Resensi Buku:
Analisa Materialisme Sejarah Tentang G30S 1965
Jumat, 13 November 2015 | 8:53 WIB2 Komentar| 1625 Views
*Saddam SSD. Cahyo,*/Penikmat buku dan pernah aktif di//Liga Mahasiswa
Nasional untuk Demokrasi (//LMND//)//Eksekutif Wilayah Lampung./
SOeharto
DATA BUKU Judul : MATERIALISME SEJARAH PERISTIWA GERAKAN 30 SEPTEMBER
1965 Penulis : Harsa Permata Penerbit : Yogyakarta, Elpueblo Tritama
Mandiri, 2015 Halaman : v + 95; 15 x 20 cm ISBN : 978-602-14327-5-4
<http://www.berdikarionline.com/cdn/2015/11/Cover-buku.jpg>*Dalam acara
bedah buku***/*Ketika Sejarah Berseragam*/***di kampus Universitas
Lampung, Rabu 30 September 2015 lalu, saya termenung mendengar
pernyataan seorang pembicaranya, Soeyanto,Ph.D. Kurang lebih
begini:***/*“Sebenarnya saya sudah lelah menjelaskan peristiwa G30S,
saking terlalu kentalnya pembodohan Orde Baru, capek menjelaskan pada
banyak orang dableg yang cuma mau mendengar kisah versi negara dan
kakek-neneknya yang kepalang anti PKI karena cari selamat. Makanya
sekarang ini memang tak tepat kalau pemerintah RI terburu-buru minta
maaf pada korban penumpasan PKI oleh Soeharto Cs yang brutal itu, karena
sebaiknya yang diutamakan itu memperbanyak dulu kebenaran di dalam
buku-buku sejarah kita yang penuh kebohongan.”*/
/DATA BUKU
Judul : MATERIALISME SEJARAH PERISTIWA GERAKAN 30 SEPTEMBER 1965
Penulis : Harsa Permata
Penerbit : Yogyakarta, Elpueblo Tritama Mandiri, 2015
Halaman : v + 95; 15 x 20 cm
ISBN : 978-602-14327-5-4/
Sedikit banyak saya bersepakat dengan pendapat itu, dan beruntungnya
gayung pun bersambut. Sepulang acara, saya mendapat informasi terbitnya
sebuah buku baru yang temanya masih sama, ya seputar peristiwa sejarah
Gerakan 30 September 1965 itu lagi. Mungkin bagi sebagian orang yang
mengikuti tema ini dengan antusias pada awalnya, kini juga mulai merasa
lelah dan putus asa, saking melulu dimentahkannya semua upaya pelurusan
sejarah oleh negara dan aparaturnya, juga oleh sebagian besar
masyarakatnya yang/ngotot/mempertahankan pembodohan.
Ironi memang, bagaimana bangsa ini bisa bangkit dan berjaya jika
kejujuran pada sejarah pun sama sekali tidak mau diupayakan. Kembali ke
perkara buku yang baru terbit tadi, penulisnya adalah Harsa Permata,
seorang dosen filsafat yang juga pernah ikut berenang dalam lautan
pergerakan mahasiswa era awal Reformasi. Bukunya ini tidak lain
daripada hasil penelitian tesis pascasarjananya di jurusan filsafat
Universitas Gadjah Mada tahun 2013 yang lalu.
*Sebuah Analisa Filsafat Sejarah*
Buku setebal 95 halaman ini mungkin terbilang tipis penampakannya, tapi
setelah dibaca, ketebalan kualitasnya sangat terasa. Sebagaimana
dijelaskan oleh penulisnya dalam pengantar, buku ini tidak berusaha
menemukan fakta-fakta baru terkait peristiwa berdarah itu, ia berfokus
pada penggunaan filsafat materialisme dialektika historis (MDH) ala
Marxisme sebagai pisau analisa untuk membedah dan menemukan
simpulan-simpulan baru. Ini juga merupakan jawaban atas tantangan Max R.
Lane, seorang Indonesianis yang dalam orasi ilmiahnya di tahun 2012
menyebut belum ada satu pun evaluasi sejarah G30S dari perspektif
Marxisme (Hal. iii).
Logika kunci buku ini adalah pernyataan eksplisit Marx dan Engels dalam
naskah legendarisnya yang berjudul Manifesto Komunis di abad ke-19,
bahwa sejarah adalah perjuangan kelas. Sejarah tak hanya berkisah
tentang para tokohnya, melainkan berisikan proses konflik yang terus
menerus dari kelas sosial tertindas melawan kelas sosial penindasnya.
Sementara penindasan dan ketertindasan itu sendiri bersifat material
bagi filsafat Marxisme. Pergerakan materi itu sendiri bersifat
dialektis, yang tak lain dilandasi oleh kontradiksi atau pertentangan
unsur-unsur yang ada di dalamnya. (Hal. 7-8).
Marxisme memandang bahwa segala perubahan sosial terwujud karena
kontradiksi internal suatu masyarakat itu sendiri, yakni antara tenaga
produktif dengan hubungan produktif dalam corak produksi yang dianutnya.
Atau antara kelas sosial satu dengan yang lainnya, antara kontradiksi
yang baru dengan yang lama, dan sebagainya. Hukum dialektikanya adalah:
1) Perubahan kuantitas menuju kualitas; 2) Interpenetrasi/
kesalingpengaruhan antar pihak yang berlawanan/ A=Non-A; 3) Negasi dari
negasi (Hal. 14-15).
Mengutip Mao Tse Tung, penulis menyebut dalam proses perkembangan
kenyataan, terdapat banyak sekali kontradiksi. Namun, hanya terdapat
satu kontradiksi yang paling pokok, ialah yang paling mendesak karena
menentukan atau mempengaruhi keberadaan kontradiksi yang lainnya.
Semisal dalam masyarakat kapitalisme, kontradiksi pokoknya adalah antara
borjuasi dan proletariat, sementara yang lainnya bersifat determinan
(Hal. 17).
Filsafat Marxisme mengikuti pemikiran Hegel dalam memandang proses
dialektika sejarah, layaknya spiral yang terus bergerak ke taraf yang
lebih tinggi dari sebelumnya. Proses itu mengalami tiga tahapan utama,
yakni tesis, yang segera menemui anti-tesis sebagai lawannya, dan
kontradiksi dari keduanya memunculkan suatu perdamaian dalam rupa
sintesis (Hal.63).
*Catatan Sejarah G30S 1965*
Keunggulan buku ini juga terletak pada Bab III nya yang meringkas
berbagai versi catatan dan analisa sejarah peristiwa kontroversial G30S
1965 yang selama ini telah banyak dikaji, hingga bagi pelajar pemula
akan lebih mudah mendapatkan gambarannya ketimbang membaca sendiri dari
literatur-literatur aslinya yang tebal dan mulai langka di pasaran.
Setidaknya tercatat ada enam versi yang memiliki dasar logikanya
masing-masing.
Ø*Pertama*, adalah versi Orde Baru (Hal.21-25), dalam versi ini pun
ternyata ada dua otoritas sejarah di dalamnya, yakni menurut pandangan
Soeharto dan menurut TNI/ABRI, namun keduanya memiliki kesamaan
pandangan bahwa PKI secara organisasional adalah pihak yang paling
mutlak bersalah sebagai pelaku tunggal yang bertanggung jawab atas
tewasnya enam jenderal Angkatan Darat, sehingga rezim ini resmi menamai
persitiwa sejarah itu dengan akronim stigmatif, G30S/PKI 1965.
Soeharto dalam biografi/Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya/(1989)
mengatakan bahwa keterlibatan PKI sebagai dalang peristiwa G30S 1965
berdasar pada peranan sentral Letkol Untung, yang dalam ingatannya sejak
awal kemerdekaan Untung adalah anak didik Alimin, salah satu tokoh PKI.
Sedangkan TNI/ABRI sebagaimana tertulis dalam buku/Bahaya Laten
Komunisme di Indonesia///(1995) memandang D.N. Aidit sebagai ketua CC
PKI lah figur sentral atau pimpinan tertinggi gerakan ini. Dalam
tugasnya ia dibantu oleh Iskandar Subekti, Pono, Kusno, Mayor Udara
Sujono, dan bermarkas di lapangan udara Halim Perdana Kusumah dari
tanggal 30 September malam sampai 1 Oktober dini hari.
Rezim Orde Baru meyakini G30S 1965 adalah sebuah gerakan ideologis yang
sistematis, bahwa PKI bertujuan mengubah negara Indonesia yang berhaluan
Pancasila menjadi negara komunis dan mengikuti tujuan internasionalnya
Uni Soviet. Pembunuhan para jenderal yang disebut Dewan Jenderal
bertujuan memudahkan pembentukan Dewan Revolusi yang akan dimanfaatkan
untuk menciptakan berbagai perubahan, dan berujung pada naiknya PKI ke
puncak kekuasaan di Indonesia.
Ø*Kedua*, adalah versi Ben Anderson dan Ruth T. McVey (Hal. 25-28).
Analisis keduanya terangkum dalam buku berjudul/A Preliminary Analysis
of the October 1, 1965 Coup in Indonesia/(2009) atau kerap disebut
sebagai Cornell Paper, yang fokusnya berangkat dari Divisi Diponegoro di
Jawa Tengah sebagai wahana bersama tumbuhnya beberapa tokoh kunci dalam
peristiwa ini.
Mereka berpandangan bahwa PKI tidak terlibat dalam peristiwa G30S 1965,
sebaliknya ini merupakan pemberontakan para perwira muda yang berasal
dari divisi ini, tampak dari komposisi tim intinya seperti Latief,
Untung, Supardjo, dan Sujono sekalipun saat peristiwa berlangsung mereka
sudah tidak bertugas di teritori itu.
Alasan pmberontakan mereka terutama dilandasi oleh idealism, yang
tergambarkan dari: 1) Ketidak puasan terhadap Staf Umum dan pimpinan
militer di Jakarta yang bergelimang kemewahan dan korup; 2) Perang
dingin antara Soekarno dan para jenderal yang diketahui sering kontak
dengan CIA, membuat mereka meragukan patriotism pimpinannya dan
mewaspadai kemungkinan kudeta oleh apa yang marak diisukan sebagai Dewan
Jenderal; 3) Kemungkinan juga para perwira muda ini ingin mengembalikan
semangat revolusioner 1945 dalam sistem politik Indonesia.
Ø*Ketiga*, adalah versi Harold Crouch (Hal.29-33). Dalam bukunya/The
Army and Politics in Indonesia/(2007) menyebut bahwa ada indikasi yang
meskipun masih samar, bahwa PKI terlibat dalam G30S 1965. Kehadiran
Aidit di Bandara Halim pada 1 Oktober adalah salah satu indikasinya,
kemudian dukungan dari Gerwani dan Pemuda Rakyat terhadap gerakan ini,
dan juga dari editorial Harian Rakjat yang terbit berisikan pujian
terhadap G30S. Crouch juga menganggap pengakuan Njoto, salah satu
pimpinan PKI di Harian Angkatan Bersenjata yang dipublikasikan oleh pers
Jepang Februari 1966.
Crouch juga meyakini bahwa PKI bukanlah dalang peristiwa ini. Pasalnya
sama sekali tidak ada bukti bahwa para perwira pelakunya itu adalah agen
PKI. Mereka semua bertindak bukan atas perintah Sjam (agen PKI) dan
lebih karena kehendak sendiri. Baginya, PKI memang punya alasan logis
untuk menyatakan dukungan pada G30S 1965, yakni karena ketakutannya atas
potensi kudeta Dewan Jenderal terhadap pemerintahan Soekarno, yang
diyakini akan membawa bencana bagi mereka. Namun, PKI tidaklah memiliki
sumber daya yang memadai untuk melawan kekuatan militer dalam
konfrontasi langsung.
PKI lebih memilih solusi kup dalam bentuk konflik internal angkatan
bersenjata hingga keterlibatannya tidak kentara. Ini diperkuat oleh
pernyataan Njoto yang mendukung para perwira progresif pelaksana G30S
dengan merencanakan pelatihan militer bagi anggota ormas hingga terlatih
menjadi pasukan cadangan yang siap menopang. Namun, Njoto membantah jika
PKI terlibat secara organisasional, pendapat ini juga senada dengan
pimpinan PKI lainnya seperti Sudisma dan Paris Pardede.
Namun, kesaksian Sjam Kamaruzaman paling berbeda, ia mengaku dipanggil
Aidit pada 12 Agustus ke rumahnya untuk mendiskusikan memburuknya
kesehatan Soekarno dan langkah yang kemungkinan akan diambil oleh Dewan
Jenderal. Informasi tentang ini diakuinya diperoleh dari Sakirman,
seorang Politbiro PKI yang juga kakak dari Mayjend S. Parman. Pertemuan
itu mengerucut pada rencana penyusunan kekuatan dan sebuah gerakan.
Esoknya Sjam bersama anggota Biro Khusus lain memutuskan mendekati
perwira yang bersimpati, yakni Kolonel Latief dari brigade infanteri,
Letkol Untung dari batalyon Cakrabirawa, dan Mayor Sujono komandan
pertahanan udara Halim.
Dengan demikian Crouch menyimpulkan bahwa G30S 1965 merupakan
persekutuan rahasia yang setara antara para perwira progresif dengan
biri khusus PKI. Keterlibatan PKI hanya tersinyalir sebagai konspirator,
bukan eksekutor dan bahkan tak punya kuasa instruktif karena jelasa
bahwa para perwira progresif itu memiliki tujuannya sendiri.
Ø*Keempat*, adalah versi W.F. Wertheim (Hal. 33-35). Dengan gamblang
menyebut para perwira pimpinan G 30 S 1965 adalah kenalan dekat Jenderal
Soeharto sendiri. Untung adalah bawahannya saat menjadi komandan Divisi
Diponegoro Jawa Tengah, pun Latief yang bahkan juga pernah semarkas di
perang perebutan Irian Barat. Sedangkan Supardjo adalah bawahannya saat
menjabat komandan Divisi Mandala Siaga di Kalimantan.
Selain itu, aneh rasanya bahwa Soeharto tidaklah masuk dalam daftar
Jenderal yang menjadi target penculikan. Ia bahkan bisa leluasa bergerak
di Jakarta saat malam berlangsungnya operasi militer itu. Ia juga bisa
dengan sangat mudah, cepat, dan detail meringkus gerakan ini, padahal
para perwira lainnya yang berada di Jakarta tidak paham harus mengambil
tindakan apa saat itu.
Wertheim bahkan meyakini bahwa Sjam sesungguhnya adalah intel tentara
yang ditugaskan menyusup ke dalam PKI, dengan tujuan provokasi agar PKI
terlibat dalam sebuah aksi yang memang direncanakan untuk gagal
tersebut. Asumsi ini dikarenakan sikap kooperatif Sjam terhadap militer
selama masa interogasi, ia tidak disiksa dan malah mendapat perlakuan
istimewa dari para interrogator. Dengan demikian menurut Wertheim, G30S
1965 adalah konspirasi besar yang diotaki langsung oleh Soeharto.
Ø*Kelima*, adalah versi John Roosa (Hal. 35-41). Analisanya di
buku/Dalih Pembunuhan Massal, Gerakan 30 September dan Kudeta
Soeharto/(2008) meniadakan konsep “dalang” dalam peristiwa G30S 1965
karena ia bukanlah sebuah aksi yang direncanakan oleh seseorang maupun
sekelompok. Sebelum meletusnya peristiwa itu perpolitikan Indonesia
dilatari oleh tiga kekuatan utama: 1) PKI yang punya basis politik sipil
yang dominan; 2) TNI AD yang punya ratusan ribu prajurit bersenjata; 3)
Soekarno yang berada di tengah kedua kubu yang saling bertentangan itu.
Sokearno memainkan politik keseimbangan untuk melanggengkan kekuasannya.
Namun, memang dalam beberapa waktu terakhir keseimbangan Soekarno mulai
berantakan karena kcondongannya pada PKI. Sebenarnya saat itu ia sedang
sangat membutuhkan PKI dan kekuatan massanya untuk menaikkan posisi
tawar terhadap Angkatan Darat. Sementara PKI sendiri sesungguhnya merasa
tidak puas dengan kondisi politik pemerintahan Soekarno. Terutama fakta
bahwa PKI tidak mendapatkan jatah kursi menteri yang penting dan
memiliki anggaran besar. Sebaliknya kekuatan politik yang anti PKI
justru tetap leluasa menjabat dan mulai mengkonsolidasikan kekuatan.
Lalu beredarlah desas-desus yang bersumber dari dugaan bocornya sebuah
telegram Duta Besar Inggris yang menyebut keberadaan sekelompok jenderal
sayap kanan di bawah pimpinan Ahmad Yani sedang mempersiapkan satu aksi
konspiratif terhadap pemerintah Indonesia. Ini membuat Aidit harus
menimbang dua pilihan sikap, yaitu didahului atau mendahului. Maka Aidit
meminta Sjam dan jaringan Biro Khususnya untuk mengajak para perwira
progresif untuk bertindak melawan Dewan Jenderal. Tapi karena tak ada
kepastian rencana, Sjam memimpin sendiri aksi itu, dan inilah yang
melatari mengapa hanya ada segelintir perwira saja yang bersepakat terlibat.
Celakanya, terjadi banyak keraguan atas kelemahan rencana yang telah
disusun itu. Sjam yang tak ingin mengecewakan Aidit bersikeras untuk
tetap melaksanakannya karena yakin terhadap kekuatan pendukung Soekarno
dan massa PKI yang dominan saat itu. Tetapi ketidakrapihan rencana dan
ketidakjelasan rantai komando dalam aksi itu menimbulkan banyak
kegagalan saat dilancarkan, yakni ternyata mereka tak bisa menculik para
jenderal tersebut dalam keadaan hidup. Awalnya mereka hanya ingin
menghadapkan mereka secara paksa kepada Soekarno.
Ditambah, ternyata Soekarno pun tidak mau mendukung aksi sepihak ini,
terutama setelah ia mengetahui bahwa para jenderal yang diculik sudah
tewas. Kepada Supardjo yang sempat menghadap, Soekarno memerintahkan
untuk segera menghentikan aksi ini dan para perwira itu pun segera
menyetujuinya. Namun Sjam dan Aidit justru memutuskan untuk
melanjutkannya tanpa persetujuan Soekarno, dengan menyerukan dibentuknya
Dewan-Dewan Revolusi melalui siaran radio.
Gagal meyakinkan para perwira progresif yang peragu, Sjam dan Aidit
dengan prinsip kepeloporannya akhirnya merubah rencana semula yang ingin
melindungi pemerintahan Soekarno yang sedang di ujung tanduk, menjadi
berbalik untuk menggantikannya. Landasan ilmiah Aidit adalah pengalaman
kudeta militer di Aljazair bersifat progresif yang dipimpin oleh Kolonel
Boumedienne terhadap pemerintahan Ben Bella, dan mendapat dukungan
rakyat. Karenanya Aidit memandang jika kudeta militer didukung oleh 30%
rakyat, maka bisa diubah sekaligus dimajukan menjadi revolusi rakyat.
Ø*Keenam*, adalah versi Rex Mortimer (Hal. 42-46). Lebih jauh lagi,
analisanya dalam buku/Indonesian Communism Under Sukarno, Ideology and
Politics 1959-1965/(2006) menyebut bahwa G30S 1965 adalah sebuah hasil
manipulasi terhadap pimpinan PKI oleh lawan politiknya. Alasanya: Satu,
transkrip rekaman interograsi dan pengumpulan bukti terkait plot
peristiwa yang disusun oleh Nugroho Notosusanto dari pihak TNI/ABRI,
tertulis tujuan PKI bukan untuk merebut kekuasaan politik, melainkan
mencegah pelenyapan PKI oleh TNI AD pasca wafatnya Soekarno yang sedang
sakit keras. Namun transkrip ini tak pernah dipublikasikan karena
perbedaannya yang signifikan dengan versi resmi AD; dua, persidangan
para pelaku yang tidak adil, eksekusi mati tanpa proses pengadilan
terhadap pimpinan PKI, serta tudingan-tudingan ambigu tanpa bukti bahwa
PKI lah yang merekayasa isu Dewan Jenderal; tiga, pendapat AD bahwa
pelatihan sukarelawan PKI di Halim terkait dengan G30S. Padahal
komposisi sukarelawan yang mendapat pelatihan semi-militer di sana tak
hanya dari PKI, melainkan juga Pemuda Marhaenis, Perti, Pertindo, GP
Anshor juga telah dijadwalkan; empat, isi pengumuman G30S pada 1 Oktober
pagi hari berbeda dengan sikap politik PKI dan pemerintahan Soekarno,
yakni seruan untuk mempertahankan kebijakan luar negeri yang bebas
aktif, padahal saat itu PKI dan Soekarno sedang gencar mendukung NEFOS,
RRC, dan Konfrontasi atas Malaysia; lima, komposisi Dewan Revolusi
justru diisi oleh tokoh yang berseberangan dengan PKI, ada 19 dari 45
tokoh; enam, tuduhan yang mengaitkan empat perwira pimpinan G30S dengan
organisasi PKI adalah keliru. Semisal yang menyebut bahwa Untung pernah
terlibat dalam pemberontakan Madiun 1948, padahal saat itu ia masih buta
politik dan jadi pengikut setia komandannya yang anti komunis. Supardjo
yang cemerlang karir militernya itu adalah loyalis Soekarno yang tegas
anti PKI. Pun dengan Latief yang jabatan strukturalnya cukup vital
sebagai salah satu komandan di Jakarta, tentu telah melalui seleksi
ketat di tubuh TNI AD yang anti PKI; tujuh, keterkaitan Sjam dengan TNI
diketahui bahwa ia telah bekerja sebagai informan Seksi I (Intelejen)
Resimen Jakarta Raya sejak tahun 1955.
Penulis buku ini menambahkan bahwa sejak sebelum peristiwa G30S 1965,
Militer khususnya TNI AD sebenarnya sudah sangat kesal dan ingin
menggulingkan Soekarno dan mendelegitimasi PKI, namun popularitas
Soekarno dan besarnya massa PKI telah memaksa TNI bersikap menunggu
pihak mana yang bertindak agresif lebih dulu. Peristiwa G30S itu sendiri
hanyalah dalih bagi TNI yang dipimpin Soeharto untuk bisa mengambil
langkah pembasmian terbuka PKI dan pembungkaman Soekarno.
Pasalnya, sikap tanggap TNI untuk membasmi G30S justru dipelintir
menjadi pembasmian sistematis terhadap massa dan organisasi PKI, bahkan
gerakan kiri pada umumnya. Akademisi Barat mencatat ada sekitar 500 ribu
sampai 1 juta orang rakyat Indonesia yang dibunuh dalam operasi
penumpasan itu. Bahkan dalam pengakuan Sarwo Edhie Wibowo sebagai
komandan RPKAD yang memimpin eksekusi massal itu mencapai 3 juta nyawa
melayang dicabut paksa.
Tanggal 11 Maret 1966, melalui dokumen yang di sebut Supersemar, TNI dan
Soehartonya berhasil mendapatkan legitimasi penuh untuk mengambil alih
kekuasaan. Lalu dimulailah babak baru sejarah bangsa Indonesia sebagai
negara yang terbuka pada investasi modal asing, yang ditandai oleh
terbitnya Undang-Undang Penanaman Modal serta dicaploknya wilayah
pegunungan Papua yang kaya akan mineral tambang oleh PT Freeport dari
Amerika Serikat.
*Latar Historis Peristiwa*
Dalam perspektif Marxisme, peristiwa G30S 1965 tidaklah terjadi begitu
saja tanpa dilatari kondisi ekonomi politik tertentu. Ditinjau sejak
Revolusi Agustus 1945 adalah perjuangan awal untuk memperoleh
kemerdekaan bangsa. Baru di tahun 1949 pasca Konferensi Meja Bundar lah
kemerdekaan politik kita tercapai. Sementara kemerdekaan ekonomi baru
diperoleh tahun 1957, yang ditandai oleh terbitnya program nasionalisasi
perusahaan-perusahaan milik colonial Belanda, dan sekitar 46.000 orang
dideportasi ke negeri asalnya.
Sayangnya, pengelolaan semua perusahaan yang telah dinasionalisasi itu
diserahkan ke tangan para perwira militer (TNI AD), inilah yang kemudian
hari menguatkan posisi militer dalam perpolitikan Indonesia. Dominasi
kelompok militer dalam perekonomian inilah yang memicu lahirnya kelas
sosial baru dalam masyarakat kita, yakni borjuis militer (Hal. 53).
Bahkan penerbitan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah solusi yang
dikehendaki kelompok militer yang ingin mendapat jaminan atas kenyamanan
posisinya. Dekrit ini berisikan pembubaran Dewan Konstituante (pelemahan
terhadap parlemen sipil/ wakil parpol) dan menetapkan kembalinya ke UUD
1945 yang sangat memperkuat posisi presiden dalam pemerintahan (Hal.54).
Menguatnya pengaruh dan posisi militer dalam pemerintahan sipil itu
ditandingi oleh besarnya dukungan rakyat bawah kepada PKI. Tampak dari
perolehan suara pada Pemilu 1955 sebesar 6.176.914 dan berhak atas 39
kursi di parlemen. Terjalin juga simbiosis mutualisme, PKI merupakan
pendukung setia ide-ide nasionalisme radikal Soekarno, yang digunakannya
untuk meningkatkan daya tawar terhadap militer.
Sebenarnya, kelompok militer sudah pernah melakukan upaya nyata
mengguncang pemerintahan (Hal. 56-58). Tanggal 17 Oktober 1952, TNI AD
di bawah kepemimpinan Nasution memobilisasi massa dengan dikawal tank
dan berbagai artileri untuk memaksa Soekarno membubarkan parlemen. Namun
meski Soekarno sendiri kurang menyenangi gaya berpolitik para politikus
di parlemen, ia menolak tuntutan itu karena keteguhannya untuk tidak
tampak mudah ditekan. Tanggal 15 Februari 1958, faksi militer sayap
kanan yang di dukung AS melancarkan pemberontakan PRRI di Sumatera
Barat, yang segera dilibas karena ternyata ada banyak perwira militer
yang juga loyalis Soekarno. Kegagalan itulah yang membuat mereka sadar
bahwa konfrontasi langsung terhadap Soekarno tidaklah akan menuai
dukungan rakyat.
Tahun 1961 hingga 1964, perekonomian nasional mengalami hiper-inflasi
yang memicu peningkatan radikalisme rakyat. PKI secara jeli berhasil
mengelola momentum ini hingga pertambahan anggotanya begitu pesat,
Ricklefs mencatat di bulan Agustus 1965 setidaknya ada 27 juta orang.
PKI melancarkan aksi kampanye anti-regulasi IMF yang menjerat itu,
hingga akhirnya Soekarno pun berani lantang memilih jalan berat ekonomi
berdikari tanpa belas kasihan asing. PKI juga menggencarkan aksi di
pedesaan untuk mendorong ditegakkannya program/land reform/yang sesuai
dengan amanat UU Pokok Agararia tahun 1960. Unjuk kekuatan PKI berlanjut
hingga ia mengusulkan pada Presiden untuk membentuk Angkatan Kelima
sebagai persiapan menghadapi potensi serangan militer Inggris, sebagai
konsekuensi kebijakan konfrontasi terhadap Malaysia. Bahkan juga
mendorong program NASAKOM-isasi di tubuh Angkatan Bersenjata (Hal. 59-62).
*Tinjauan Marxisme Atas G30S 1965*
Buku ini juga menyebut masyarakat Indonesia di masa pemerintahan
Soekarno tak lain daripada masyarakat kapitalis, meskipun masih jauh
dari sempurna sebagaimana perspektif Barat. Kontradiksi pokok saat itu
dalam perspektif Marxisnya adalah juga pertentangan kaum borjuis yang
diwakili oleh Militer, yang telah begitu jauh menguasai perekonomian
nasional. Sementara kaum proletar yang menjadi lawannya diwakili oleh
PKI dengan massa buruh dan taninya yang telah banyak dirugikan.
Dalam proses dialektika sejarah masyarakat Indonesia di masa
pemerintahan Soekarno, yang menjadi tesis, adalah kelas proletariat yang
mewujud dalam kelompok politik PKI. Kemudian yang menjadi antitesisnya,
adalah kelas borjuis yang mewujud dalam kelompok militer. Kemudian yang
pada akhirnya menjadi sintesis, adalah naiknya Jenderal Soeharto ke
puncak kekuasaan, sekaligus menjadi tonggak awal berdirinya rezim Orde
Baru yang tunduk pada interupsi kapitalisme global (Hal.63-64).
Tentu ini berbeda dengan postulat Marxisme bahwa kontradiksi kelas
antara borjuis dan proletariat akan menghasilkan masyarakat tanpa kelas
atau komunisme. Pasalnya, kapitalisme Indonesia di masa itu sama sekali
belum matang tahapannya, tampak dari suprastruktur atau sistem
politiknya yang meniadakan pemilu sebagai perwujudan demokrasi.
Sekuat apapun kehendak Soekarno yang memainkan politik keseimbangan di
antara dua kepentingan kelas sosial yang saling berkontradiksi itu, pada
akhirnya konflik tetap menajam dan bahkan meledakkan darah yang tak
sedikit di dalam bangsa kita sendiri. Naiknya Soeharto dan rezim
militeristiknya inilah yang dipandang sebagai proses penyempurnaan
sistem kapitalisme dalam masyarakat kita.
Secara jernih pula seharusnya kita bisa mengevaluasi bahwa membicarakan
peristiwa sejarah G30S 1965 tidak melulu harus mengangkat kisah tragis,
pedih, dan pilu yang dialami para korban, dari pihak manapun. Kepada
gerakan kiri di Indonesia pada umumnya, plot sejarah ini sesungguhnya
menyerukan agar kita tetap gigih memperjuangkan terwujudnya cita-cita
masyarakat Indonesia yang adil dan makmur dalam sistem hidup sosialisme.
Agar kita sudi mengoreksi diri demi mengembangkannya, dengan jalan
mempelajari kegagalan generasi pendahulu.
*Kelelahan Yang Harus Dilawan*
Tentu saja buku ini tidak bersih dari penilaian plus-minus yang patut
dicatat dan diperhatikan oleh setiap pembacanya, setidaknya dari aspek
teknis redaksional: Pertama, penerbitan naskah ini menjadi buku terkesan
agak buru-buru. Tampak dari kurang telitinya editor dalam memperhatikan
susunan kata yang masih cukup banyak kesalahan pengetikannya. Seperti
penggunaan tanda strip (-) sebagai penghubung kata yang ditempatkan
tidak semestinya, dan lain sebagainya. Kecerobohan editing paling fatal
adalah penulisan nama Njoto (salah satu pimpinan PKI) yang kerap
dimunculkan malah tertulis sebagai “Njono”.
Kedua, sebagai sebuah naskah yang awalnya ditulis untuk kepentingan
akademis, tentu saja perlu dilakukan dulu penyesuaian ketika diputuskan
untuk terbit sebagai buku yang dilempar ke publik. Mengingat dalam
konteks akademis, tentu kaidah-kaidah formal penulisan dan metodologi
berlaku sangat ketat. Sementara dalam konteks buku yang dikonsumsi oleh
publik dengan segmetasi variatif, sajiannya harus lebih lugas dan/eye
catching/. Susunan buku ini mungkin terlampau sistematis khas naskah
akademik, jadi bagi pembaca awam akan terasa nuansa tautologisnya, ada
banyak pengulangan yang terkesan mengeja dan bertele-tele.
Tapi bagaimanapun juga, penerbitan buku ini sangatlah luar biasa bagi
saya pribadi. Ia hadir tepat di tengah jenuh-jenuhnya orang pada
kebuntuan isu keadilan bagi peristiwa G30S 1965. Padahal sesungguhnya
tahun 2015 ini adalah momentum besar, persis 50 tahun sudah kebohongan
negara dipelihara sebagai kebenaran mutlak. Tapi faktanya keadilan dan
kebenaran yang telah banyak dibongkar serta dituntut ini masih belum
juga berhasil merobohkan kokohnya tembok kekuasaan yang biadab.
Perkara kurang populernya buku ini, mungkin lantaran menggunakan
penerbit lokal, bukan yang bonafit. Tapi justru ini membuatnya lebih
menarik, karena: Pertama, semakin menegaskan betapa tema ini masih
dianggap kurang “aman” dan “menjanjikan” bagi penerbit besar yang/profit
oriented/dan tunduk pada/status quo/. Kedua, menunjukkan betapa masih
banyak pihak yang mengupayakan perjuangan maksimal dalam isu ini meski
dengan segala keterbatasan. Ketiga, ini jelas sebuah bentuk perlawanan
atas kesewenangan, dengan menciptakan ruang-ruang alternatif dari
skema/mainstream/yang represif dan mengekang.
Akhir kata, saya berharap banyak bahwa pembaca sekalian akan berupaya
mendapatkan buku ini, dan menjadikannya sebagai referensi andalan untuk
mengantarkan pemahaman atas salah satu episode sejarah bangsa Indonesia
yang paling krusial untuk direkonstruksi. Jangan biarkan rasa lelah
membicarakan kebenaran dan menuntut keadilan itu menguasai akal pikiran
dan hati nurani kita, sebab hanya dengan bermodal itulah cita-cita
kemerdekaan yang hakiki bisa kita wujudkan suatu saat nanti. Tabik.
*Saddam SSD. Cahyo,***/Penikmat buku dan pernah aktif di////Liga
Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND)////Eksekutif Wilayah Lampung./
SumberArtikel:
http://www.berdikarionline.com/resensi-buku-analisa-materialisme-sejarah-tentang-g30s-1965/#ixzz3slbjipxA
Follow us:@berdikarionline on Twitter
<http://ec.tynt.com/b/rw?id=c4NPcCtyyr4P5Sacwqm_6r&u=berdikarionline>|berdikarionlinedotcom
on Facebook
<http://ec.tynt.com/b/rf?id=c4NPcCtyyr4P5Sacwqm_6r&u=berdikarionlinedotcom>