https://www.insideindonesia.org/tidak-beragama-di-antara-orang-orang-beraga


*Tidak beragama di antara orang-orang beragama*


Written by *BUDI HARTONO*   Print
<https://www.insideindonesia.org/index.php?option=com_content&view=article&id=3608:tidak-beragama-di-antara-orang-orang-beraga&catid=242&Itemid=129&tmpl=component&print=1&layout=default&page=>



Suara.com/Ema Rohimah


Category:Edition 140: Apr-Jun 2020
<https://www.insideindonesia.org/edition-140-apr-jun-2020>

Published:May 12, 2020

Tagged under
*Budi Hartono*

Ini adalah cerita pendek tentang perjalanan kehidupan sehari-hari seorang
yang diam-diam tidak beragama di dunia orang-orang beragama.

Suatu hari biasa di suatu kantor. Saya sedang mengerjakan laporan,
memastikan semua angka yang diketik sesuai dengan yang ada di sumber data.
Kemudian terdengar suara azan, panggilan untuk para muslim untuk
menjalankan ibadah sholat. Mulanya sayup-sayup, kemudian menjadi semakin
jelas. Rekan-rekan kerja di sekitar meja kerja saya menghentikan apa yang
sedang mereka kerjakan dan bersiap-siap untuk sholat. Mereka akan pergi ke
masjid di luar gedung kantor namun masih di dalam lingkungan perkantoran.
Kolega saya yang duduk tiga kubikel dari meja saya berjalan menghampiri
kolega yang duduk dekat saya dan berkata kepadanya ‘sholat, yuk’ walaupun
dia juga sudah beranjak untuk pergi sholat. Kolega yang mengajak tidak lupa
memastikan ajakan itu terdengar saya juga. Dulu ajakan tersebut ditujukan
langsung untuk saya. Ajakan yang tidak lagi saya indahkan karena diam-diam,
saya sudah bukan lagi seorang muslim. Sejak saya berhenti mengindahkan,
cara mereka mengajak pun berubah.

Dulu, ketika saya masih beragama, saya terbiasa menerima ajakan sholat
seperti itu. Waktu itu bahkan saya tidak pernah memikirkan, betapa
merupakab sebuah kebebasan untuk mengekspresikan kepercayaan saya. Namun,
jika waktu dimajukan kedepan, ke masa dimana saya tidak lagi memiliki
kepercayaan terhadap suatu agama, saya bahkan tidak memiliki kebebasan
untuk tidak beribadah.

Saya terlahir di keluarga muslim, dan masa kecil saya diisi dengan
pembelajaran bagaimana menjadi seorang muslim. Sampai dengan sembilan tahun
yang lalu, ketika saya memutuskan untuk berhenti memegang kepercayaan suatu
agama, Islam bukan hanya agama yang saya imani, Islam adalah bagian besar
dari identitas saya. Saya sholat lima waktu dengan teratur, saya selalu
puasa sebulan penuh di bulan Ramadan. Saya diajarkan membaca Al Qur’an
sewaktu kecil dalam bahasa Arab, yang kemudian saya biasakan membaca,
sering dengan terjemahannya juga. Saya bukan hanya beribadah seperti
muslim-muslim lainnya, saya juga merasakan apa yang saya pikir muslim lain
rasakan. Pada waktu itu, saya senang jika mendengar kisah tentang mualaf
(orang yang berpindah keyakinan menjadi pemeluk agama Islam). Saya nyaman
membaca berita baik dari negara-negara berpenduduk mayoritas Islam. Saya
mengalami pembenaran mendengar cerita yang membuktikan agama lain salah,
atau membaca teori-teori yang mengkonfirmasi kepercayaan saya.

Melihat ke belakang, tidak pernah ada sesuatu yang istimewa dalam
perjalanan saya yang berasal dari latar belakang Islam menjadi saya yang
sekarang ini. Sampai dengan suatu titik dalam hidup saya, tidak ada satu
pun pemikiran untuk meninggalkan agama terbersit dalam pikiran. Kadang ada
suara-suara kecil yang bertanya: bagaimana kalau ternyata Islam bukan agama
yang benar? Tapi pertanyaan itu tidak pernah serius; mereka hanya pikiran
intrusif yang muncul tiba-tiba tanpa ada niat. Bukan pemikiran sejenis itu
yang memulai. Saya suka membaca. Rasa keingintahuan saya memang besar. Saya
tidak asing dengan cerita dan peristiwa, bukan hanya dari Indonesia, tapi
juga dari luar negeri. Hal itu mungkin yang menjadi jendela yang mengawali
ketidakpercayaan saya. Tidak semua hal dapat saya setujui, tapi saya mulai
sedikit dapat menerima perspektif yang bertentangan dengan nilai-nilai
agama. Mula-mula saya selalu berhasil mendapatkan penjelasan dari
inkonsistensi yang saya temukan. Penjelasan-penjelasan yang memungkinkan
saya menjaga iman saya. Namun semakin banyak saya belajar, beberapa ajaran
semakin sulit untuk dipertahankan. Saya mulai mengakui bahwa
jawaban-jawaban belum tentu berada di agama, bahkan dunia pun belum tentu
punya. Suatu hari pada akhirnya pencerahan tersebut tiba dan saya
memutuskan untuk tidak beragama lagi.
*Kewenangan atas hidup saya*

Itu bukan keputusan mudah. Saya telah menyebutkan sebelumnya tentang kadang
pemikiran intrusi tentang tuhan dan agama muncul begitu saja di kepala
saya. Setelah muncul, saya sering merasa takut. Bagaimana jika tuhan sudah
menganggap pemikiran tersebut sebagai bentuk penistaan? walaupun tidak ada
niat saya untuk mempertanyakan kuasa beliau?. Saya terus terayun di antara
perasaan bersyukur dan takut. Bersyukur terlahir di keluarga muslim, takut
atas kemungkinan terlahir di keluarga non-Muslim. Perasaan tersebut lahir
karena pikiran tentang surga dan neraka. Muslim diajarkan bahwa dunia ini
sementara, dan akhirat itu selamanya. Kemungkinan menjalani siksa abadi
tidak pernah pergi dari pikiran saya. Dengan konsekuensi sebesar itu,
keputusan untuk meninggalkan jalan hidup yang dulu sangat saya imani, hanya
dapat terjadi setelah pertimbangan yang matang. Penjelasan ini ditujukan
untuk menjawab persepsi keliru di kalangan umat beragama terhadap
orang-orang yang tidak beragama, bahwa mereka tidak bermoral atau malas
menjalankan ibadah. Keputusan saya meninggalkan agama bukan karena saya
menjadi tidak bermoral atau menjalankan ibadah. Dengan penuh rasa hormat,
saya merasa saya juga belajar agama dengan benar, seperti umat beragama
lainnya. Saya juga telah melakukan kajian. Saya hanya tiba di kesimpulan
yang berbeda.

@Flickr Creative Commons

Dari luar, tidak ada perbedaan mencolok di antara saya ketika muslim dan
saya yang sekarang. Saya masih tinggal di kediaman yang sama, saya masih
bagian dari keluarga yang sama, latar belakang pendidikan saya tetap sama.
Saya juga masih bekerja untuk kantor yang sama, yang, seperti kebanyakan
kantor di Indonesia, memiliki mayoritas pegawai beragama muslim. Namun,
terlepas dari agama telah membuka banyak perspektif baru. Kediaman,
keluarga, dan tempat kerja yang sama, mulai terasa menjadi dunia yang
berbeda. Saya merasa lebih berwenang terhadap hidup saya. Seiring saya
meninggalkan hal-hal yang dulu saya pelajari dan mendapatkan
pemahaman-pemahaman baru, saya mulai melihat dunia dengan perspektif yang
lebih cerah. Saya merasa saya telah maju selangkah dalam kebebasan berpikir..

Setelah berdamai dengan diri sendiri untuk tidak beragama, berterus terang
mengenai hal ini di muka umum tidak pernah menjadi bagian dari rencana saya
dalam waktu dekat. Saya bekerja di lingkungan dengan pegawai mayoritas
muslim, terbuka tentang posisi keyakinan saya bukanlah pilihan. Hanya
setelah saya berhenti beragama, saya menyadari seberapa bebas saya dulu
ketika menjalankan apa yang saya percaya. Salah satu kewajiban utama muslim
adalah sholat. Wajib dilaksanakan lima kali dalam sehari. Ketika itu, tidak
pernah ada situasi yang tidak bisa diterima untuk saya menjalankan sholat.
Ketika saya sedang berselisih dengan teman, saya bisa sholat. Ketika atasan
saya bergantung pada saya untuk suatu tugas mendesak, saya masih bisa
memprioritaskan waktu untuk sholat. Bahkan ketika tidak ada ruang khusus
untuk sholat, saya bisa menggunakan ruang kosong yang layak mana pun untuk
sholat. Dulu sebagai muslim, saya bisa sholat kapan pun, di mana pun, dan
dengan cara apa pun.

Saya merasa dimudahkan juga sewaktu bulan puasa. Berpuasa adalah ibadah
muslim lainnya. Muslim diperintahkan untuk menahan hawa nafsu mereka, tidak
terbatas tapi sebagai contoh adalah, dalam makan dan minum. Pada bulan
puasa, ibadah ini menjadi wajib. Kewajiban dimulai dengan sarapan sebelum
subuh yang dinamakan sahur. Pada bulan lain, saya jarang sekali bangun pada
jam itu, tapi sepanjang bulan puasa hal itu mudah. Ada sekelompok orang
yang akan mengitari kompleks perumahan mengumumkan dengan suara jelas bahwa
sudah waktunya sahur, sering diiringi taburan alat musik perkusi untuk
memastikan warga mendengar panggilan. Masjid di lingkungan perumahan juga
memberitahu waktunya sahur melalui *speaker *mereka. Kemudian waktu kerja
disesuaikan – pegawai dibolehkan pulang lebih awal untuk memastikan berbuka
puasa dilakukan di rumah. Kinerja tidak seproduktif bulan lainnya dimaklumi
selama bulan puasa. Banyak daerah melarang rumah makan berbuka selama waktu
ibadah puasa. Satu bulan itu terasa benar-benar diatur untuk mengakomodir
orang-orang berpuasa.
*Menahan pemikiran*

Mendiskusikan ketidakpercayaan saya di ruang publik juga tidak termasuk
dalam rencana. Dulu sebagai umat beragama, saya bisa menyampaikan
interpretasi saya tentang nilai-nilai agama, saya bisa bertanya, saya
bahkan bisa menyatakan tidak setuju di ruang publik. Saya punya waktu dan
ruang untuk mengekspresikan dan menjalankan kepercayaan saya dengan cara
yang saya pikir benar. Namun setelah tidak memiliki kepercayaan, saya
memiliki ruang terbatas untuk terbuka tentang hal-hal yang saya yakini.
Rekan kerja saya melihat ketekunan mereka dalam mengajak saya sebagai
sebuah bentuk kebajikan. Sementara, saya yang terus mengabaikan ajakan
mereka dapat terlihat asosial atau bahkan tidak bermoral. Kolega-kolega
saya sering meneruskan video khotbah tentang bahaya menagih bunga pada
pinjaman uang atau barang (*riba*). Jika saya menawarkan pendapat yang
menyeimbangkan, akan menyinggung mereka. Beberapa laki-laki di tempat kerja
suka mempromosikan praktek poligami. Saya pernah sekali menawarkan ide
bahwa hal tersebut tidak adil bagi wanita, tapi ini membuat marah mereka.
Makan di lingkungan kantor sewaktu bulan puasa tidak leluasa, jika terlihat
oleh orang yang berpuasa dapat dianggap tidak menghormati. Semua
pembicaraan menyangkut agama cenderung berjalan satu arah. Setelah menjadi
tidak beragama, saya telah sering merasa terpaksa untuk diam. Saya juga
merasa perlu menahan pikiran selagi di kantor.

Saya berharap segala sesuatu bisa berbeda. Datang dari latar belakang Islam
sendiri, saya tidak lupa perasaan ketika saya mengingatkan muslim lain
untuk tetap berada di jalan Islam yang saya yakini. Islam mewajibkan
pemeluknya untuk senantiasa mengingatkan pemeluk lain dalam menjalankan
ibadah dan menjauhi larangan. Yang rekan-rekan kerja saya lakukan mungkin
datang dari niat baik mereka supaya saya dapat menjalani hidup dengan lebih
baik sesuai dengan keyakinan mereka dan dari ketakutan mereka meninggalkan
kewajiban mengingatkan sesame. Tidaklah cukup bagi muslim untuk menjalankan
ibadah bagi diri sendiri; mereka juga harus memastikan sesame muslim untuk
menjalankan kewajiban juga. Terkadang saya berpikir bisa sejauh apa praktek
mengingatkan sesame ini.

Setelah menjadi seseorang yang memilih untuk tidak berafiliasi dengan agama
untuk sekian lama, saya masih menganggap Islam sebagai bagian dari diri
saya. Bagaimanapun, saya tumbuh dengan menjalankan ajaran Islam. Pengalaman
memeluk agama menjadikan saya sebagai diri saya yang sekarang dan saya
senang dapat memahami rekan-rekan kerja saya dengan lebih baik karenanya.
Saya benar-benar menganggap kemampuan memahami tersebut sebagai kelebihan
saya. Oleh karena itu, saya berharap suatu hari umat beragama di sekitar
saya juga bisa mendapat manfaat dari memahami semua orang di sekitar
mereka, bukan hanya memahami orang-orang yang memiliki kesamaan pandangan.
Orang yang tidak beragama memahami orang yang beragama, pemeluk agama
memahami mereka yang tidak memiliki agama, bersama kita dapat menciptakan
pengertian yang berbalas.

Kebebasan beragama adalah bagian penting dari itu. Kebebasan itu dimiliki
semua orang. Termasuk kebebasan untuk tidak beragama. Keyakinan pribadi
saya adalah setiap kita membatasi kebebasan beragama seseorang, sebenarnya
kita memenjarakan diri kita sendiri, karena kita menyangkal diri kita
kesempatan untuk memahami orang tersebut dengan lebih baik. Kehadiran
orang-orang yang tidak beragama, tidak mengurangi kebebasan umat beragama
untuk menjalankan ibadah. Kebabasan beragama bukanlah *zero-sum game.* Semua
orang sebenarnya bisa memiliki kebebasan beragama yang sama. Ada ruang yang
cukup untuk semua orang bisa mengekspresikan keyakinannya, selama itu tidak
mencelakakan orang lain. Saling pengertian itu menyebar – itu bisa menjadi
awal dari saling pengertian yang lebih banyak lagi. Dampak dari saling
pengertian yang terus bertambah dan terus digabungkan itu bisa menjadi
besar sekali. Hal ini bisa dimulai dari tempat sesederhana lingkungan
kantor.

*Budi Hartono** adalah nama samaran.*

Read the English verison
<https://www.insideindonesia.org/irreligious-among-the-religious>

Kirim email ke