-- j.gedearka <j.gedea...@upcmail.nl>
https://mediaindonesia.com/podiums/detail_podiums/1961-memimpin-itu-menderita Rabu 14 Oktober 2020, 05:00 WIB Memimpin itu Menderita Abdul Kohar Dewan Redaksi Media Group | Editorial Memimpin itu Menderita Dok.MI/Seno Abdul Kohar Dewan Redaksi Media Group. 'HANYA ada satu negara yang pantas menjadi negaraku. Ia tumbuh dengan perbuatan, dan perbuatan itu adalah perbuatanku'. Itulah petikan pidato pembelaan proklamator kita, Bung Hatta, dalamIndonesia Vrij pada 22 Maret 1928 di mahkamah pengadilan di Den Haag, Belanda. Di pengadilan inilah diputuskan bahwa Kerajaan Belanda mengganti kata Hindia Belanda menjadi Indonesia. Pesan penting dari pidato Wakil Presiden pertama Republik Indonesia itu menyiratkan satu hal, bahwa menjadi pemimpin itu tidak nyaman. Ia tidak saja butuh langkah konkret dan kerja nyata, tapi juga yang terpenting ialah pengorbanan. Tidak ada pemimpin hebat yang lahir di zona nyaman. Tidak ada pencapaian hebat yang tumbuh dari zona nyaman. Bahkan, leiden is lijden, memimpin itu menderita. Begitu pepatah kuno Belanda yang dikutip Mohammad Roem dalam karangannya berjudul Haji Agus Salim, Memimpin Adalah Menderita (Prisma No 8, Agustus 1977). Karangan itu mengisahkan keteladanan Agus Salim. Agus Salim dikenal sebagai salah satu tokoh perjuangan nasional. Ia diplomat ulung dan disegani, tetapi sangat sederhana dansangat terbatas dari sisi materi. Jika dicermati, ungkapan tersebut sangat sarat makna. Memimpin itu, pada level mana pun, ialah amanah, bukan hadiah. Memimpin itu sacrificing, bukan demanding. Memimpin itu berkorban, bukan menuntut. Para pemimpin tidak boleh lupa, tak ada kemajuan bangsa tanpa pengorbanan kepemimpinan. Tak ada kemajuan tanpa jangkar moral yang andal. Pilihan-pilihan kebijakan politik dan ekonomi harus dijejakkan pada kesanggupan para pemimpin mengorbankan kepentingan egosentrismenya demi memuliakan nilai-nilai moral kenegaraan, prinsip-prinsip yang penting bagi orang banyak. Jangkar moral akan mengalahkan pencitraan, populisme, seolah-seolah membela kepentingan rakyat, tapi mengorbankan rakyat yang lain. Pada prinsip-prinsip itulah mestinya para pemimpin, termasuk para pemimpin di tingkat daerah, bersandar. Termasuk saat menghadapi berbagai tuntutan, desakan, keinginan sebagian kalangan untuk meninjau ulang konsensus nasional. Pemimpin sejati akan menimbang secara tenang dan saksama beragam muatan dalam tuntutan itu, alih-alih melempar langsung ke struktur di atasnya lagi. Dalam kasus penolakan terhadap Undang-Undang Cipta Kerja di berbagai daerah, misalnya, ada sebagian pemimpin daerah yang mulai goyah 'iman kepemimpinannya' dari prinsip-prinsip besar 'memimpin ialah menderita'. Bukan cuma satu, melainkan ada setidaknya 5 gubernur, 2 ketua DPRD provinsi, dan 8 bupati/wali kota. Dari mereka muncullah kalimat bernada 'insubordinat', meskipun mereka sejatinya ialah bagian dari penyelenggara negara yang berada dalam satu dirigen. Kalimat itu di antaranya, 'Saya sudah mendengarkan aspirasi. Memang, dirasakan pengesahannya terlalu cepat untuk sebuah undang-undang yang begitu kompleks dan begitu besar'. Ada juga yang secara 'sopan' meminta Presiden Joko Widodo untuk tidak buru-buru menerapkan UU sapu jagat itu. Bahasanya kira-kira seperti ini: 'Mohon agar Bapak Presiden menunda penerapan UU Cipta Kerja hingga benar-benar tuntas disosialisasikan kepada publik'. Malah, ada yang secara 'telak' menolak konsensus yang sudah dicapai itu melalui laman Facebook pribadi dengan menulis, 'Assalamualaikum, selamat sore, saya Gubernur Provinsi Kalimantan Barat dengan ini mohon kepada Presiden untuk secepatnya mengeluarkan perpu yang menyatakan mencabut omnibus law UU Cipta Kerja demi terhindarnya pertentangan di masyarakat dan tidak mustahil semakin meluas. Undang-undang yang baik harusnya sesuai dengan rasa keadilan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat'. Sang gubernur secara terang benderang telah berada dalam garis berseberangan tanpa menyisakan 'pertanyaan batin', bukankah saya ialah bagian dari pemerintahan? Apakah saya tidak terseret terlampau jauh ke arah populisme dan membangun citra di tengah permasalahan bangsa? Bukankah undang-undang ini merupakan jawaban atas keluhan kami soal sulitnya mendatangkan investasi dan sulitnya menyerap lapangan kerja? Bukankah saya disumpah untuk tunduk pada undang-undang? Bukankah saya tidak berwenang menilai undang-undang? Bukankah dengan menyebut bahwa 'undang-undang yang baik dan benar ialah yang selaras dengan keadilan yang tumbuh di masyarakat', artinya saya sudah menilai sebuah instrumen yang tidak seharusnya saya nilai? Jalan nyaman, enak, tenang, tidak dipusingkan tetek bengek yang mengganggu nyenyaknya tidur, jelas bukanlah jalan pemimpin. Ia juga bukan jalan 'perbuatan' sebagaimana pernah digaungkan Bung Hatta. Sebelum larut dan terseret semakin jauh dalam badai populisme, wahai para pemimpin, segeralah bangun dan kembali ke kredo utama sebagai pemimpin, leiden is lijden, memimpin itu menderita. Kalau tidak sanggup, ya, jangan jadi pemimpin. Baca Juga Sumber: https://mediaindonesia.com/podiums/detail_podiums/1961-memimpin-itu-menderita