Menguak Strategi Jokowi di Ciptaker
A43<https://www.pinterpolitik.com/author/a43-162>-Tuesday, October 13,
2020 16:00
https://www.pinterpolitik.com/menguak-strategi-jokowi-di-ciptaker
/Presiden Joko Widodo (Jokowi) (dua dari kiri) bersama Menteri
Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto (kiri), Sekretaris
Kabinet Pramono Anung (tengah), Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal
(BKPM) Bahlil Lahadalia (dua dari kanan), dan Menteri Dalam Negeri Tito
Karnavian (kanan) memberi keterangan pers usai Rapat Koordinasi Nasional
Investasi di Jakarta pada Februari 2020 lalu. (Foto: Setkab)/
/8 min read/
*Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyebutkan bahwa gelombang
protes terkait Rancangan Undang-undang Cipta Kerja (RUU
Ciptaker) atau/omnibus law/disebabkan oleh disinformasi atau
hoaks yang tersebar di masyarakat. Apakah pemerintahan Jokowi
kini menggunakan strategi ikan haring merah (/red herring/)?*
------------------------------------------------------------------------
*PinterPolitik.com <http://pinterpolitik.com/>*
“Try and talk and they ain't listenin' but they'll point it out when
you get ignorant” – Dreezy, penyanyi rap asal Amerika Serikat (AS)
Siapa yang tidak suka dengan film-film kartun seperti yang dibuat oleh
Walt Disney Pictures dan Pixar Animation Studios? Film-film animasi yang
mereka buat – selain memiliki estetika visual yang baik – juga
menyematkan sejumlah pesan-pesan kehidupan yang bermakna.
Salah satu film kartun yang sempat ‘meledak’ pada tahun 2017 yang
berjudul/Coco/(2017), misalnya, merupakan film yang bisa dibilang
meninggalkan kesan yang mendalam bagi para penontonnya. Bagaimana tidak?
Animasi ini menceritakan perjalanan seorang bocah kecil yang bernama Miguel.
Miguel ini memiliki mimpi untuk menjadi musisi besar suatu hari nanti.
Namun, mimpi ini tampaknya tidak sejalan dengan keinginan keluarga yang
lebih menekankan pada bisnis produksi sepatu.
Sontak saja, Miguel yang merasa tidak dipahami oleh keluarganya akhirnya
melangkah sendiri demi menemukan jati dirinya sebagai musisi – seperti
dengan mengunjungi makam musisi yang diidolakannya. Namun, perjalanannya
ini mengantarkannya ke tempat yang tidak ia duga dan memunculkan
konflik-konflik baru dalam hidupnya.
Meski begitu, di penghujung film, Miguel diperbolehkan mengejar mimpinya
di bidang musik. Pasalnya, nenek moyangnya yang melarang keluarganya
bermain musik telah memahami bahwa musik bukanlah hal yang salah,
melainkan situasi lah yang membuat masa lalu keluarganya memburuk.
Mungkin, upaya menyalahkan hal yang sebenarnya tidak berhubungan
langsung seperti di film/Coco/(2017) ini tengah dilakukan oleh
pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dalam menanggapi gelombang demonstrasi
yang ditujukan untuk menolak Rancangan Undang-undang Cipta Kerja (RUU
Ciptaker) – atau biasa dikenal sebagai/omnibus law/.
Bagaimana tidak? Alih-alih membahas dan mendengarkan hal-hal apa yang
dikeluhkan oleh masyarakat, pemerintahan Jokowi tampak berfokus pada
asumsi bahwa demonstrasi didasarkan pada disinformasi atau berita bohong
(hoaks) yang tersebar.
Presiden Jokowi beberapa waktu lalu, misalnya, menyebutkan bahwa biang
kerok dari kekacauan yang ditimbulkan oleh gelombang protes/omnibus
law/adalah disinformasi yang tersebar di masyarakat. Asumsi yang sejalan
juga diungkapkan oleh Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian
Airlangga Hartarto yang*menuding
<https://indramayu.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-11812843/sebut-demo-penolakan-uu-ciptaker-dimobilisasi-airlangga-hartarto-kita-tahu-siapa-sponsornya/>*bahwa
demonstrasi beberapa waktu lalu merupakan upaya mobilisasi oleh pihak
tertentu.
Tentu, asumsi yang disodorkan oleh pemerintahan Jokowi ini menimbulkan
sejumlah pertanyaan. Mengapa pemerintahan Jokowi menebarkan narasi bahwa
ada disinformasi dan penumpang gelap di balik gelombang protes lalu?
Strategi apa yang tengah diterapkan?
*/Straw Man/**atau/Red Herring/?*
Boleh jadi, asumsi yang diungkapkan ini merupakan bagian dari upaya
argumentatif dari pemerintahan Jokowi. Argumen bahwa terdapat
disinformasi dan penumpang gelap ini bisa saja muncul sebagai/informal
fallacy/.
Christopher W. Tindale dari University of Windsor dalam*bukunya
<http://www.cambridge.org/0521842085>*yang berjudul/Fallacies and
Argument Appraisal/menjelaskan bahwa/fallacy/semacam ini biasa disebut
sebagai/ignoratio elenchi/atau/irrelevant conlusion/(kesimpulan yang
tidak relevan).
Tindale menjelaskan bahwa/ignoratio elenchi/merupakan salah satu dari 13
jenis/fallacy/yang pernah disebutkan oleh Aristoteles dalam bukunya yang
berjudul/Sophistitical Refutation/. Inti dari/ignoratio elenchi/sendiri
adalah sebuah label yang disematkan pada sesuatu yang perlu dibuktikan
tetapi tidak dibuktikan.
/Ignoratio elenchi/sendiri biasa digunakan untuk menjelaskan argumen
dalam sebuah debat yang tidak membuktikan argumen sebelumnya. Dalam hal
ini, proposisi baru yang tidak relevan justru dimunculkan.
Menurut Tindale,/ignoratio elenchi/sendiri dapat dibagi menjadi
sejumlah/fallacy/yang berbeda berdasarkan karakteristiknya. Beberapa di
antaranya adalah manusia jerami (/straw man fallacy/) dan ikan haring
merah (/red herring/).
/Red herring/sendiri merupakan istilah yang digunakan untuk
menggambarkan upaya pengalihan perhatian pada ikan haring yang telah
dibakar (berubah warna menjadi merah) agar pihak yang disasar – anjing –
tidak lagi fokus mengejar kelinci (/hare/) yang diinginkan.
Bila manusia jerami dilakukan dengan memberikan distorsi dan upaya
melebih-lebihkan (/exaggerating/) makna dari proposisi awal,/red
herring/lebih menekankan pada adanya penambahan isu baru yang tidak
relevan meski masih berada pada topik yang sama. Dalam arti lain,
manusia jerami memberikan misrepresentasi terhadap proposisi
sedangkan/red herring/mengalihkan (/divert/) perhatian.
Penggunaan/fallacy/berupa manusia jerami ini kerap*dilakukan
<https://thehill.com/opinion/white-house/443999-a-reality-based-game-for-trump-watchers-name-that-fallacy/>*oleh
Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Salah satunya adalah ketika
mengkritik Partai Demokrat AS yang menolak kebijakan imigrasi Trump
karena persoalan hak asasi manusia (HAM).
Alih-alih berfokus pada persoalan yang dikritisi oleh Partai Demokrat
AS, Trump dan Partai Republik malah membuat distorsi/straw man/dengan
membuat*klaim
<https://www.foxnews.com/politics/trump-rallying-in-kentucky-blasts-dems-chilling-lust-for-power/>*yang
berlebihan bahwa Partai Demokrat ingin AS menjadi suaka bagi
kriminal-kriminal asing.
Selain manusia jerami, Trump juga dinilai pernah
menggunakan/fallacy/*ikan haring merah
<https://www.washingtonpost.com/news/the-fix/wp/2017/03/20/the-white-house-serves-up-a-red-herring-on-russia/>*pada
tahun 2017. Kala itu, Presiden AS tersebut tengah disoroti terkait
koneksi tim kampanyenya dengan Rusia.
Kala itu, alih-alih memberikan penjelasan terkait isu tersebut, Trump
malah menyediakan/red herring/berupa isu penyadapan oleh mantan Presiden
Barack Obama terhadap dirinya. Isu ini diangkatnya dari sebuah artikel
di situs yang dianggap biasa memberitakan berita konspiratif.
Berkaca pada apa yang dilakukan Trump ini, apakah Jokowi juga
menggunakan salah satu/fallacy/tersebut dalam menanggapi gelombang
demonstrasi/omnibus law/? Lantas, bila benar, apa yang ingin dicapai
oleh pemerintahan Jokowi dari/fallacy/itu?
*Berujung Pengalihan?*
Bukan tidak mungkin, pemerintahan Jokowi juga menggunakan salah
satu/fallacy/yang memunculkan proposisi atau kesimpulan yang tidak
relevan dengan persoalan awal. Pasalnya, alih-alih membahas permintaan
dan tuntutan demonstrasi, pemerintah malah mengungkap
persoalan-persoalan lain, seperti disinformasi (hoaks) dan adanya
penumpang gelap di balik gelombang demonstrasi/omnibus law/.
Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto, misalnya, menduga akan
adanya penumpang gelap yang berasal dari kekuatan negara asing di balik
gelombang protes tersebut. Selain isu penumpang gelap, Presiden Jokowi
sendiri juga malah menekankan adanya disinformasi daripada membahas
poin-poin/omnibus law/yang dinilai bermasalah.
Bukan tidak mungkin, apa yang dilakukan pemerintahan Jokowi ini
merupakan upaya penggunaan/red herring fallacy/. Meski masih berada
dalam topik yang sama, pemerintah bisa saja menyajikan isu-isu – seperti
misteri penumpang gelap dan disinformasi – yang tidak relevan dengan
tuntutan demonstran.
Dengan penyajian/red herring/ini, perhatian demonstran dan publik bisa
saja menjadi teralihkan pada isu-isu tersebut. Alhasil, persoalan yang
sebenarnya akan mendapatkan perhatian yang lebih sedikit dari yang
seharusnya.
Tai-Quan Peng, Guodao Sun, dan Yingcai Wu dalam*tulisan mereka
<https://doi.org/10.1371/journal.pone.0167896>*yang berjudul/Interplay
between Public Attention and Public Emotion toward Multiple Social
Issues on Twitter/menjelaskan bahwa perhatian atas isu-isu sosial yang
ada berjalan layaknya/zero-sum game theory/. Ketika sebuah isu baru
dimunculkan, perhatian (/attention/) publik akan terbagi seiring isu
baru menjadi perdebatan.
Selain itu, bukan tidak mungkin adanya pengasosiasian gerakan
demonstrasi terhadap penumpang gelap dan disinformasi dapat
memunculkan/transfer propaganda/terhadap kelompok demonstran. Magedah E.
Shabo dalam*bukunya
<https://books.google.co.id/books?id=sDIbJUAZeuwC&pg=PP1&lpg=PP1&dq=magedah+e+shabo&source=bl&ots=MFZ47m7heJ&sig=ACfU3U2bsqYBFMU8mdz6iilPvthu-gKQfw&hl=en&sa=X&ved=2ahUKEwjHi7fIhvjkAhVp7XMBHY04AtQQ6AEwEXoECAkQAQ>*yang
berjudul/Techniques of Propaganda and Persuasion/menjelaskan bahwa
teknik propaganda ini dilakukan dengan menyematkan perasaan dan asosiasi
dari suatu gagasan, simbol, atau seseorang terhadap hal lain – baik
bersifat positif maupun negatif.
Boleh jadi, penyematan label penumpang gelap akan membuat gerakan
demonstrasi menjadi luntur akibat asosiasi dan perasaan negatif yang
dimunculkan dari label tersebut. Asosiasi negatif ini bisa saja
memengaruhi*persepsi publik
<https://pinterpolitik.com/perang-kognitif-pemerintah-vs-mahasiswa>*terhadap
para demonstran secara kognitif.
Secara lebih lanjut, penyematan label seperti ini – mengacu pada
penjelasan Hans-Peter van den Broek dalam*tulisannya
<https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/09546553.2014.995788>*yang
berjudul/Labelling and Legitimization/– juga dapat memberikan legitimasi
kepada pemerintah untuk menerapkan kebijakan yang dianggap perlu untuk
mendisiplinkan kelompok yang disasar karena dianggap tidak sesuai dengan
kerangka normatif masyarakat.
Pada intinya, berkaca dari tulisan-tulisan ini, bukan tidak mungkin/red
herring/yang dimunculkan oleh pemerintahan Jokowi bertujuan untuk
mengalihkan perhatian publik pada ikan haring merah yang lebih
‘menyengat’ baunya. Namun, konsekuensi lain seperti pelabelan bisa juga
muncul akibat/red herring fallacy/yang digunakan.
Meski gambaran kemungkinan di atas terdengar masuk akal, pemerintahan
Jokowi belum tentu benar-benar secara sengaja
menggunakan/fallacy/tersebut. Yang jelas, polemik disinformasi atas draf
RUU Ciptaker ini tidak akan selesai dalam waktu dekat dengan simpang
siurnya informasi yang benar. (A43)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di *bit.ly/PinterPolitik*
<http://bit.ly/PinterPolitik>
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di
*bit.ly/ruang-publik <http://bit.ly/ruang-publik>* untuk informasi lebih
lanjut.