Mengapa Jokowi Makin Anti Populis?
F63<https://www.pinterpolitik.com/author/f63>-Saturday, October 24, 2020
17:00
https://www.pinterpolitik.com/mengapa-jokowi-makin-anti-populis
/Presiden Jokowi (Foto: Istimewa)/
/7 min read/
*Perjalanan satu tahun kepemimpinan Presiden Joko Widodo
(Jokowi) di periode kedua menuai banyak kritik. Sebagian besar
menilai Jokowi kini tak lagi memperhitungkan pendapat publik
dalam mengambil kebijakan, membuat presiden semakin
dipersepsikan sebagai pemimpin yang anti populis. Lantas apa
sebenarnya yang menyebabkan hal tersebut terjadi?*
------------------------------------------------------------------------
*PinterPolitik.com* <http://www.pinterpolitik.com/>
Hari peringatan atau/anniversary/adalah salah satu bagian penting dalam
kehidupan manusia./Anniversary/merupakan hari untuk mengingat kembali
peristiwa-peristiwa berarti, mulai dari pernikahan, kematian, hingga
momen-momen berharga lain yang mungkin saja mengubah hidup kita.
Sama halnya dengan pernikahan, ulang tahun, atau hari jadi sebuah
organisasi, peringatan satu tahun jabatan politik, apalagi posisi
elektoral tertinggi di negeri ini, yakni Presiden dan Wakil Presiden
juga merupakan momen yang layak untuk dirayakan.
Meski tak memiliki pengakuan resmi layaknya hari-hari bersejarah
lainnya, namun merefleksikan kembali bagaimana sebuah kepemimpinan
menjalankan roda pemerintahan selalu mendapatkan signifikansinya di
momen-monen setahun sekali ini. Tak terkecuali peringatan satu tahun
kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Ma'ruf
Amin yang baru saja dirayakan pada 20 Oktober lalu.
Namun tak seperti/anniversary/yang biasanya dirayakan dengan sukacita,
peringatan satu tahun pertama periode kedua kepemimpinan Jokowi justru
ramai oleh*kritik*
<https://nasional.kompas.com/read/2020/10/21/08210891/satu-tahun-jokowi-maruf-kritik-atas-munculnya-politik-dinasti?page=all>**dan
suara-suara sumbang bernada sinis. Bahkan, momen itu malah*dimanfaatkan*
<https://www.cnnindonesia.com/nasional/20201017193249-32-559626/gelombang-demo-satu-tahun-jokowi-maruf>oleh
sejumlah elemen masyarakat untuk melakukan aksi protes terhadap
pengesahan Rancangan Undang-undang (UU)/Omnibus Law/Cipta Lapangan Kerja
(Ciptaker) di depan Istana Kepresidenan, Jakarta.
Kendati begitu, kemunculan sentimen-sentimen minor terhadap pemerintah
bukanlah tanpa sebab. Selama setahun terakhir, nyatanya pemerintahan
Jokowi-Ma'ruf memang lebih banyak melahirkan*kebijakan-kebijakan*
<https://www.cnnindonesia.com/nasional/20201017202718-32-559634/ragam-uu-kontroversial-selama-satu-tahun-jokowi-maruf>yang
menuai kritik tajam, mulai dari revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK), carut marutnya penanganan pandemi Covid-19, hingga yang paling
teranyar, apalagi kalau bukan UU Ciptaker.
Pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Wasisto
Raharjo Jati*menilai*
<https://www.cnnindonesia.com/nasional/20201017202718-32-559634/ragam-uu-kontroversial-selama-satu-tahun-jokowi-maruf>**kepemimpinan
Jokowi di periode kedua sangat berbeda dengan periode pertama sebagai
presiden. Ia menyebut di periode ini Presiden Jokowi cenderung mengambil
kebijakan-kebijakan non-populis.
Nyatanya kritikan itu diafirmasi sendiri oleh Istana. Kepala Staf
Kepresiden Moeldoko*mengakui*
<https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200901165520-20-541653/moeldoko-bela-jokowi-berani-ambil-kebijakan-non-populis>**kalau
Presiden Jokowi memang berani mengambil kebijakan yang non-populis. Akan
tetapi Ia berdalih langkah ini diambil demi kepentingan masyarakat sendiri.
Konteks ini semakin menarik untuk dibahas jika kita mengingat
kembali*pernyataan*
<https://nasional.kompas.com/read/2020/10/20/05410081/ketika-jokowi-berkali-kali-mengatakan-tanpa-beban-di-periode-kedua?page=all>**Presiden
Jokowi satu tahun lalu saat terpilih kembali sebagai Presiden di periode
kedua. Saat itu Ia sempat menegaskan bahwa dirinya akan mengambil
kebijakan apapun demi kepentigan rakyat lantaran sudah tak lagi memiliki
beban.
Lantas pertanyaannya, apa sebenarnya yang menyebabkan Presiden Jokowi
kini justru menjadi pemimpin yang semakin anti populis?
*Terancam Kutukan Periode Kedua?*
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Arifin
Mochtar menilai dengan banyaknya kritik-kritik terhadap Presiden Jokowi
telah membuat kepemimpinannya di periode kedua ini terancam terjebak
dalam kutukan periode kedua, atau/second term curse. /
Hal ini terlihat dari munculnya akumulasi penghakiman publik terhadap
Presiden. Gelombang penolakan demi penolakan terhadap berbagai UU
kontroversial kemudian menjadi puncak kekecewaan publik terhadap mantan
Gubernur DKI Jakarta tersebut.
Fenomena/second term curse/sebenarnya sudah lama dikenal di dunia
politik Amerika Serikat (AS). Berdasarkan penelitian Alfred Zacher
dalam*bukunya*
<https://www.bookdepository.com/Presidential-Power-Troubled-Second-Terms-Alfred-J-Zacher/9781937698386>yang
berjudul/Presidential Power in Troubled Second Terms,/disebutkan hanya
sekitar sepertiga presiden-presiden AS yang memenangkan pemilihan ulang,
sukses menorehkan kepemimpinan di periode kedua.
Meski jamak terjadi, namun Zacher menyebut tak ada faktor pasti yang
melatarbelakangi fenomena ini. Penyebab seorang presiden mengalami
gejala kutukan periode kedua sangat beragam dan melibatkan banyak faktor.
Ari Saphiro – mengutip pernyataan Donna Hoffman dari University of
Northern Iowa – dalam *tulisannya*
<https://www.npr.org/sections/itsallpolitics/2013/05/20/184237349/is-there-really-a-second-term-curse> yang
berjudul /Is There Really a Second-Term Curse?/mengatakan salah satu
penyebab terjadinya kutukan periode kedua adalah karena lunturnya
pengaruh presiden terhadap parlemen. Memudarnya pengaruh presiden
tersebut bahkan terjadi di dalam partai pendukung pemerintah sendiri.
Presiden yang mulai kehilangan pengaruhnya itu lantas dijuluki
sebagai/the lame duck/atau bebek lumpuh/./
Istilah/lame duck/awalnya*mengacu*
<https://www.thoughtco.com/lame-duck-in-politics-3368114>pada pengusaha
yang tengah menuju kebangkrutan./A Dictionary of Phrase and Fable/karya
Ebenezer Cobham Brewer mendeskripsikan/lame duck/sebagai pekerja saham
atau/dealer/yang tidak akan, atau tidak bisa membayar kerugiannya dan
harus/'berjalan keluar dari gang seperti bebek yang lumpuh.’/Pada tahun
1800-an, frasa tersebut dikonotasikan secara politik untuk menggambarkan
politisi yang mulai kehilangan pengaruh politiknya.
Tak ada periode pasti kapan seorang presiden mulai menjadi
politikus/lame-duck/. David A. Graham dalam*tulisannya*
<https://www.theatlantic.com/politics/archive/2017/08/is-trump-already-a-lame-duck/537198/>di
The Atlantic mengatakan biasanya seorang presiden mengalami gejala/lame
duck/satu bulan sebelum masa jabatannya berakhir.
Akan tetapi, dia melihat saat ini mulai banyak presiden yang mengalami
gejala serupa jauh sebelum masa jabatannya berakhir. Selain itu,
fenomena tersebut kini tak hanya menimpa presiden yang menjabat di
periode kedua. Pemimpin yang baru menjabat satu periode juga bisa
terserang gejala/lame duck. /
Graham mencontohkan salah satu politikus yang menderita gejala/lame
duck/terlalu dini adalah Presiden AS Donald Trump. Gejala tersebut,
menurutnya, sudah terjadi bahkan sejak tujuh bulan sebelum masa
jabatannya berakhir.
Sejumlah alasan yang membuat Graham menilai Trump telah menjadi
politikus/lame duck/adalah karena banyaknya agenda legislasi Presiden
yang mandek di parlemen, relasi dengan para pemimpin dunia yang dinilai
berantakan, hingga tingkat kepuasan publik/(approval rating)/yang tak
terlalu tinggi.
Meski demikian, dalam konteks Indonesia, Presiden Jokowi agaknya belum
bisa dikatakan terjangkit gejala/lame duck./Mulusnya pengesahan RUU
Ciptaker kiranya dapat dijadikan pembenaran bahwa pengaruh Presiden di
parlemen memang sangat kuat.
Bahkan saking kuatnya, Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia
(Formappi) sampai*menyebut*
<https://republika.co.id/berita/qiiwvn354/formappi-nilai-jokowi-jadikan-dpr-seperti-macan-ompong>*Presiden*Jokowi
telah menjadikan DPR seperti macan ompong.
Lalu, jika bukan karena gejala/lame duck,/apa kira-kira yang bisa
menyebabkan Presiden Jokowi terancam terjebak dalam kutukan periode kedua?
Zainal*melihat*
<https://jurnalgaya.pikiran-rakyat.com/bizz/pr-80854689/jokowi-kembalilah-pada-rakyat-zainal-mochtar-nikahi-lagi-publik-sebelum-ada-kutukan-periode-2?page=1>terdapat
disorientasi kebijakan sebagai salah satu penyebab kepemimpinan Jokowi
menuai banyak sentimen minor belakagan ini. Menurutnya, pergeseran
tersebut membuat kebijakan-kebijakan Presiden Jokowi kini cenderung
hanya mengutamakan kepentingan politik dan mengabaikan kepentingan publik.
Ia mengatakan kepemimpinan Jokowi bisa benar-benar mengalami kutukan di
periode kedua jika disorientasi ini terseret lebih jauh lagi pada
fragmentasi perebutan kekuasaan menuju Pilpres 2024. Ia mengingatkan
jika tren ini terus dibiarkan, pergeseran orientasi ini berpotensi
menjadi senjata pamungkas bagi pihak lain yang berambisi meraih
kekuasaan di Pilpres 2024.
Zainal menilai siapapun yang akan berkontestasi di Pemilu mendatang,
baik yang saat ini tengah bermesraan dengan Presiden maupun para oposan,
kelak akan menjadikan periode kedua Presiden Jokowi sebagai objek
penghakiman. Hal inilah yang kemudian menyebabkan kepemimpinan Jokowi
akan selalu diingat sebagai sebuah kegagalan oleh publik.
Jika benar demikian, apa sekiranya yang menyebabkan pemerintahan Jokowi
mengalami disorientasi kebijakan?
*Ekses Koalisi Gemuk?*
Sedari awal terpilih kembali untuk periode kedua, sejumlah pengamat
sudah*menyatakan*
<https://www.cnnindonesia.com/nasional/20191014140041-32-439344/koalisi-gemuk-tantangan-besar-jokowi-dan-potensi-oligarki>**kegundahannya
bahwa pemerintahan Jokowi nantinya akan terlalu banyak berkutat pada
kepentingan sektoral. Hal ini dilandasi dari gemuknya koalisi-koalisi
pendukung Jokowi-Ma’ruf pada Pilpres 2019 lalu.
Belum lagi bergabungnya Partai Gerindra ke dalam gerbong pemerintahan,
sudah barang tentu akan membuat pemerintahan Jokowi semakin dibayangi
oligarki.
Peneliti politik LIPI, Siti Zuhro*mengatakan*
<https://www.cnnindonesia.com/nasional/20191014140041-32-439344/koalisi-gemuk-tantangan-besar-jokowi-dan-potensi-oligarki>gemuknya
koalisi Jokowi akan membuat negara berpotensi dikuasai para elite
semata. Padahal, idealnya pemerintahan dalam sistem presidensial
seharusnya mengedepankan asas pengawasan dan keseimbangan atau /checks
and balances./
Pengamat politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarifhidayatullah,
Adi Prayitno juga*melihat*
<https://www.alinea.id/politik/mudarat-koalisi-gemuk-kabinet-pemerintahan-mendatang-b1XhE9kB1>adanya
implikasi antara struktur koalisi dan arah kebijakan. Selain berpotensi
menganggu sistem/checks and balances/, menurutnya, terbentuknya koalisi
gemuk di pemerintahan juga berpotensi melahirkan banyak
kompromi-kompromi politik dalam menentukan kebijakan ke depan.
Berangkat dari sini, maka dapat dikatakan kebijakan-kebijakan pemerintah
yang dinilai terlalu berorientasi pada kepentingan politik semata bisa
saja disebabkan karena banyaknya hajat yang harus diakomodir oleh
Presiden sebagai konsekuensi dari terbentuknya koalisi gemuk pendukung
pemerintah. Hal itulah yang kemudian menyebabkan Presiden kini tak lagi
terlalu memerhatikan kepentingan publik sehingga membuatnya semakin
dipersepsikan sebagai pemimpin yang anti populis.
Pada akhirnya, asumsi-asumsi yang mengatakan Presiden Jokowi menjadi
pemimpin yang semakin anti populis sebagai konsekuensi dari lahirnya
koalisi gemuk pendukung pemerintah belum tentu benar adanya.
Namun yang jelas, jika benar telah terjadi disorientasi kebijakan, ini
dapat menjadi presedenbagi publik untuk nantinya mengingat sosok
Presiden Jokowi sebagai pemimpin yang gagal memperjuangkan kepentingan
rakyat. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (F63)
https://www.youtube.com/watch?v=fEPWF_y9lhI
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di
bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.