dewasa ini, yang dikepung oleh para koruptor kakap, yang berbudaya KKN, sedangakan kemampuan KPK telah dipreteli,sehingga terkesan bahwa KPK telah mati suri. Menurut pengamatan saya, apa yang dinamakan Kabinet Indonesia Maju, samasekali tidak akan bisa terjadi; Ucapan Kabinet Indonesia Maju, saya tnggapi sebagai ucapan yang bermuatan Glittering Generatity, yang beraroma kebohongan yang terselubung. Justru yang akan terjadi adalah Kabinet Indonesia mundur, yang akan mengantar terjadinya suatu persepsi bahwa : Indonesia Yang Merdeka sekarang ini, dapat dikatakan merupakan replika dari Indonesia yang Ter-Jajah pada zaman kolonial Belanda; Ini tercermin dalam dialektik hubungan Ekonomi di Indonesia sejak jaman kolonialisme Belanda sampai sekarang (era ``reformas``) pimpinan Presiden Jokowi, yang merefkelsikan dirinya dalam bentuk hubungan ekonomi yang ekploitatif. Diera ``reformasi `` yang sudah berlangsung serang lebih selama 21 tahun ini, kita telah menyaksikan bahwa kelompok oligarki ekonomi yang memaksakan ediologi neoliberalisme dapat berhasil, dan bisa melakukan cengkeraman yang sangat kuat dalam realita sosial politik kita . Fenomena ini tidak mempunyai arti yang signifikan; Karena fenomena ini hanya dimungkinkan oleh karena adanya intervensi negara, seperti korporatisme dan fasisme di tahun-tahun-tahun tiga puluhan (1930). Dalam konteks ini yang dimaksut intervensi negara adalah intervensi rezim Jokowi-Ma´ruf Amin, yangsecara langsung mendorong kegiatan kelompok oligargi ekonomi yang adalah kelompok pendukung setia ideologi neoliberalisme; yang berusaha untuk menjadikan Indonesia yang Merdeka sekarang ini dapat dikatakan merupakan replika dari Indonesia Yang Terjajah pada zaman kolonialisme Belanda. Indonesia yang telah memproklamirkan kemerdekaan ditahun 1945, terus didesak untuk mundur dari tuntutan-tuntutan kultural Prokalasi Kemerdekaan nasional, yaitu kemerdekaan,demokrasi,emansipasi,harga diri dan jati diri sebagai bangsa yang mandiri didalam Negara Kesatun Republik Indonesia (NKRI); akan terus didesak masuk ke era periode krisis kapitalkisme AS sekitar tahun 1840,yang mendorong dikeluarkannya Undang-Undang OmnibusLaw, yang tentu saja akan sangat menguntungkan para pemilik modal besar AS saat itu; khususnya di Indonesia saat ini adalah isvestor-investor asing yang digambarkan sebagai para ``pencipta kerja``,yang menurut istilahnya orde baru disebut pemberi kerja, ini terecermin dalam Rancangan Undang-undang Ciptakerja, yang terus dipropagandakan dan dipaksakan, oleh rezim neoliberal Jokowi-Ma´ruf Amin melalui DPR RI. Selain dari apa yang sudah saya utarakan diatas, maka menurut pengamatan saya, rezim NKRI adalah rezim penguasa yang telah mengadapsi ideologi neoliberalisme, ini tercermin dalam, kebijakannya yang menganut sistem ekonomi neoliberal; jadi tidaklah mengherankan jika di era kekuasaan rezim Jokowi sekarng ini terkesan kuat telah memberi peluang besar kepada kelompok oligarki ekonomi untuk melakukan cengkeramannya, dengan cara membuat konsep untuk meperoleh rente. Rente dalam konteks ini tidak bararti bunga yang harus dibayar atas pinjaman modal, tapi adalah terjemahan dari pengertian rent, yang digunakan dalam teori ekonomi, maka untuk mudahnya digunakan kata rente, untuk membedakan kata bunga. Dalam suatau buku yang ditulis oleh Profesor Anne Krüger, guru besar dalam ilmu ekonomi pada Universitas Minnesota, AS, yang berjudul ``The Political Economy of the Rent-Seeking Society``.. Telah dikembangkan suatu konsep yang menarik yaitu konsep rent-seeking. Konsep ini di NKRI sangat relevan, karena pemerintah dan aparatur negaranyabanyak yang telah terpapar virus budaya KKN, sehingga dengan mudah dapat dipengaruhi atau disuap oleh para pengusaha yang terkena suatu pembatasan pemerintah, sebagai contohmisalnya saja dalam hal penetapan tarif bea masuk atau kuota (pembatasan kuantitatif) atas impor suatu barang tertentu, maka harga barang impor itu naik akibat kuota tersebut, yang akan menghasilkan tambahan keuntungan (keuntungn kuota) atau rente yang sangat besar bagi para importir (pengusaha), yang memperoleh izim impor barang resebut. Jadi menurut pengamatan saya, adalah suatu elusi bahwa keuntungan yang sangat besar dari kuota tersebut akan memberikan nilai tambah yang substansial bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dari uraian tersebut diatas tercermin adanya dua jenis kelompok pencari rente ; yaitu kelompok yang tetap turut melakukan kegiatan-kegiatan produktif secara sedardan wajar, dan kelompok yang mengkhususkan dirinya dalam upaya pencarian rete ekonomi. Keberadaan dua jenis kelompok inilah yang membentuk terjadinya jaringan kelompok pemburu Rente, yang dalam kekuasaan rezim neoliberal Jokowi, dikenal sebagai kepompok oligarki-ekonomi, yang cengkeramannya sangat kuat dalam realita sosial politik kita. karena para birokrat rezim Jokowi dan para politikusnya banyak yang telah terpapar virus budaya KKN, dan virus penyakit konsum syndrom, yang dilindungi oleh undang-undang Omnibus Law, yang sekarang sudah direncanakan oleh rezim Jokowi, dan akan dipaksakan untuk segera mungkin di sahkan oleh DPR RI. Kesimpulan akhir : Jika bangsa ini sungguh-sungguh berkeinginan secara iklas untuk menyaksikan proses berlangsungnya Indonesia maju, maka reformasi sosial yang mendasar perlu dilaksanakan. Kemudian seiring dengan ini,harus dilaksanakan pentahapan yang logis dan sistematis khusunya Pasal 33 UUD 45 dan Pancasila dalam bebagai komponen strategi pembangunan. Usaha ini sangat perlu dilakukan oleh karena: Kemajuan suatu bangsa adalah merupakan fungsi dari sistem sosial bangsa ini secara keseluruhan. Sarana seperti ini tidak akan mungkin bisa terjadi dalam suatu negara yang telah menelan bulat-bulat ideologi neoliberalisme,dan menghidupkan lembali UU Omnibus Law; kecuali itu juga mengandung Utang yang bertumpuk-tumpuk. Jadi betul jika dikatakan bahwa : Jadi Target Jokowi , 2024 Nol Persen kemiskinan hanyalah impian disiang hari bolong; Karena tidak akan bisa terjadi!!!. Alias BOHONG !!! Roeslan Von: ajeg Bagaimana bisa maju wong kerjanya asal jeplak melulu. Disanjung dungu, ngamuk. Dungu kan? - Nol Persen Kemiskinan Di 2024, Istana: Kalau Tak Tercapai Namanya Juga Target https://rmol..id/amp/2020/03/07/424393/https-politik-rmol-id-read-2020-03-07-424393-nol-persen-kemiskinan-di-2024-istana-kalau-tak-tercapai-namanya-juga-target #yiv2128699016 #yiv2128699016 -- #yiv2128699016ygrp-mkp {border:1px solid #d8d8d8;font-family:Arial;margin:10px 0;padding:0 10px;}#yiv2128699016 #yiv2128699016ygrp-mkp hr {border:1px solid #d8d8d8;}#yiv2128699016 #yiv2128699016ygrp-mkp #yiv2128699016hd {color:#628c2a;font-size:85%;font-weight:700;line-height:122%;margin:10px 0;}#yiv2128699016 #yiv2128699016ygrp-mkp #yiv2128699016ads {margin-bottom:10px;}#yiv2128699016 #yiv2128699016ygrp-mkp .yiv2128699016ad {padding:0 0;}#yiv2128699016 #yiv2128699016ygrp-mkp .yiv2128699016ad p {margin:0;}#yiv2128699016 #yiv2128699016ygrp-mkp .yiv2128699016ad a {color:#0000ff;text-decoration:none;}#yiv2128699016 #yiv2128699016ygrp-sponsor #yiv2128699016ygrp-lc {font-family:Arial;}#yiv2128699016 #yiv2128699016ygrp-sponsor #yiv2128699016ygrp-lc #yiv2128699016hd {margin:10px 0px;font-weight:700;font-size:78%;line-height:122%;}#yiv2128699016 #yiv2128699016ygrp-sponsor #yiv2128699016ygrp-lc .yiv2128699016ad {margin-bottom:10px;padding:0 0;}#yiv2128699016 #yiv2128699016actions {font-family:Verdana;font-size:11px;padding:10px 0;}#yiv2128699016 #yiv2128699016activity {background-color:#e0ecee;float:left;font-family:Verdana;font-size:10px;padding:10px;}#yiv2128699016 #yiv2128699016activity span {font-weight:700;}#yiv2128699016 #yiv2128699016activity span:first-child {text-transform:uppercase;}#yiv2128699016 #yiv2128699016activity span a {color:#5085b6;text-decoration:none;}#yiv2128699016 #yiv2128699016activity span span {color:#ff7900;}#yiv2128699016 #yiv2128699016activity span .yiv2128699016underline {text-decoration:underline;}#yiv2128699016 .yiv2128699016attach {clear:both;display:table;font-family:Arial;font-size:12px;padding:10px 0;width:400px;}#yiv2128699016 .yiv2128699016attach div a {text-decoration:none;}#yiv2128699016 .yiv2128699016attach img {border:none;padding-right:5px;}#yiv2128699016 .yiv2128699016attach label {display:block;margin-bottom:5px;}#yiv2128699016 .yiv2128699016attach label a {text-decoration:none;}#yiv2128699016 blockquote {margin:0 0 0 4px;}#yiv2128699016 .yiv2128699016bold {font-family:Arial;font-size:13px;font-weight:700;}#yiv2128699016 .yiv2128699016bold a {text-decoration:none;}#yiv2128699016 dd.yiv2128699016last p a {font-family:Verdana;font-weight:700;}#yiv2128699016 dd.yiv2128699016last p span {margin-right:10px;font-family:Verdana;font-weight:700;}#yiv2128699016 dd.yiv2128699016last p span.yiv2128699016yshortcuts {margin-right:0;}#yiv2128699016 div.yiv2128699016attach-table div div a {text-decoration:none;}#yiv2128699016 div.yiv2128699016attach-table {width:400px;}#yiv2128699016 div.yiv2128699016file-title a, #yiv2128699016 div.yiv2128699016file-title a:active, #yiv2128699016 div.yiv2128699016file-title a:hover, #yiv2128699016 div.yiv2128699016file-title a:visited {text-decoration:none;}#yiv2128699016 div.yiv2128699016photo-title a, #yiv2128699016 div.yiv2128699016photo-title a:active, #yiv2128699016 div.yiv2128699016photo-title a:hover, #yiv2128699016 div.yiv2128699016photo-title a:visited {text-decoration:none;}#yiv2128699016 div#yiv2128699016ygrp-mlmsg #yiv2128699016ygrp-msg p a span.yiv2128699016yshortcuts {font-family:Verdana;font-size:10px;font-weight:normal;}#yiv2128699016 .yiv2128699016green {color:#628c2a;}#yiv2128699016 .yiv2128699016MsoNormal {margin:0 0 0 0;}#yiv2128699016 o {font-size:0;}#yiv2128699016 #yiv2128699016photos div {float:left;width:72px;}#yiv2128699016 #yiv2128699016photos div div {border:1px solid #666666;min-height:62px;overflow:hidden;width:62px;}#yiv2128699016 #yiv2128699016photos div label {color:#666666;font-size:10px;overflow:hidden;text-align:center;white-space:nowrap;width:64px;}#yiv2128699016 #yiv2128699016reco-category {font-size:77%;}#yiv2128699016 #yiv2128699016reco-desc {font-size:77%;}#yiv2128699016 .yiv2128699016replbq {margin:4px;}#yiv2128699016 #yiv2128699016ygrp-actbar div a:first-child {margin-right:2px;padding-right:5px;}#yiv2128699016 #yiv2128699016ygrp-mlmsg {font-size:13px;font-family:Arial, helvetica, clean, sans-serif;}#yiv2128699016 #yiv2128699016ygrp-mlmsg table {font-size:inherit;font:100%;}#yiv2128699016 #yiv2128699016ygrp-mlmsg select, #yiv2128699016 input, #yiv2128699016 textarea {font:99% Arial, Helvetica, clean, sans-serif;}#yiv2128699016 #yiv2128699016ygrp-mlmsg pre, #yiv2128699016 code {font:115% monospace;}#yiv2128699016 #yiv2128699016ygrp-mlmsg * {line-height:1.22em;}#yiv2128699016 #yiv2128699016ygrp-mlmsg #yiv2128699016logo {padding-bottom:10px;}#yiv2128699016 #yiv2128699016ygrp-msg p a {font-family:Verdana;}#yiv2128699016 #yiv2128699016ygrp-msg p#yiv2128699016attach-count span {color:#1E66AE;font-weight:700;}#yiv2128699016 #yiv2128699016ygrp-reco #yiv2128699016reco-head {color:#ff7900;font-weight:700;}#yiv2128699016 #yiv2128699016ygrp-reco {margin-bottom:20px;padding:0px;}#yiv2128699016 #yiv2128699016ygrp-sponsor #yiv2128699016ov li a {font-size:130%;text-decoration:none;}#yiv2128699016 #yiv2128699016ygrp-sponsor #yiv2128699016ov li {font-size:77%;list-style-type:square;padding:6px 0;}#yiv2128699016 #yiv2128699016ygrp-sponsor #yiv2128699016ov ul {margin:0;padding:0 0 0 8px;}#yiv2128699016 #yiv2128699016ygrp-text {font-family:Georgia;}#yiv2128699016 #yiv2128699016ygrp-text p {margin:0 0 1em 0;}#yiv2128699016 #yiv2128699016ygrp-text tt {font-size:120%;}#yiv2128699016 #yiv2128699016ygrp-vital ul li:last-child {border-right:none !important;}#yiv2128699016