-- 
j.gedearka <j.gedea...@upcmail.nl>



https://news.detik.com/kolom/d-5219480/rindu-sila-keempat-pancasila?tag_from=wp_cb_kolom_list




Kolom

Rindu Sila Keempat Pancasila

Sudirman Said - detikNews

Senin, 19 Okt 2020 17:30 WIB
1 komentar
SHARE
URL telah disalin
Sudirman Said saat hadiri Blak-blakan bersama detikcom.
Sudirman Said (Foto: Muhammad Ridho)
Jakarta -

Dalam keadaan tertentu, umumnya keadaan sulit, orang cenderung mencari jawaban 
atau pegangan, pada apa yang dinilai seharusnya ada, namun (tengah) tidak ada. 
Ada rasa ingin atau harapan terhadap sesuatu, yakni hal yang dianggap dapat 
menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi, atau sesuatu yang dipandang jika 
ada (hadir) maka tidaklah terjadi keadaan yang tidak diinginkan. Keadaan aktual 
adalah hasil kinerja ketiadaan (baca: mangkirnya sesuatu yang dianggap 
seharusnya hadir).

Akan lebih bermakna jika keadaan yang terselenggara tidak berujung pada 
ratapan, penyesalan atau sejenisnya, namun menjadi tindakan kreatif, yakni 
membawanya dalam ruang refleksi, untuk mencari tahu, mengapa sesuatu yang 
dibutuhkan kehadirannya justru (memilih) mangkir? Apakah "ketiadaan" tersebut 
ada adalah hasil dari proses alamiah, ataukah sebaliknya.

Demokrasi

Sepuluh tahun yang lalu, terbit bunga rampai dengan judul Rindu Pancasila 
(2010), yang memuat tulisan Budiman Tanuredjo (BT), Sila Keempat: Menjalani 
Eksperimen Demokrasi. Pada permulaan tulisan BT mengutip pemandangan umum 
Fraksi TNI/Polri yang disampaikan oleh juru bicaranya Christina M. Rantatena, 
"Kita tidak ingin menjadikan Indonesia laboratorium demokrasi...Karena begitu 
penting dan strategisnya perubahan UUD 1945, maka semua pihak harus mau dan 
mampu mengesampingkan semua keinginan untuk memperjuangkan kepentingan sesaat, 
kepentingan sendiri atau kepentingan kelompok..."

Kutipan ini seakan hendak menggambarkan bagaimana dinamika dalam Sidang Umum 
MPR, manakala membahas perubahan hukum dasar. Tarik menarik tentu tidak 
terelakkan, namun substansi tidak terletak di sana, melainkan pada hasil justru 
ketika semua kelompok menanggalkan kepentingannya, dan menggantinya dengan 
kepentingan Indonesia.

Kita ketahui bahwa suasana dinamis tersebut sesungguhnya juga berlangsung pada 
episode pembentukan negara, yakni dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha 
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Dalam buku Lahirnja Pantja-Sila, Bung 
Karno menggembleng dasar-dasar Negara yang diterbitkan oleh Oesaha Penerbitan 
Goentoer tahun 1947, Ir. Soekarno mengatakan, "Kalau kita mencari demokrasi, 
hendaknya bukan demokrasi barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, 
yakni politiek-economische democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan 
sosial!"

Lebih lanjut dikatakan, "...badan permusyawaratan yang kita akan buat,hendaknya 
bukan badan permusyawaratan politieke democratie saja, tetapi badan yang 
bersama dengan masyarakat dapat mewujudkan dua prinsip: politieke 
rechtvaardigheid dan sociale rechtvaardigheid. Dari kutipan tersebut dapat 
ditafsirkan adanya perdebatan, dan dalam hal ini, Ir. Soekarno mengusulkan 
suatu bentuk demokrasi, yang merupakan ekspresi permusyawaratan dengan arah 
pada keadilan sosial.

Teks pidato Ir. Soekarno tersebut seakan telah melihat jauh ke depan, tentu 
adanya peluang di mana praktik demokrasi, bukan saja tidak mencerminkan 
permusyawaratan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan, tetapi juga tidak 
ditempatkannya rakyat sebagai subyek. Dalam kaitan ini, menarik untuk meninjau 
pandangan BT satu dekade lalu, " ...praksis politik menunjukkan pudarnya 
permusyawaratan untuk mufakat. Tren baru mengarah pada demokrasi transaksional."

Jika kecenderungan ini benar, maka dapat dibayangkan: (1) bahwa dalam proses 
pengambilan keputusan, rakyat tidak lagi menjadi sumber utama, yang secara 
otomatis dilibatkan; dan (2) bahwa keputusan yang diambil, akan tidak menutup 
kemungkinan bukan merupakan jawaban atas persoalan kongkret rakyat, melainkan 
sebaliknya. Secara politik rakyat tidak terlibat, dan secara ekonomi menjadi 
sekunder.

Kembali

Sebagai bangsa, Indonesia memiliki kekayaan pengalaman yang memperlihatkan 
kesanggupannya untuk belajar dan membuat koreksi, manakala ada laku yang 
dipandang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang menjadi fondasi keberadaannya, 
dan juga terhadap apa yang punya potensi mengganggu kelangsungan nations. 
Belajar dari pengalaman, bukan artinya pergi ke masa lalu, melainkan upaya 
untuk mengkaji rute yang ditempuh, dan tidak ada keseganan untuk kembali, pada 
keutamaan yang menjadi kompas bangsa ketika bergerak ke depan. Jalan termudah 
adalah kembali pada teks sila keempat Pancasila.

Dalam konteks proses pengambilan keputusan publik, Yudi Latief dalam Negara 
Paripurna menggambarkan bahwa orientasi etis "hikmah-kebijaksanaan" 
mensyaratkan pengetahuan yang baik atas agenda bangsa. Dikatakan, "Melalui 
hikmah itulah, mereka yang mewakili rakyat bisa merasakan, menyelami, dan 
mengetahui apa yang dipikirkan rakyat untuk kemudian diambil keputusan yang 
bijaksana yang membawa republik ini kepada keadaan yang lebih baik."

Artinya, proses politik tidak boleh lepas dari sumber, konteks, dan tujuan 
nasional. Politik bukan arena untuk melayani kepentingan yang melawan 
kepentingan bersama. Oleh karena itu, kita memahami bahwa untuk dapat kembali, 
maka terdapat keharusan untuk melakukan emansipasi arena politik, sedemikian 
rupa sehingga kembali memuat "jiwa republik".

Untuk sampai ke sana, rasanya tidak berlebihan yang dikatakan oleh BT, yakni 
bahwa: "Demokrasi tidak mungkin dilepas dan diserahkan kepada pelaku untuk 
menafsirkan sendiri bagaimana demokrasi dipraktikkan." Namun masalahnya, 
bagaimana memungkinkan hal tersebut, yakni menghadirkan keadaan di mana 
demokrasi tidak lepas ikatannya dengan rakyat (publik), sehingga seluruh proses 
atau gerak langkah demokrasi, bukan merupakan langkah tersembunyi, atau 
sembunyi-sembunyi, yang pada akhirnya membuat keputusan yang tidak sebagaimana 
harapan rakyat.

Tampaknya perlu dipertimbangkan tiga hal berikut ini. Pertama, suatu upaya agar 
berlangsung pendidikan kewarganegaraan yang bersifat publik, sedemikian rupa 
sehingga warga mengerti tempat kedudukannya dalam demokrasi, sehingga setiap 
momen demokrasi, seperti pemilihan umum, tidak sekedar menjadi ajang "memilih 
tanda gambar", melainkan kesempatan bagi warga untuk menentukan siapa yang 
layak untuk mewakilinya, dan sekaligus menetapkan apa yang harus dikerjakan 
selama periode tertentu. Secara ideal, kita mengimpikan keadaan di mana dalam 
momen tersebut tidak lagi terdengar praktik money politic dengan semua 
derivasinya.

Kedua, suatu upaya agar hubungan antara rakyat dan mereka yang mendapatkan 
mandat tidak berhenti ketika kertas suara dicoblos di kotak pemungutan suara, 
melainkan tetap berlanjut dengan suatu formasi tertentu. Kelompok masyarakat 
sipil, media massa, dan termasuk media sosial hendaklah dapat menjadi saluran 
aspirasi rakyat. Agar bermakna, maka: (1) harus ada perlindungan hukum, agar 
kebebasan sipil tetap terjaga dan dapat menjalankan fungsi kontrol terhadap 
penyelenggaraan pemerintahan; dan (2) ada mekanisme demokrasi, sehingga suara 
publik di dengar, dan dengan demikian, kebijakan yang terbit adalah apa yang 
memang dibutuhkan oleh rakyat.

Ketiga, suatu upaya agar masing-masing cabang kekuasaan dapat saling memperkuat 
proses demokrasi. Dengan merujuk pada sila keempat, maka yang terjadi adalah 
keadaan di mana seluruh proses benar-benar berjalan dalam kepemimpinan 
hikmat-kebijaksanaan, dengan ujungnya adalah keadilan sosial bagi seluruh 
rakyat Indonesia.

Para ahli, dapat melakukan review menyeluruh terhadap formasi yang ada untuk 
melihat kembali bagian-bagian atau prosedur yang kurang memungkinkan 
berlangsungnya relasi yang bersifat saling memperkuat dalam kerangka memberikan 
yang terbaik pada rakyat.

Ketiga hal di atas sesungguhnya mengandalkan pendidikan dalam arti yang luas, 
di mana pendidikan civic menjadi salah satu bagiannya. Dalam sejarah, 
pendidikan merupakan aspek penting yang ikut memberikan kontribusi dalam 
membangkitkan kesadaran baru, yang dari sana pula lahir gerakan kemerdekaan, 
sampai akhirnya bangsa punya kesempatan sejarah memproklamasikan diri dan tegak 
sebagai bangsa merdeka.

Dengan pendidikan, warga akan mempunyai kapasitas yang dibutuhkan untuk menjaga 
setiap langkah, dan lebih penting lagi, ia akan senantiasa eling lan waspada, 
sehingga tidak ada keadaan "kehilangan sesuatu", baik akibat pengabaian atau 
sejenisnya. Saat itulah, sila keempat Pancasila menjadi praktik hidup nyata 
dalam demokrasi kita. Semoga.

Sudirman Said Ketua Institut Harkat Negeri

(mmu/mmu)
sila keempat pancasila
demokrasi









Kirim email ke