Lho, kok bisa mengembangkan alat deteksi COVID-19...Ooo, barangkali ini ecel 
alias simple, jadi masih bias terjangkau oleh otak intelektual 
Indonesia...Kalau smelter nggak bias, harus pakai insinyur Cina, atau insinyur 
Indonesia yang belajarnya paling sedikit HARUS di BELANDA., BARU BISAAA.. 
Maklumlah, oraang Indonesia itu  goblok, tidak bisa menandingi insinyur Cina  
... Makanya, seperti kata si Denny -lah, singkatnya, semuanya harus dari Cina, 
modal, TK, teknologinya yang tinggi sehingga nggak tercapai oleh insinyur 
Indonesia..... Si Denny, kecerdasannya tentu sangat mengesankan antek remo .... 
Tapi tidak bias membedakan rasisme terhadap orang tionghoa sejak zaman belanda 
sampai sekarang, dengan perlawanan terhadap modal Cina imperialis yang tak 
kalah jahanya dengan modal AS!!!! Maunya si remo, Indonesia anti-imperialis AS 
tapi kowtow sama imperialis Cina supaya bisa masuk dengan aman dan menguasai 
asset di Indonesia... 

Sent from Mail for Windows 10

From: 'j.gedearka' j.gedea...@upcmail.nl [GELORA45]
Sent: Thursday, 25 June 2020 17:37
To: GELORA45@yahoogroups.com; Sahala Silalahi
Subject: [GELORA45] Dosen UGM mengembangkan alat deteksi COVID-19 
berteknologiradiografi digital

  


-- 
j.gedearka <j.gedea...@upcmail.nl>

https://jogja.antaranews.com/berita/433560/dosen-ugm-mengembangkan-alat-deteksi-covid-19-berteknologi-radiografi-digital

Dosen UGM mengembangkan alat deteksi COVID-19 berteknologi radiografi digital

Kamis, 25 Juni 2020 22:22 WIB

Alat pendeteksi COVID-19 dengan teknologi radiografi digital yang dikembangkan 
dosen Prodi Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas 
Gadjah Mada Bayu Suparta. ANTARA/HO-Humas UGM
Yogyakarta (ANTARA) - Dosen Program Studi Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu 
Pengetahuan Alam Universitas Gadjah Mada Bayu Suparta mengembangkan alat 
pendeteksi COVID-19 dengan teknologi radiografi digital.

"Alat radiografi digital bisa membuktikan terkena virus atau tidak jika dilihat 
dari struktur paru-parunya. Bila terkena virus corona maka paru-parunya menjadi 
rusak. Intinya lewat radiografi, signifikansinya sampai 95 persen," kata Bayu 
Suparta melalui keterangan tertulis di Yogyakarta, Kamis.

Menurut Bayu, tidak semua rumah sakit memiliki alat radiografi digital. Dari 
3.000-an rumah sakit di Indonesia, selama ini hanya rumah sakit tipe A yang 
mendapat bantuan alat ini dari pemerintah.

"Bisa diprediksi alat radiografi digital sangat sedikit sehingga menjadi 
motivasi besar saya sejak lama melakukan riset alat radiografi digital dengan 
harga bisa dijangkau," kata dia.

Hingga saat ini, kata Bayu, sudah ada tiga alat radiografi digital buatannya 
yang sudah diproduksi untuk keperluan mendapatkan izin produksi, izin edar, dan 
uji coba ke pengguna.

Menggunakan merek Madeena atau Made in Ina (Indonesia), alat ini sudah dipakai 
di rumah sakit Tabanan Bali. Selanjutnya dua alat yang lain digunakan sebagai 
syarat tahapan proses mendapatkan izin produksi massal.

"Soal hilirisasi dan komersial sepenuhnya saya serahkan ke pemerintah dan 
stakeholder bidang kesehatan. Kita sudah mengajukan izin produksi dan izin 
edar. Apalagi, Presiden sudah meminta untuk produk inovasi monitoring COVID 
dipermudah izinnya," kata dia.

Soal kemampuan deteksi COVID-19, Bayu berkeyakinan alat buatannya sangat mampu 
menentukan dan mengidentifikasi untuk prognosis pasien yang terkena COVID. 
Bahkan, dalam operasional alat tersebut menurutnya sangat adaptif dengan 
teknologi 4.0 dan aman bagi pasien dan tenaga medis.

"Sangat aman bagi pasien karena dosis radiasi dibuat serendah mungkin. Alat ini 
dikontrol dengan komputer, lalu sinar X memancarkan ke tubuh pasien, terusan 
radiasi ditangkap detektor dan dihubungkan ke layar monitor, lalu diolah 
radiografer diberikan ke tenaga fisika medik. Setelah itu, akan transfer ke 
dokter secara digital sesuai permintaan," katanya.
Pewarta : Luqman Hakim 
Editor: Bambang Sutopo Hadi
COPYRIGHT © ANTARA 2020


Kirim email ke