-- 
j.gedearka <j.gedea...@upcmail.nl>



https://news.detik.com/kolom/d-5013050/mencetak-sawah-baru-atau-mendorong-pangan-lokal?tag_from=wp_cb_kolom_list



Kolom

Mencetak Sawah Baru atau Mendorong Pangan Lokal?

Gilang Adinugroho - detikNews
Rabu, 13 Mei 2020 14:00 WIB
0 komentar
SHARE URL telah disalin
Foto aerial sejumlah petani menanam padi di areal persahawan Desa Pesarean, 
Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Jumat (10/1/2020). Kementerian Pertanian 
menargetkan cetak sawah baru naik dari 6.000 hektar pada 2019 menjadi 10.000 
hektare pada 2020 dengan mengalokasikan anggaran sebesar Rp200 miliar untuk 
merealisasikan cetak sawah. ANTARA FOTO/Oky Lukmansyah/ama.
Target cetak sawah 2020 naik (Foto: Oky Lukmansyah/Antara)
Jakarta -
Wabah Covid 19 telah berjangkit di Indonesia selama dua bulan terakhir. Daerah 
episentrum penyebaran seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya telah menetapkan 
pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Berbagai pihak memprediksi, wabah 
corona ini masih akan berlangsung selama 2-3 bulan ke depan.

Social distancing yang diterapkan untuk mengurangi penularan menyebabkan 
berhentinya sebagian besar kegiatan masyarakat. Hal tersebut memberikan dampak 
besar bagi perputaran ekonomi. Banyak orang kehilangan lapangan pekerjaan, 
penurunan omset, dan kerugian ekonomi lainnya. Beberapa pihak memprediksi, 
pertumbuhan ekonomi Indonesia akan mengalami penurunan bahkan minus.

Tantangan lain dalam menghadapi pandemi ini adalah ketersediaan bahan pangan, 
terutama beras. Kondisi cuaca yang tidak pasti menyebabkan musim tanam padi 
menjadi mundur. Kondisi tersebut dapat mempengaruhi produksi beras dalam negeri 
padahal kebutuhan terus meningkat. Presiden Jokowi mengarahkan untuk mencetak 
sawah baru sebagai solusi untuk memenuhi kebutuhan pangan.

Hal itu menjadi ironi karena selama ini kebijakan pemerintah justru memicu alih 
fungsi lahan pertanian. Pembangunan infrastruktur berupa jalan dan tol akan 
meningkatkan potensi sawah berubah menjadi permukiman.

Tidak Mudah

Kebijakan pencetakan sawah semakin memperkuat bahwa negara ini sudah tergantung 
pada beras. Pencetakan sawah tidak semudah membalik telapak tangan dan 
berpoduksi dengan maksimal dalam waktu dekat. Pengalaman kebijakan pencetakan 
sawah pada waktu sebelumnya dianggap belum berhasil. Apalagi dilakukan di 
wilayah yang karakteristik geografisnya kurang sesuai untuk sawah seperti 
Kalimantan.

Slogan Indonesia negara agraris yang gemah ripah loh jinawi jangan membuat 
terlena semua pihak. Seolah-olah kaya akan bahan pangan, tetapi apabila tidak 
dikelola dengan baik akan berakibat pada penurunan daya dukung bahan pangan. 
Jumlah penduduk semakin bertambah, sisi lain produksi pangan akibat lahan 
pertanian semakin sempit. Ironi, apabila negara agraris justru bergantung pada 
impor bahan pangan. Kondisi ini dalam jangka panjang akan berdampak terhadap 
kedaulatan pangan.

Wabah corona dapat menjadi momentum karena kehidupan masyarakat harus 
menyesuaikan dengan kondisi yang ada. Skema new normal life pasca-corona tidak 
hanya memperhatikan aspek kesehatan saja. Perubahan mindset dan pola makan 
masyarakat juga perlu dilakukan. Masyarakat luas perlu dikenalkan atau 
diingatkan kembali pada bahan pangan lokal sebagai sumber makanan.

Memang butuh waktu untuk mengubah pola pangan, tetapi dalam jangka panjang 
memberikan keuntungan terhadap kondisi ketahanan pangan.

Alternatif

Pemerintah seharusnya mendorong bahan pangan lokal sebagai alternatif sumber 
pangan dalam pandemik corona. Jangan hanya bergantung kepada ketersediaan 
beras. Selama ini bahan pangan lokal masih dianggap sebelah mata bahkan dicap 
makanan kelas dua. Terdapat anekdot di masyarakat negeri ini, dianggap belum 
makan kalau belum pakai nasi. Bahan pangan selain beras selama ini hanya 
dianggap camilan. Padahal pangan lokal secara gizi maupun rasa tidak kalah 
dibandingkan dengan beras.

Indonesia sebenarnya kaya akan tradisi yang menyiratkan ketahanan dan 
diversifikasi pangan masyarakat. Masyarakat perdesaan di Jawa mempunyai tradisi 
ngrowot. Yakni, puasa makan nasi atau bahan yang terbuat dari beras dalam waktu 
tertentu. Nasi diganti bahan pangan lainnya seperti umbi-umbian, jagung, sayur, 
atau buah- buahan. Tujuan tradisi ngrowot untuk penguatan batin dan simbol 
keprihatinan.

Masyarakat Indonesia Timur juga mempunyai bahan pangan lokal selain beras 
seperti umbi dan sagu. Kita mengenal papeda, masakan terbuat dari sagu yang 
terkenal di Papua. Selain itu terdapat tradisi bakar batu yang dapat menjadi 
media turun temurun untuk mengenalkan jenis bahan pangan lokal. Nasi jagung, 
getuk, dan olahan lainnya sudah menjadi makanan sehari-hari masyarakat sejak 
jaman dulu.

Beras-isasi dapat menghilangkan pemahaman tentang adanya sumber pangan lain 
dalam benak generasi kini dan mendatang.

Tantangan dalam pengembangan bahan pangan lokal adalah budidaya masih 
tradisional dan belum terstruktur. Budidaya hanya ditujukan untuk kebutuhan 
domestik rumah tangga bukan berorientasi luas. Hal ini menyebabkan produksi 
komoditas pangan lokal belum mampu memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat. 
Keberpihakan kebijakan juga masih setengah hati karena belum ada arah yang 
jelas terkait pengembangan bahan pangan lokal.

Tantangan lainnya adalah mengangkat "derajat" bahan pangan lokal yang dianggap 
makanan orang miskin, terutama bagi kaum milenial. Era industri 4.0 menjadi 
peluang untuk mengemas dengan inovasi sehingga lebih menarik bagi kaum muda. 
Umbi-umbian, jagung, atau sagu akan cocok dengan seiring meningkatnya tren 
makanan sehat dan back to nature di kalangan milenial.

Harus Serius

Pemerintah harus serius menggarap potensi bahan pangan selain beras menjadi 
komoditi pangan. Instansi terkait perlu menyiapkan blue print untuk arah 
pengembangan bahan pangan lokal. Harapannya semua sumberdaya, baik dana maupun 
kebijakan sejalan dengan arah yang baru.

Bahkan akan lebih baik lagi apabila pembangkitan bahan pangan lokal tidak hanya 
untuk urusan konsumsi, tetapi berorientasi ekspor.

Jangan sampai kita meneruskan kebijakan pangan yang bias akan komoditas 
tertentu. Saatnya bahan pangan lokal digalakkan kembali dan mendapatkan tempat 
dalam piring masyarakat.

Gilang Adinugroho alumni Magister Geografi Universitas Gadjah Mada, konsultan 
Lingkungan Hidup dan Perencanaan Pembangunan Wilayah

(mmu/mmu)
pangan
pandemi
sawah







Kirim email ke