-- 
j.gedearka <j.gedea...@upcmail.nl>

https://www.antaranews.com/berita/1626326/pertanian-tanpa-bakar-masuk-pembangunan-rendah-karbon-indonesia





Pertanian tanpa bakar masuk Pembangunan Rendah Karbon Indonesia

Rabu, 22 Juli 2020 17:18 WIB

Salah satu petani di Kelurahan Pelalawan memanfaatkan hand tractor untuk 
mengolah lahan pertanian di desanya. Dengan alat ini, warga dapat membuka lahan 
tanpa bakar. (ANTARA)
moratorium perizinan di lahan gambut sangat penting dilakukan
Jakarta (ANTARA) - Pertanian berkelanjutan dengan cara pembukaan lahan tanpa 
bakar menjadi salah satu dari lima aspek besar target penurunan emisi Gas Rumah 
Kaca melalui perencanaan Pembangunan Rendah Karbon Indonesia.

Staf Direktorat Lingkungan Hidup Kementerian PPN/Bappenas Irfan Darliazi dalam 
Low Carbon Development Indonesia (LCDI) Talks Webinar Goes to Campus di 
Jakarta, Rabu, mengatakan pertanian yang masuk dalam aspek lahan dan hutan 
dalam target penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) di dokumen kontribusi yang 
ditentukan secara national (Nationally Determined Contibution/NDC) sesungguhnya 
dibutuhkan untuk pemenuhan pangan masyarakat.

Namun demikian, ia mengatakan dibutuhkan pertanian yang berkelanjutan agar 
target penurunan emisi GRK tadi dapat tercapai. Intensifikasi pertanian 
didorong sehingga meminimalisir perluasan lahan, tetapi lebih mengupayakan 
peningkatan produktivitas.

Pemanfaatan pupuk organik diperlukan, selain juga penerapan pertanian 
berkelanjutan dengan cara pembukaan lahan tanpa bakar (PLTB) guna mencegah 
terjadinya kebakaran hutan dan lahan (karhutla), ujar Irfan.

"Potensi lepasnya emisi karbon dari hutan dan gambut juga mendapat perhatian. 
Sehingga moratorium perizinan di lahan gambut sangat penting dilakukan 
mengingat kawasan tersebut merupakan ekosistem khas, dan jika terbakar 
berdampak pada lepasnya emisi karbon dalam jumlah besar," katanya.

Baca juga: Pemerintah kerja keras capai penurunan emisi gas rumah kaca 26 persen

Baca juga: Kebakaran hutan berlanjut, KLHK sebut emisi GRK masih lebih rendah

Namun demikian, ia mengatakan kawasan tersebut juga memiliki potensi 
pengembangan ekonomi masyarakat melalui pelaksanaan “3R”, yakni pembasahan, 
revegetasi, revitalisasi sumber mata pencaharian (rewetting, revegetation, 
revitalization livelihood). Cara itu disebutkan tidak hanya berdampak baik bagi 
ekosistem tetapi juga peningkatan ekonomi masyarakat.

Pakar Perencanaan Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim Universitas Indonesia 
Hendricus Andy Simarmata mengatakan, terkait dengan masyarakat lokal yang 
menggunakan cara membakar untuk membuka lahan pertanian memang perlu hati-hati.

Ia mengatakan masyarakat lokal yang saat ini ada kemungkinan sudah generasi 
ke-3, sehingga eksposur penggunaan teknologi modern sangat terbuka lebar. 
Karena itu perlu diperhatikan pula jika seandainya pemanfaatan lahannya juga 
sudah berubah.

Masyarakat Suku Dayak, menurut Andi, memang memiliki aturan sendiri berapa 
luasan dan teknik pembakaran untuk pembukaan lahan pertanian atau berkebun. 
Namun tidak terdokumentasi dan hanya verbal saja.

“Sehingga jika ada deviasi itu wajar pada skala itu seharusnya,” ujar Andi.

Karenanya, pertama, Andi menyarankan ilmu pengetahuan dan teknologi pertanian 
masyarakat lokal perlu diriset dan didokumentasikan untuk program pemerintah 
selanjutnya. Kedua, perlu sistem monitoring yang diperluas, terutama monitoring 
titik panas karena sudah banyak citra satelit yang mampu menangkapnya di 
bentangan alam yang sangat luas.

Baca juga: BRG: Pembukaan lahan tanpa bakar solusi cegah karhutla

Baca juga: Warga Kapuas Kalteng bertani di lahan gambut tanpa bakar

Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Zita Meirina
COPYRIGHT © ANTARA 2020







Kirim email ke