RR vs JK: Masalah Radikal Filsafat Ekonomi?R53 - Friday, November 13, 2020 22:00
https://www.pinterpolitik.com/rr-vs-jk-masalah-radikal-filsafat-ekonomi
 
Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (kiri) dan mantan Menteri Koordinator Bidang 
Kemaritiman Rizal Ramli (kanan) (foto: Republika)
8 min read

Baru-baru ini Rizal Ramli (RR) kembali memberikan kritik terhadap Jusuf Kalla 
(JK). Tegasnya, JK telah memanfaatkan posisinya sebagai Wakil Presiden untuk 
meningkatkan drastis kekayaan Kalla Group. Di luar analisis terkait persoalan 
oligarki, tampaknya kasus JK telah mengangkat perdebatan dalam filsafat 
ekonomi. Apakah itu?

--------------------------------------------------------------------------------

PinterPolitik.com

Peperangan oral antara Rizal Ramli (RR) dan Jusuf Kalla (JK) terus berlanjut. 
Terbaru, disinyalir untuk menanggapi pernyataan JK ketika diwawancarai Karni 
Ilyas, RR menggunakan istilah Peng-Peng alias Penguasa-cum-Pengusaha untuk 
mengkritik JK.

Tegas RR, JK telah menggunakan posisinya sebagai Wakil Presiden (Wapres) untuk 
memperkaya Kalla Group – grup bisnis yang dipimpinnya. Mantan Menko Maritim 
tersebut misalnya mencontohkan kenaikan drastis kekayaan Kalla Group setelah JK 
menjadi Wapres.

Pada 2011 Kalla Group memiliki kekayaan US$ 150 juta, menempati posisi 107 di 
Indonesia. Namun pada 2016, atau setelah dua tahun menjadi Wapres, kekayaan 
Kalla Group meningkat drastis menjadi US$ 740 juta dan menempati posisi 49 
terkaya di Indonesia.

Melihat datanya, kekayaan JK memang melesat jauh setelah menjadi Wapres. 
Berdasarkan Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) ketika JK maju 
bersama Joko Widodo (Jokowi) pada 2014, pebisnis asal Makassar ini melaporkan 
kekayaan sebesar Rp 314,5 miliar. Pada jumlah kekayaan 2018 yang dilaporkan ke 
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Maret 2019, kekayaan JK melesat jauh, 
besarnya sampai Rp 900,8 miliar.

Lebih menarik lagi, RR mengungkapkan alasan mengapa Susilo Bambang Yudhoyono 
(SBY) tidak menunjuk kembali JK sebagai pasangannya di Pilpres 2009. 
Menurutnya, Ring 1 SBY kesal dengan JK karena kekayaannya tiba-tiba melesat 
setelah menjadi Wapres. Lagi-lagi, data menunjukkan pembenaran. Pada 2004 
ketika maju mendampingi SBY, kekayaan JK dilaporkan sebesar Rp 122,6 miliar. 
Kemudian pada 2009 ketika maju sebagai calon presiden, kekayaannya meningkat 
drastis menjadi Rp 300 miliar.

Melihat data yang ada, terlihat jelas JK tidak mengalami kenaikan kekayaan yang 
signifikan ketika tidak menjadi Wapres. Pada 2009 sampai 2014, kenaikan 
kekayaannya hanya sekitar Rp 14 miliar. Suka atau tidak, data tersebut menjadi 
pembenaran yang kuat atas pernyataan RR yang menyebut JK menggunakan posisinya 
sebagai RI-2 untuk meraup kekayaan.

Lantas, apa yang dapat dimaknai dari kasus JK ini?


Negara dan Konglomerasi
Endy M. Bayuni dalam tulisannya When Business and Government Mix Too Well in 
Indonesia memberikan penjelasan menarik yang mungkin membantu kita untuk lebih 
memahami kasus JK. Menurutnya, alih-alih memperbaiki konglomerasi yang terjadi 
di bawah pemerintahan Soeharto, di era reformasi saat ini, pertalian antara 
pebisnis dan pejabat pemerintahan justru lebih masif terjadi, bahkan menjadi 
realitas yang tidak terbantahkan.

Jika pada Orde Baru Soeharto dengan kewenangannya memperkaya taipan tertentu 
yang dipilihnya, seperti Sudono Salim pendiri dari Salim Group. Saat ini, 
konglomerasi taipan atau pengusaha justru terjadi di mana-mana karena 
pencampuran bisnis dengan politik telah menjadi fakta kehidupan dalam demokrasi 
Indonesia.

Dengan kata lain, reformasi yang terjadi tampaknya tidak mengubah konglomerasi 
yang menjadi salah satu kritik terhadap rezim Soeharto. Mental yang ada, yakni 
menggunakan politik untuk memperkaya diri tetap terjadi. Apalagi, dengan tidak 
adanya sosok kuat seperti Soeharto, tidak terdapat kontrol kuat yang mencegah 
agar setiap pejabat yang tengah berkuasa tidak memanfaatkan kekuasaannya untuk 
memperkaya diri.

Melihat apa yang terjadi di negara lain, seperti Korea Selatan (Korsel), 
strategi konglomerasi yang dilakukan Soeharto sebenarnya memiliki pembenaran. 
Eleanor Albert dalam tulisannya South Korea’s Chaebol Challenge menjelaskan 
sejak tahun 1960-an pemerintah Korsel telah melakukan konglomerasi dengan 
memperbesar family bisnis yang disebut Chaebol.

Dalam rangka membantu mengembangkan Chaebol, pemerintah Korsel memberikan 
berbagai subsidi, pinjaman, hingga insentif pajak karena Chaebol tersebut 
dijadikan pilar pertumbuhan ekonomi negeri Ginseng. Samsung yang didirikan pada 
tahun 1938 adalah salah satu Chaebol paling besar dan menguntungkan saat ini. 
Awalnya, Samsung adalah perusahaan kecil yang melakukan ekspor berbagai barang, 
seperti buah-buahan, ikan, dan mi instan. Namun sekarang, dengan bantuan 
pemerintah, Samsung telah menjadi salah satu ikon Korsel yang paling dikenal 
dunia.

Jika Korsel memiliki Chaebol, maka Jepang memiliki Keiretsu. Brian Twomey dalam 
tulisannya Understanding Japanese Keiretsu menyebutkan bahwa sistem Keiretsu 
merupakan revisi dari Zaibatsu yang diterapkan sejak tahun 1600-an sampai 
kekalahan Jepang atas Amerika Serikat (AS) di penghujung Perang Dunia II.

Sama dengan Chaebol, Keiretsu juga merupakan family bisnis yang didukung oleh 
pemerintah Jepang agar menjadi pilar pertumbuhan ekonomi negara. Mitsubishi dan 
Toyota, yang namanya kerap kita lihat di berbagai produk mobil di Indonesia 
adalah Keiretsu terbesar di negeri Sakura.

Menganalisis asumsi ekonominya, Chaebol, Keiretsu, ataupun konglomerasi 
Soeharto hendak menerapkan mazhab ekonomi yang disebut dengan trickle down 
effect atau trickle down economics. Trickle down effect adalah mazhab ekonomi 
yang memiliki asumsi bahwa pertumbuhan yang dihasilkan oleh pengusaha swasta 
(khususnya pengusaha besar) akan dengan sendirinya “menetes ke bawah”.

Metaforanya adalah mengisi gelas dengan air. Jika terus-menerus diisi, air 
dalam gelas akan tumpah ke bawah dan membasahi apa yang ada. Pada praktiknya, 
pemerintah memprioritaskan pemberian subsidi atau bantuan kepada usaha makro 
(raksasa).

Di bawah pemerintahan Jokowi, trickle down effect sebenarnya juga diterapkan. 
Ini terlihat jelas dari kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty) dan 
pengesahan Undang-undang Cipta Lapangan Kerja (UU Ciptaker) baru-baru ini guna 
menarik investor dan mempermudah izin usaha.

Akan tetapi, bedanya dari Chaebol dan Keiretsu, para pengusaha besar di 
Indonesia justru masuk ke dalam pemerintahan. Dalam susunan kabinet 
Jokowi-Ma’ruf Amin, terdapat nama pengusaha-pengusaha besar seperti Menko 
Perekonomian Airlangga Hartarto, Menhan Prabowo Subianto, Mendikbud Nadiem 
Makariem, hingga Menteri BUMN Erick Thohir.

Kembali pada kasus JK, jika Ia berada di luar pemerintahan, sebenarnya tidak 
menjadi masalah jika pemerintah memang berusaha untuk memperbesar Kalla Group 
guna sebagai pilar ekonomi negara seperti yang dilakukan di Korsel dan Jepang. 
Akan tetapi, pada praktiknya, politikus senior Partai Golkar tersebut justru 
terlihat mengambil keuntungan dari posisinya sebagai RI-2. Data penambahan 
kekayaan JK jelas menunjukkan hal tersebut.

Di luar persoalan pertalian pengusaha dengan pejabat yang telah dipaparkan, apa 
yang JK lakukan sebenarnya adalah masalah radikal yang masih belum terjawab 
dalam filsafat ekonomi. Masalah apakah itu?


Ekonomi Makro vs Ekonomi Mikro
Dalam ilmu ekonomi, dikenal dua macam kategori, yakni ekonomi mikro dan ekonomi 
makro. Ekonomi mikro adalah studi tentang pengambilan keputusan yang dilakukan 
oleh individu dan bisnis. Sedangkan ekonomi makro adalah studi tentang 
pengambilan keputusan yang dilakukan oleh negara dan pemerintah. Bedanya jelas, 
terkait cakupan.

Kendati keduanya saling melengkapi, saat ini ditemukan persoalan radikal dalam 
kedua kategori ekonomi tersebut, yakni kebijakan dan asumsi yang berlaku di 
ekonomi mikro justru tidak berlaku pada ekonomi makro, begitu pula sebaliknya.

Senada, dosen Filsafat Ekonomi Universitas Indonesia (UI), Herdito Sandi 
Pratama juga menerangkan bahwa kedua kategori ekonomi tersebut memiliki konsep 
dan logika yang memang berbeda. Pada level individu (ekonomi mikro), misalnya, 
menabung merupakan kebijakan yang tepat untuk mengakumulasi kekayaan individu. 
Akan tetapi, pada level negara (ekonomi makro) menabung justru buruk bagi 
negara karena ekonomi menjadi tidak berputar.  

Dalam berbagai studi terbaru ekonomi, khususnya ekonomi perilaku (behavioural 
economics), juga jamak membahas mengapa agregasi agen-agen mikro, yakni 
individu, justru menciptakan ketidakpastian dalam pasar (ekonomi makro). Dalam 
disertasinya yang berjudul Kritik terhadap Individualisme Metodologis dalam 
Ilmu Ekonomi, Sandi menerangkan masalah tersebut.

Tulisnya, rasionalitas individu yang menjadi fondasi dari teori, prediksi, dan 
rekomendasi ekonomi justru menjadi masalah filosofis yang radikal, karena pada 
praktiknya individu diandaikan mestilah merupakan makhluk yang rasional. 
Kendati dalam ilmu ekonomi rasionalitas sebenarnya hanya dijadikan sebagai 
ideal type – mengutip filsuf ekonomi Friedrich August Hayek – atau 
irasionalitas individu pada dasarnya diakui, namun pada pembangunan 
teoretisnya, pasar memang diasumsikan sebagai mekanisme rasional.

Imbasnya mudah dijelaskan. Mekanisme rasional yang menelurkan kebijakan ekonomi 
makro tersebut gagal dalam menangkap irasionalitas individu dalam permodelan 
ataupun teoretisasinya. 

Sama dengan disertasi Sandi, dalam buku yang berjudul Kapitalisme Yang Layak 
karya Sebastian Dullien, Hansjörg Herr, dan Christian Kellermann, asumsi 
rasionalitas individu, atau yang mereka sebut sebagai pendekatan “ekspektasi 
rasional” telah menjadi akar dari ketidakpastian pasar itu sendiri.

Mengacu pada perdebatan tersebut, kita dapat menariknya untuk menjelaskan kasus 
JK. Di sini, kita dapat mengatakan bahwa JK selaku individu, tampaknya telah 
menerapkan logika ekonomi mikro, yakni Ia memang harus memperkaya diri dan 
Kalla Group. Akan tetapi, persoalannya menjadi pelik karena Ia yang merupakan 
bagian dari pemerintahan justru tidak menggunakan logika ekonomi makro, di mana 
kebijakan ekonomi seharusnya ditujukan kepada masyarakat umum.

Singkatnya, berbeda dengan Chaebol dan Keiretsu yang menggunakan logika ekonomi 
makro, yakni untuk membangun pilar ekonomi negara, JK justru terjebak dalam 
logika ekonomi mikro sehingga memanfaatkan posisinya untuk mengakumulasi 
kekayaan. Dengan kata lain, JK yang masuk dalam pemerintahan tampaknya 
diasumsikan akan berlaku rasional karena ekonomi makro mengasumsikan pasar 
bergerak secara rasional.

Di sini masalahnya adalah, sistem ekonomi-politik di Indonesia tidak mampu 
menyediakan aturan kuat untuk menjaga agar kasus seperti JK, di mana pengusaha 
atau individu yang masuk ke pemerintahan tidak menerapkan logika ekonomi mikro 
ketika memiliki kekuasaan.

Di luar analisis teoretis yang ada, apa yang terjadi antara RR dan JK memang 
tidak diketahui secara pasti. Benar tidaknya JK memperkaya diri dengan 
memanfaatkan posisinya sebagai Wapres seperti tudingan RR juga sukar 
dibuktikan. Yang pasti adalah data memang menunjukkan terdapat kenaikan drastis 
kekayaan mantan Ketua Umum Partai Golkar tersebut sewaktu menjabat. (R53)

Kirim email ke