-- 
j.gedearka <j.gedea...@upcmail.nl>



https://news.detik.com/kolom/d-5036186/pancasila-dan-cita-cita-kemanusiaan?tag_from=wp_cb_kolom_list



Kolom

Pancasila dan Cita-Cita Kemanusiaan

Muhammad Adlan Nawawi - detikNews
Senin, 01 Jun 2020 14:29 WIB
0 komentar
SHARE URL telah disalin
Ilustrasi hari lahir Pancasila
Ilustrasi: Fuad Hasim/detikcom
Jakarta -

Di tengah hiruk-pikuk proses pendirian identitas Indonesia pada masa revolusi, 
berbagai elemen fondasi kebangsaan mulai dibangun. Salah satunya adalah dasar 
negara yang kemudian mewujud sebagai Pancasila. Terlepas dari serangkaian 
perdebatan ideologis ataupun asumsi "pemaksaan" kehendak yang disinyalir hadir 
dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (Dokritsu 
Zyunbi Tyoosaki) pada 1 Juni 1945, bangsa ini butuh suatu dasar filosofis 
negara (philosofische grondslag) yang sekaligus menjadi cita-cita 
ideal-filosofis yang memayungi kemajemukan bangsa.

Karena itu, bisa dipahami jika kala itu Sukarno mengkritik perdebatan yang 
hanya berkisar pada tafsiran parsial ideologis atas berbagai sila dalam 
Pancasila. Ia menegaskan pentingnya fundamen filsafat, pikiran dalam, jiwa 
hasrat yang di atasnya didirikan "gedung" Indonesia Merdeka yang kekal dan 
abadi. Tarik ulur gagasan dan pemikiran antara kaum nasionalis-muslim dengan 
nasionalis-sekular bagi Sukarno hanya serangkaian perdebatan artifisial dan 
tidak substantif. Sementara bangunan kebangsaan menghendaki sebuah konsep yang 
bersifat universal yang bisa menjadi tumpuan, tujuan, dan cita-cita bersama.

Sebagai sebuah prinsip, gagasan ideal-filosofis Pancasila tidak menutup mata 
terhadap berbagai tafsiran baru dan kritik ideologis, karena ia hanyalah 
sebagai weltanschauung berbangsa dan bernegara, spirit dan tempat tujuan 
bersama yang mampu mengikat rasa persatuan dan kesatuan.

Butiran Universal

Para pendiri negeri ini sangat memahami kondisi bangsa saat itu. Di tengah 
realitas kehidupan yang majemuk dengan aura ideologis dan identitas keagamaan 
yang begitu menonjol, tidaklah relevan untuk mengambil pilihan salah satu 
ideologi atau identitas dengan mengesampingkan yang lainnya. Mereka memadukan 
berbagai gagasan, pemikiran, dan kepentingan dengan mengatasnamakan persatuan 
dan kesatuan bangsa.

Poin kebangsaan, kemanusiaan, kerakyatan, keadilan sosial, dan ketuhanan 
merupakan butiran-butiran universal yang mengarah pada cita-cita 
ideal-filosofis. Pancasila tidak bekerja pada ranah simbolik, melainkan 
substantif. Agama tidak diperankan semata-mata secara simbolik dalam kekuasaan, 
Indonesia pun bukan negara agama, melainkan negara yang beragama.

Butir-butir Pancasila memberi agama peran universal. Nilai-nilai universal itu 
mewujud dalam perilaku kehidupan melampaui doktrinnya sendiri. Dalam konteks 
ajaran Islam, Pancasila memadukan hubungan sesama manusia (hablun minannas), 
persaudaraan sesama manusia (ukhuwah basyariyah), sekaligus persaudaraan sesama 
warga negara (ukhuwah wathaniyah).

Inilah pesan yang selaras dengan konsep maqasid al-syariah (tujuan-tujuan 
syariat) yang melampaui (beyond) doktrin keagamaan demi kemaslahatan umat 
manusia. Karena, memang pada dasarnya syariat atau agama bertujuan untuk 
membangun kehidupan yang baik bagi umat manusia (rahmatan lil alamin). Hal 
inilah yang melatarbelakangi salah satu organisasi terbesar Islam di Indonesia, 
Nahdlatul Ulama bisa menerima keputusan politis Orde Baru yang mengharuskan 
organisasi-organisasi sosial dan agama menjadikan Pancasila sebagai 
satu-satunya asas. Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan 
dari upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya.

Pancasila menempatkan agama sebagai katalisator perubahan, dan kontrol terhadap 
kebijakan pemerintah yang bertentangan dengan nilai-nilai universal keagamaan. 
Agama berperan dalam dimensi moralitas serta etisnya yang membenci kekerasan, 
ketidakadilan, kemiskinan, kebodohan, dan penyangkalan terhadap hak-hak asasi 
manusia. Pancasila menyatukan perjuangan dan nilai-nilai bersama sesuai dengan 
kehendak agama.

Oleh karena itu, Pancasila harus tetap menjadi pandangan hidup dan bukan semata 
ideologi pemersatu (common platform). Pancasila merupakan "dokumen politik" dan 
harus dilihat sebagai kontrak sosial, sebuah konsensus atau persetujuan sesama 
warga negara tentang asas-asas negara. Ia adalah kerangka nilai atau cita-cita 
luhur bangsa Indonesia secara keseluruhan daripada sekadar sebuah ideologi. 
Menempatkannya sekedar sebagai ideologi berpotensi untuk mengembalikan 
masa-masa suram era Orde Baru yang menjadikannya objek kepentingan pragmatis 
kekuasaan. Alih-alih sebagai pemersatu, justru pemicu konflik internal dalam 
masyarakat yang majemuk.

Sedang Diuji

Ada kecenderungan sebagian kalangan muslim untuk selalu bernostalgia dengan 
sejarah masa lalunya. Masa-masa kejayaan Islam yang dipenuhi dengan simbol 
terus-menerus diagungkan, kendati substansi pengamalan ajarannya terpinggirkan. 
Islam tidak dihadirkan sebagai sebuah cita-cita, namun simbol yang dipenuhi 
romantisme.

Pesan-pesan moral al-Quran menjadi kerdil setelah terepresentasi secara 
politis. Pemikiran seperti ini kurang memahami relevansi dan tujuan bangunan 
syariat itu sendiri. Sebagai nilai yang tidak lekang oleh zaman (shalih li 
kulli zaman), Islam hanya bisa terwujud jika pemeluknya memegang teguh elan 
vital, spirit, atau core value ajarannya.

Kehadiran Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa meneruskan semangat ajaran 
Islam yang sejalan dengan universalitas kemanusiaan. Politik Islam adalah 
artikulasi cita-cita ideal Islam, bukan formalisasi syariat sebagaimana 
ditunjukkan dalam sejarah Islam; menekankan relevansi, bukan berarti melupakan 
sejarah. Sejarah Islam menjadi referensi sikap dan kebijakan, sementara 
cita-cita ideal merupakan tujuan bersama agama dan bangsa.

Dengan logika kemaslahatan umat, kemaslahatan bersama, kita dapat menaruh 
harapan besar pada butiran-butiran Pancasila yang mampu menjamin tegaknya agama 
(hifdl al-din), amannya jiwa (hifdl al-nafs), terpeliharanya keturunan (hifdl 
al-nasl), terjaganya harta (hifd al-mal), lurusnya akal pikiran (hifd al-'aql), 
dan lestrainya kehormatan (hifdl al-ardl). Oleh karena itu, Pancasila harus 
menjadi perisai yang memerdekakan diri, bukan instrumen eksploitatif ataupun 
momok yang setiap saat dipandang sebagai ancaman.

Sehingga pada gilirannya, wacana publik akan terhindar dari serangkaian isu dan 
polemik ideologis, semisal kebangkitan ideologi komunis dan khilafah pada 
hampir setiap peringatan Hari Lahir Pancasila menjelang. Perbincangan ideologis 
kiranya cukup ditempatkan pada latar sejarah. Selebihnya, ia adalah pandangan 
hidup yang sejatinya mewarnai pikiran kita dalam mengarungi belantara kehidupan 
berbangsa dan bernegara.

Di tengah suasana pandemi, pandangan hidup tersebut sedang diuji. Jika 
sebelumnya kelima sila Pancasila kokoh dari terjangan dan ancaman dari luar, 
maka saat ini kesaktiannya kembali membutuhkan pembuktian. Bukan di hadapan 
musuh ideologis, tapi musuh yang seringkali merenggut kepedulian untuk 
mewujudkan cita-cita kemanusiaan.

Muhammad Adlan Nawawi pengajar Program Pascasarjana PTIQ Jakarta

(mmu/mmu)





Kirim email ke