-- 
j.gedearka <j.gedea...@upcmail.nl>



https://news.detik.com/kolom/d-5205124/uu-cipta-kerja-patriarki-dan-buruh-perempuan?tag_from=wp_cb_kolom_list




Kolom

UU Cipta Kerja, Patriarki, dan Buruh Perempuan

Dian Septi Trisnanti - detikNews

Kamis, 08 Okt 2020 15:19 WIB
1 komentar
SHARE
URL telah disalin
Buruh Perempuan Geruduk Kemen-PPPA, Tolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja
Buruh perempuan ikut turun ke jalan dalam aksi menentang RUU Cipta Kerja (Foto: 
20Detik)
Jakarta -

Setelah melalui berbagai gelombang perlawanan di berbagai daerah, akhirnya RUU 
Cipta Kerja Omnibus Law disahkan di tengah ancaman pandemi yang tak kunjung 
turun. Padahal, pengesahan ini bisa memicu gelombang demonstrasi besar-besaran 
dengan risiko terpapar Covid-19.

Buruh perempuan yang menjadi bagian gelombang demonstrasi ini sangat menyadari 
risiko bahaya Covid-19 yang hadir di depan mata. Namun virus lain bernama UU 
Cipta Kerja ini membuat kami tidak memiliki pilihan selain turun ke jalan.

Mengapa Menolak?

Terdapat landasan kuat mengapa kami menolak UU Cipta Kerja. Sejak awal digagas, 
UU ini tidak dilakukan dengan transparan dan tidak melibatkan beragam elemen 
rakyat yang terdampak secara langsung. Susunan satgas Omnibus Law didominasi 
oleh para pengusaha yang sarat kepentingan bisnis. Suara kami tidak didengar 
apalagi diberi hak untuk berbicara.

Bagi kami, UU Cipta Kerja berwatak patriarkis yang dirancang untuk melindungi 
penguasa dan pemilik modal, serta menundukkan kelompok yang tidak memiliki 
kekuasaan. Dalam hal ini, buruh perempuan adalah kelompok tak punya kuasa, yang 
paling rentan ditundukkan dan disingkirkan. Dengan wataknya yang patriarkal, 
Omnibus Law Cipta Kerja mengabaikan kerja reproduksi yang banyak ditumpukan 
pada perempuan, meski sistem ekonomi yang ada saat ini bersandar pada 
kerja-kerja reproduksi.

Tak heran bila kemudian hak reproduksi perempuan kerap diabaikan karena 
dianggap "tidak produktif". Disahkannya sistem pengupahan berdasarkan per 
satuan waktu, per satuan hasil dalam Pasal 88 B, UU Cipta Kerja berpotensi 
mengarah pada upah per jam, sehingga aspek-aspek reproduksi buruh 
(beristirahat, memulihkan diri dari sakit di jam kerja, termasuk ketika sedang 
haid, hamil, pasca keguguran) yang merupakan tumpuan utama produktivitas buruh 
justru terancam tidak ditanggung dalam upah.

Potensi upah per jam (berdasarkan satuan waktu) juga terlihat dalam revisi 
Pasal 92 ayat (2) terkait struktur skala upah yang akan digunakan sebagai 
pedoman penetapan upah berdasarkan satuan waktu. Jika ini diberlakukan, upah 
'take home pay' yang diterima buruh bisa lebih rendah dari UMP. Sementara itu, 
keberadaan UMK berpotensi hilang karena gubernur tidak wajib menerapkan UMK.

UMK hanya dapat disahkan apabila memenuhi syarat tertentu yang bahkan tidak ada 
kejelasannya dalam Pasal 88 C ayat (2). UU Cipta Kerja juga tidak menjamin 
tidak adanya upah padat karya yang sebelumnya disahkan di beberapa daerah yang 
mengatur upah di industri padat karya adalah diperbolehkan di bawah UMP.

Alasan bahwa industri padat karya adalah potensial bagi kemajuan ekonomi justru 
dijadikan kesempatan untuk bisa mempreteli hak buruh padat karya yang mayoritas 
adalah perempuan. Di sisi lain, celah-celah pelanggaran hak cuti haid, hamil, 
dan melahirkan yang seringkali dilakukan oleh pengusaha justru tidak diperkuat 
perlindungannya dalam UU Cipta Kerja.

Sistem Kontrak

Sejak awal disahkannya, sistem kontrak menjadi momok menakutkan, tak terkecuali 
bagi buruh perempuan yang banyak terserap di sektor informal dan industri padat 
karya. Dalam praktiknya di lapangan banyak buruh berstatus kontrak seumur hidup 
meski diatur bahwa sistem kontrak dibatasi selama dua tahun dan hanya boleh 
diperpanjang selama satu tahun. Banyak buruh berstatus kerja kontrak selama 
belasan tahun.

Pelanggaran-pelanggaran tersebut justru dikukuhkan oleh UU Cipta Kerja dengan 
dihapuskannya Pasal 59 UUK No.13/2003. Maka, buruh perempuan yang mayoritas 
terserap di sektor informal (pekerja rumahan, PRT, dll) dan sektor industri 
padat karya makin tidak terlindungi. Dengan menjadi buruh kontrak seumur 
hidupnya, buruh perempuan yang selama ini berperan sebagai kepala keluarga 
(tanpa pengakuan) menjadi semakin tidak sanggup menghidupi keluarga sehingga 
kemiskinan sistematis semakin dilanggengkan.

Uang Pesangon

Lalu, apakah bila dengan susah payah akhirnya berstatus kerja tetap, maka kami 
akan sejahtera? Nanti dulu. Cukup banyak jebakan agar kami terus berada di 
kubangan kemiskinan supaya segelintir penguasa oligarki dan pemodal itu tetap 
bisa kaya raya. Uang pesangon yang didambakan, pada akhirnya beberapa itemnya 
dihapus dalam Pasal 156.

Pertama, menghapuskan uang pesangon bagi buruh yang mendapatkan surat 
peringatan. Padahal pada Pasal 161, buruh berhak mendapatkan surat peringatan. 
Hal ini membuat pengusaha bisa merasa enteng mengeluarkan surat peringatan 
tanpa alasan yang jelas. Dalam praktik di lapangan tindakan semena-mena ini 
kerap ditemui, terlebih bagi buruh yang vokal atau berserikat.

Kedua, penghapusan uang pesangon bagi buruh yang di-PHK karena peleburan, 
pergantian kepemilikan. Ketiga, penghapusan uang pesangon bagi buruh yang 
di-PHK karena perusahaan merugi dua tahun dan pailit. Keempat, penghapusan uang 
santunan berupa pesangon bagi ahli waris atau keluarga apabila buruh meninggal. 
Kelima, penghapusan uang pesangon bagi buruh yang di-PHK karena akan memasuki 
usia pensiun.

Baiklah, bagi kami berstatus kontrak seumur hidup dijadikan keniscayaan, 
menjadi buruh tetap adalah istimewa dan itu pun dengan hak pesangon yang 
sebagian hilang. Sudah jatuh, tertimpa tangga, tertabrak mobil.

Hak Cuti

Mungkin, bagi para wakil rakyat kami bukanlah manusia yang perlu hidup layak 
dan sejahtera dengan bahagia secara mental karena punya cukup waktu bersama 
keluarga. Hak cuti yang menyediakan waktu kami bisa mencurahkan kasih sayang 
untuk keluarga direnggut begitu saja. UU Cipta Kerja tidak mencantumkan hak 
cuti panjang selama dua bulan bagi buruh yang sudah bekerja 6 tahun secara 
terus-menerus dan menyerahkannya pada perusahaan atau perjanjian kerja yang 
disepakati.

Dalam hal ini, para wakil rakyat menutup mata terhadap posisi subordinat buruh 
di hadapan perusahaan, terlebih buruh perempuan yang tersubordinat bukan saja 
dalam hal relasi antara atasan dan bawahan, namun juga relasi kuasa patriarkal 
yang sudah membudaya secara sistematis dalam seluruh aspek kehidupan.

Kecil kemungkinan terdapat ruang setara dalam bernegosiasi dengan pengusaha 
untuk menghasilkan perjanjian kerja yang lebih berpiihak pada kepentingan 
buruh. Selain itu, terancam hilangnya cuti tahunan ini memperberat beban buruh 
perempuan di masa pandemi yang dituntut mendampingi anak belajar di rumah 
--sebuah tanggung jawab yang secara sistematis dibebankan kepada perempuan, 
namun tak pernah diakui sebagai kerja sehingga tidak pernah masuk dalam 
komponen upah dalam bentuk tunjangan anak.

Dian Septi Trisnanti Departemen Perempuan Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia 
(KPBI)

(mmu/mmu)







  • [GELORA45] UU Cipta Kerja, P... 'j.gedearka' j.gedea...@upcmail.nl [GELORA45]

Kirim email ke