Di Balik Jepang Temui Jokowi
A43<https://www.pinterpolitik.com/author/a43-162>-Sunday, October 25,
2020 18:00
https://www.pinterpolitik.com/di-balik-jepang-temui-jokowi
/Presiden Joko Widodo (Jokowi) (kiri) menyambut kunjungan resmi Perdana
Menteri Jepang Yoshihide Suga (kanan) di Istana Kepresidenan, Bogor,
Jawa Barat, pada 20 Oktober lalu. (Foto: Twitter/@JPN_PMO)/
/7 min read/
*Perdana Menteri (PM) Jepang yang baru, Yoshihide Suga,
memutuskan untuk melakukan kunjungan pertamanya ke dua negara
Asia Tenggara – yakni Vietnam dan Indonesia. Mengapa Suga
memutuskan untuk mengunjungi Indonesia dan menemui Jokowi?*
------------------------------------------------------------------------
*PinterPolitik.com <http://pinterpolitik.com/>*
“You can count on me like one, two, three, I'll be there and I know
when I need it I can count on you like four, three, two, you'll be
there. 'Cause that's what friends are supposed to do” – Bruno Mars,
penyanyi asal Amerika Serikat (AS)
Pertemanan yang erat dengan sahabat tidak selalu diisi dengan
kebahagiaan dan hubungan yang damai. Terkadang, perdebatan – bahkan rasa
saling benci – juga terbangun ketika sejumlah persoalan muncul dalam
suatu hubungan persahabatan.
Hubungan persahabatan yang senantiasa diisi oleh/ups/dan/downs/seperti
ini mungkin dapat kita amati dalam sebuah seri Netflix yang berjudul/Sex
Education/(2019-sekarang) ketika persahabatan yang kuat antara Otis
Milburn dan Eric Effong menghadapi sebuah aral yang melintang.
Bagaimana tidak? Otis ternyata menjadi sibuk dengan kegiatan klinik yang
dijalankannya bersama seorang gadis yang bernama Maeve Wiley. Alhasil,
Otis dan Eric yang sehari-hari selalu bersama-sama mulai disibukkan
dengan kegiatan dan persoalan masing-masing.
Ketika Otis sibuk dengan urusan klinik, Eric malah harus menghadapi
persoalan hidupnya sendirian tanpa sahabatnya – seperti ketika dirinya
di-/bully/oleh Adam Groff. Tidak hanya Adam, Eric juga harus menghadapi
persoalan agama dan keluarga yang dinilai tidak sejalan dengan identitas
dirinya.
Mungkin, persahabatan yang mulai longgar seperti ini juga terjadi di
dunia politik – termasuk politik antarnegara. Jepang, misalnya, kerap
dianggap sebagai negara sahabat dalam jangka panjang bagi Indonesia.
Pada tahun 2019 kemarin, peringkat realisasi investasi Jepang baru saja
tergantikan oleh Republik Rakyat Tiongkok (RRT).Mirip dengan peran Eric
yang tergantikan oleh kehadiran Maeve, Jepang bisa jadi tengah
membutuhkan negara sahabatnya, yakni Indonesia.
Alhasil, guna menyelamatkan hubungan persahabatan ini, Perdana Menteri
(PM) Jepang Yoshihide Suga langsung memilih Presiden Joko Widodo
(Jokowi) sebagai salah satu pemimpin negara yang pertama dikunjunginya
setelah baru saja dilantik.
Meski begitu, layaknya teman-teman di sekitar sebuah persahabatan yang
selalu penasaran, publik pun bisa saja memiliki pertanyaan tertentu
terkait pertemuan Suga-Jokowi ini. Mengapa Suga akhirnya memilih
Indonesia sebagai salah satu tujuan lawatan luar negerinya? Lantas,
pesan apa yang ingin disampaikan PM penerus Shinzo Abe tersebut?
*Politik Lawatan Luar Negeri*
Kunjungan luar negeri seperti yang dilakukan Suga ke Indonesia ini
sebenarnya merupakan sebuah hal yang lumrah untuk dilakukan. Namun,
sebagai kepala pemerintahan yang baru, kunjungan pertama biasanya sangat
diantisipasi – khususnya untuk negara-negara yang dianggap istimewa.
Erik Goldstein dari Boston University dalam*tulisannya
<https://www.researchgate.net/publication/233556364_The_Politics_of_the_State_Visit>*yang
berjudul/The Politics of the State Visit/menjelaskan bahwa kunjungan
bilateral merupakan salah satu bentuk diplomasi tertua yang telah
dilakukan sejak zaman dahulu. Dalam tulisan tersebut, dijelaskan pula
bahwa kunjungan pertama sering kali menunjukkan perhatian dari negara
tersebut atas isu tertentu – seperti menjaga hubungan yang stabil.
Goldstein pun memberikan sejumlah contoh dalam tulisannya. Kunjungan
Raja George V dan Raja George VI dari Inggris ke Prancis, misalnya,
akhirnya berbuah pada kesepakatan dan perjanjian kerja sama aliansi
antara kedua negara.
Bukan tidak mungkin, mengacu pada penjelasan Goldstein, Suga juga ingin
membangun hubungan lebih stabil dengan Indonesia. Pasalnya, posisi
Jepang selama ini yang dominan disebut-sebut mulai memudar dengan
kehadiran Tiongkok.
PM Suga: In the summit talks I held with President Joko (@jokowi
<https://twitter.com/jokowi?ref_src=twsrc%5Etfw>), I emphasized that
ASEAN is the pivot for realizing a free and open Indo-Pacific, along
with my intention for Japan to be the leader in contributing to the
peace and prosperity of this region. (1/4)pic.twitter.com/i3ZMsm6YuU
<https://t.co/i3ZMsm6YuU>
— PM's Office of Japan (@JPN_PMO)October 21, 2020
<https://twitter.com/JPN_PMO/status/1318860294249017344?ref_src=twsrc%5Etfw>
Dengan pembangunan hubungan yang lebih stabil, Jepang bisa saja ingin
melalukan/balancing/(pengimbangan) terhadap pengaruh Tiongkok di Asia
Tenggara – termasuk di Indonesia. Politik pengimbangan seperti ini
pernah dijelaskan oleh John Joseph Mearsheimer – profesor Hubungan
Internasional di University of Chicago, Amerika Serikat (AS).
Dalam*tulisannya
<https://www.foreignaffairs.com/articles/united-states/2016-06-13/case-offshore-balancing/>*bersama
Stephen M. Walt yang berjudul/The Case for Offshore Balancing/,
Mearsheimer menjelaskan bahwa/offshore balancing/dapat digunakan untuk
membantu negara lain dalam mengimbangi bangkitnya negara hegemon
lainnya. Indonesia, katakanlah, bisa saja merasa terancam dengan
kebangkitan Tiongkok sebagai negara hegemon di Asia Tenggara.
Meski mulanya strategi ini diusulkan untuk AS, bukan tidak mungkin
Jepang juga mengambil peran. Mearsheimer menjelaskan bahwa
strategi/offshore balancing/dapat dilakukan dengan menyalurkan sejumlah
aset militer kepada negara-negara yang terancam oleh hegemon potensial baru.
Taktik/balancing/seperti ini terlihat dari kerja sama yang diajukan Suga
kepada Jokowi. Dalam keterangan pers, Suga menyebutkan bahwa Jepang dan
Indonesia akan*memulai diskusi rutin
<https://www.voanews.com/east-asia-pacific/japan-indonesia-agree-bolster-defense-economic-ties/>*antar-menteri
luar negeri dan antar-menteri pertahanan untuk mempercepat rencana
penyaluran peralatan dan teknologi pertahanan.
Tentu saja, kunjungan Suga ini memberikan kecemasan tersendiri bagi
Tiongkok. Menlu Tiongkok Wang Yi bahkan menyebutkan bahwa kampanye AS
dan Jepang soal kawasan Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka merupakan
upaya pembangunan*keamanan bersama
<https://www.thejakartapost.com/news/2020/10/21/japans-suga-dismisses-concern-over-asian-nato-in-indo-pacific.html>*baru
ala NATO (North Atlantic Treaty Organization) di Asia-Pasifik.
Namun, terlepas dari tujuan/balancing/ini, apakah mungkin kunjungan Suga
ini menyampaikan pesan lain kepada Indonesia? Kira-kira, sinyal apa yang
ingin diberikan oleh Jepang?
*Sinyal/Battleground/Baru?*
Bukan tidak mungkin, kunjungan Suga dan pertemuannya dengan Jokowi bisa
memberikan sinyal tertentu. Pasalnya, dalam dunia diplomasi, pemberian
sinyal (/signaling/) seperti ini merupakan hal yang lumrah.
Christer Jönsson dan Karin Aggestam dari Lund University dalam*tulisan
mereka
<https://link.springer.com/chapter/10.1007%2F978-1-349-27270-9_9>*yang
berjudul/Trends in Diplomatic Signaling/menjelaskan
bahwa/signaling/mengambil peran krusial dalam diplomasi. Meski
memberikan ambiguitas,/signaling/dinilai dapat memberikan peran yang
kreatif dan konstruktif.
Pemberian sinyal seperti ini juga*diungkapkan
<https://www.beritasatu.com/unggul-wirawan/dunia/689643/rachmat-gobel-kedatangan-pm-jepang-membawa-pesan-khusus/>*oleh
Wakil Ketua DPR Rachmat Gobel yang sempat bertemu langsung dengan Suga
sebagai alumnus Jepang bersama mantan Menteri Koordinator Bidang
Ekonomi, Keuangan, dan Industri (Menko Ekuin) Ginandjar Kartasasmita,
Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Dardak, Guru Besar Fakultas Hukum
Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana, dan Prof. Eniya Listiani Dewi.
Menurut Gobel, kunjungan Suga ini menjadi sinyal dari Jepang bahwa
negara tersebut merupakan mitra yang penting bagi negara-negara Asia
Tenggara, termasuk Indonesia. Jepang dianggap telah menjadi mitra yang
selama 62 tahun ini berkontribusi dalam pembangunan di berbagai sektor.
Sejalan dengan penjelasan Jönsson dan Aggestam, Goldstein juga
menyebutkan bahwa kunjungan resmi kenegaraan juga dapat menjadi momen
untuk menyampaikan pesan atau sinyal tertentu. Setidaknya, terdapat
beberapa jenis dan maksud dari sebuah kunjungan kenegaraan.
Beberapa tipologi kunjungan di antaranya adalah kunjungan katalis
(/catalytic visit/), kunjungan untuk membangun aliansi
(/alliance-building visit/), serta kunjungan untuk menentukan status,
penerimaan, dan rekonsiliasi (/status/,/acceptance/,/and reconciliation
visit/). Menariknya, terdapat pula jenis kunjungan yang disebut
sebagai/trade sweetener/(pemanis perdagangan) – ketika kunjungan
dilancarkan berdasarkan alasan transaksi perdagangan antarnegara.
Bukan tidak mungkin, kunjungan Suga ke Indonesia turut meliputi
tipologi/trade sweetener/. Pasalnya, baik Suga maupun Jokowi menjadikan
investasi dan kerja sama ekonomi sebagai salah satu fokus utama pembahasan.
Uniknya lagi, Indonesia dan Jepang kini tengah memiliki persoalan baru
di bidang yang selama ini negara yang dipimpin Suga itu dominan, yakni
sektor otomotif. Ini terlihat dari harapan yang diungkapkan Toyota
ketika Suga bertemu Jokowi, yaitu agar kerja sama otomotif tetap
diutamakan – termasuk di bidang mobil listrik.
Bagaimana tidak? Akhir-akhir ini, pemerintahan Jokowi dan Jepang
disebut-sebut tengah beradu pendapat terkait keinginan Menteri
Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar
Pandjaitan yang ingin mengembangkan industri kendaraan listrik di Indonesia.
Muhammad Zulfikar Rakhmat dan dua rekan penulisnya dalam tulisan mereka
di Modern Diplomacy menyebutkan bahwa isu industri mobil listrik ini
dapat menjadi persoalan baru bagi hubungan Indonesia-Jepang – dengan
munculnya investasi dan kerja sama dari Tiongkok dan Korea Selatan dalam
industri ini. Bahkan, isu ini dinilai dapat menjadi*/battleground baru
<https://moderndiplomacy.eu/2019/10/21/indonesias-new-electric-car-may-disrupt-its-relations-with-japan/>/*antara
kedua negara ini.
Bisa jadi, isu ini juga menjadi salah satu sinyal yang ingin diberikan
oleh Suga ketika bertemu Jokowi, yakni bagaimana peran Jepang dalam
sektor industri dan infrastruktur. Jepang pun selama ini juga menjadi
negara yang dominan di sektor otomotif.
Dalam sejarahnya, Jepang sendiri dinilai telah*memainkan politik
tertentu
<https://pinterpolitik.com/pemerintahan-jokowi-disusupi-jepang-1>*agar
industri otomotif negara itu tetap mendominasi – mulai dari mencegah
adanya transfer teknologi hingga pelaporan melalui institusi
internasional. Boleh jadi, Jepang tidak akan diam saja ketika muncul
upaya dari pemerintahan Jokowi yang selama ini ingin mengimbangi
pengaruh negara tersebut yang dinilai terlalu dominan.
Namun, meski begitu, gambaran kemungkinan tersebut belum tentu
melatarbelakangi kunjungan Suga ke Indonesia. Yang jelas, Jepang sendiri
tetap akan menilai Indonesia sebagai mitra strategis dengan kebangkitan
Tiongkok yang semakin dianggap mengancam – entah mengancam kepentingan
strategis atau ekonomi. (A43)