Ya, hebatnya Chaebol Korea Selatan tidak jadi cebol dan Keiretsu Jepang
tidak jadi digeret asu...

Op za 14 nov. 2020 om 01:10 schreef Chan CT <sa...@netvigator.com>:

> RR vs JK: Masalah Radikal Filsafat Ekonomi?
> *R53 * <https://www.pinterpolitik.com/author/r53-203>*- Friday, November
> 13, 2020 22:00*
>
> https://www.pinterpolitik.com/rr-vs-jk-masalah-radikal-filsafat-ekonomi
> *Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (kiri) dan mantan Menteri Koordinator
> Bidang Kemaritiman Rizal Ramli (kanan) (foto: Republika)*
>
> *8 min read*
> *Baru-baru ini Rizal Ramli (RR) kembali memberikan kritik terhadap Jusuf
> Kalla (JK). Tegasnya, JK telah memanfaatkan posisinya sebagai Wakil
> Presiden untuk meningkatkan drastis kekayaan Kalla Group. Di luar analisis
> terkait persoalan oligarki, tampaknya kasus JK telah mengangkat perdebatan
> dalam filsafat ekonomi. Apakah itu?*
> ------------------------------
>
> *PinterPolitik.com* <https://www.pinterpolitik.com/a>
>
> Peperangan oral antara Rizal Ramli (RR) dan Jusuf Kalla (JK) terus
> berlanjut. Terbaru, disinyalir untuk menanggapi pernyataan JK ketika
> diwawancarai Karni Ilyas, RR menggunakan *istilah*
> <https://wartakota.tribunnews.com/2020/11/12/dikritik-jk-rizal-ramli-ngaku-anak-yatim-piatu-sejak-6-tahun-biasa-dibully-ini-serangan-balikmya?page=all>
>  Peng-Peng alias Penguasa-cum-Pengusaha untuk mengkritik JK.
>
> Tegas RR, JK telah menggunakan posisinya sebagai Wakil Presiden (Wapres)
> untuk memperkaya Kalla Group – grup bisnis yang dipimpinnya. Mantan Menko
> Maritim tersebut misalnya mencontohkan kenaikan drastis kekayaan Kalla
> Group setelah JK menjadi Wapres.
>
> Pada 2011 Kalla Group memiliki kekayaan US$ 150 juta, menempati posisi 107
> di Indonesia. Namun pada 2016, atau setelah dua tahun menjadi Wapres,
> kekayaan Kalla Group meningkat drastis menjadi US$ 740 juta dan menempati
> posisi 49 terkaya di Indonesia.
>
> Melihat datanya, kekayaan JK memang melesat jauh setelah menjadi Wapres.
> Berdasarkan Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) ketika JK maju
> bersama Joko Widodo (Jokowi) pada 2014, pebisnis asal Makassar ini
> melaporkan kekayaan *sebesar*
> <https://nasional.kompas.com/read/2009/05/29/15273635/Inilah.Daftar.Kekayaan.Capres.dan.Cawapres>
>  Rp 314,5 miliar. Pada jumlah kekayaan 2018 yang dilaporkan ke Komisi
> Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Maret 2019, kekayaan JK melesat jauh,
> besarnya *sampai*
> <https://www.suara.com/otomotif/2019/10/14/103924/kekayaannya-rp-900-miliar-koleksi-mobil-wapres-jusuf-kalla-tak-neko-neko>
>  Rp 900,8 miliar.
>
> Lebih menarik lagi, RR mengungkapkan alasan mengapa Susilo Bambang
> Yudhoyono (SBY) tidak menunjuk kembali JK sebagai pasangannya di Pilpres
> 2009. Menurutnya, Ring 1 SBY kesal dengan JK karena kekayaannya tiba-tiba
> melesat setelah menjadi Wapres. Lagi-lagi, data menunjukkan pembenaran.
> Pada 2004 ketika maju mendampingi SBY, kekayaan JK dilaporkan *sebesar*
> <https://www.hukumonline.com/berita/baca/hol10429/daftar-kekayaan-caprescawapres-kalla-terkaya-amien-termiskin/>
>  Rp 122,6 miliar. Kemudian pada 2009 ketika maju sebagai calon presiden,
> kekayaannya meningkat drastis *menjadi*
> <https://edukasi.kompas.com/read/2009/05/19/13312239/kekayaan.jk.capai.rp..300.miliar>
>  Rp 300 miliar.
>
> Melihat data yang ada, terlihat jelas JK tidak mengalami kenaikan kekayaan
> yang signifikan ketika tidak menjadi Wapres. Pada 2009 sampai 2014,
> kenaikan kekayaannya hanya sekitar Rp 14 miliar. Suka atau tidak, data
> tersebut menjadi pembenaran yang kuat atas pernyataan RR yang menyebut JK
> menggunakan posisinya sebagai RI-2 untuk meraup kekayaan.
>
> Lantas, apa yang dapat dimaknai dari kasus JK ini?
> [image: 圖片]
> *Negara dan Konglomerasi*
>
> Endy M. Bayuni dalam *tulisannya*
> <https://www.thejakartapost.com/academia/2018/11/28/when-business-and-government-mix-too-well-in-indonesia.html>
>  *When Business and Government Mix Too Well in Indonesia* memberikan
> penjelasan menarik yang mungkin membantu kita untuk lebih memahami kasus
> JK. Menurutnya, alih-alih memperbaiki konglomerasi yang terjadi di bawah
> pemerintahan Soeharto, di era reformasi saat ini, pertalian antara pebisnis
> dan pejabat pemerintahan justru lebih masif terjadi, bahkan menjadi
> realitas yang tidak terbantahkan.
>
> Jika pada Orde Baru Soeharto dengan kewenangannya memperkaya taipan
> tertentu yang dipilihnya, seperti Sudono Salim pendiri dari Salim Group.
> Saat ini, konglomerasi taipan atau pengusaha justru terjadi di mana-mana
> karena pencampuran bisnis dengan politik telah menjadi fakta kehidupan
> dalam demokrasi Indonesia.
>
> Dengan kata lain, reformasi yang terjadi tampaknya tidak mengubah
> konglomerasi yang menjadi salah satu kritik terhadap rezim Soeharto. Mental
> yang ada, yakni menggunakan politik untuk memperkaya diri tetap terjadi.
> Apalagi, dengan tidak adanya sosok kuat seperti Soeharto, tidak terdapat
> kontrol kuat yang mencegah agar setiap pejabat yang tengah berkuasa tidak
> memanfaatkan kekuasaannya untuk memperkaya diri.
>
> Melihat apa yang terjadi di negara lain, seperti Korea Selatan (Korsel),
> strategi konglomerasi yang dilakukan Soeharto sebenarnya memiliki
> pembenaran. Eleanor Albert dalam *tulisannya*
> <https://www.cfr.org/backgrounder/south-koreas-chaebol-challenge> *South
> Korea’s Chaebol Challenge* menjelaskan sejak tahun 1960-an pemerintah
> Korsel telah melakukan konglomerasi dengan memperbesar *family* bisnis
> yang disebut *Chaebol*.
>
> Dalam rangka membantu mengembangkan *Chaebol*, pemerintah Korsel
> memberikan berbagai subsidi, pinjaman, hingga insentif pajak karena
> *Chaebol* tersebut dijadikan pilar pertumbuhan ekonomi negeri Ginseng.
> Samsung yang didirikan pada tahun 1938 adalah salah satu *Chaebol* paling
> besar dan menguntungkan saat ini. Awalnya, Samsung adalah perusahaan kecil
> yang melakukan ekspor berbagai barang, seperti buah-buahan, ikan, dan mi
> instan. Namun sekarang, dengan bantuan pemerintah, Samsung telah menjadi
> salah satu ikon Korsel yang paling dikenal dunia.
>
> Jika Korsel memiliki *Chaebol*, maka Jepang memiliki *Keiretsu*. Brian
> Twomey dalam *tulisannya*
> <https://www.investopedia.com/articles/economics/09/japanese-keiretsu.asp>
>  *Understanding Japanese Keiretsu* menyebutkan bahwa sistem *Keiretsu* 
> merupakan
> revisi dari *Zaibatsu* yang diterapkan sejak tahun 1600-an sampai
> kekalahan Jepang atas Amerika Serikat (AS) di penghujung Perang Dunia II.
>
> Sama dengan *Chaebol*, *Keiretsu* juga merupakan *family* bisnis yang
> didukung oleh pemerintah Jepang agar menjadi pilar pertumbuhan ekonomi
> negara. Mitsubishi dan Toyota, yang namanya kerap kita lihat di berbagai
> produk mobil di Indonesia adalah *Keiretsu* terbesar di negeri Sakura.
>
> Menganalisis asumsi ekonominya, *Chaebol*, *Keiretsu*, ataupun
> konglomerasi Soeharto hendak menerapkan mazhab ekonomi yang disebut dengan
>  *trickle down effect* atau *trickle down economics*. *Trickle down
> effect* adalah mazhab ekonomi yang memiliki asumsi bahwa pertumbuhan yang
> dihasilkan oleh pengusaha swasta (khususnya pengusaha besar) akan dengan
> sendirinya “menetes ke bawah”.
>
> Metaforanya adalah mengisi gelas dengan air. Jika terus-menerus diisi, air
> dalam gelas akan tumpah ke bawah dan membasahi apa yang ada. Pada
> praktiknya, pemerintah memprioritaskan pemberian subsidi atau bantuan
> kepada usaha makro (raksasa).
>
> Di bawah pemerintahan Jokowi, *trickle down effect *sebenarnya juga
> diterapkan. Ini terlihat jelas dari kebijakan pengampunan pajak (*tax
> amnesty*) dan pengesahan Undang-undang Cipta Lapangan Kerja (UU Ciptaker)
> baru-baru ini guna menarik investor dan mempermudah izin usaha.
>
> Akan tetapi, bedanya dari *Chaebol* dan *Keiretsu*, para pengusaha besar
> di Indonesia justru masuk ke dalam pemerintahan. Dalam susunan kabinet
> Jokowi-Ma’ruf Amin, terdapat nama pengusaha-pengusaha besar seperti Menko
> Perekonomian Airlangga Hartarto, Menhan Prabowo Subianto, Mendikbud Nadiem
> Makariem, hingga Menteri BUMN Erick Thohir.
>
> Kembali pada kasus JK, jika Ia berada di luar pemerintahan, sebenarnya
> tidak menjadi masalah jika pemerintah memang berusaha untuk memperbesar
> Kalla Group guna sebagai pilar ekonomi negara seperti yang dilakukan di
> Korsel dan Jepang. Akan tetapi, pada praktiknya, politikus senior Partai
> Golkar tersebut justru terlihat mengambil keuntungan dari posisinya sebagai
> RI-2. Data penambahan kekayaan JK jelas menunjukkan hal tersebut.
>
> Di luar persoalan pertalian pengusaha dengan pejabat yang telah
> dipaparkan, apa yang JK lakukan sebenarnya adalah masalah radikal yang
> masih belum terjawab dalam filsafat ekonomi. Masalah apakah itu?
> [image: 圖片]
> *Ekonomi Makro vs Ekonomi Mikro*
>
> Dalam ilmu ekonomi, dikenal dua macam kategori, yakni ekonomi mikro dan
> ekonomi makro. Ekonomi mikro adalah studi tentang pengambilan keputusan
> yang dilakukan oleh individu dan bisnis. Sedangkan ekonomi makro adalah
> studi tentang pengambilan keputusan yang dilakukan oleh negara dan
> pemerintah. Bedanya jelas, terkait cakupan.
>
> Kendati keduanya saling melengkapi, saat ini ditemukan persoalan radikal
> dalam kedua kategori ekonomi tersebut, yakni kebijakan dan asumsi yang
> berlaku di ekonomi mikro justru tidak berlaku pada ekonomi makro, begitu
> pula sebaliknya.
>
> Senada, dosen Filsafat Ekonomi Universitas Indonesia (UI), Herdito Sandi
> Pratama juga menerangkan bahwa kedua kategori ekonomi tersebut memiliki
> konsep dan logika yang memang berbeda. Pada level individu (ekonomi mikro),
> misalnya, menabung merupakan kebijakan yang tepat untuk mengakumulasi
> kekayaan individu. Akan tetapi, pada level negara (ekonomi makro) menabung
> justru buruk bagi negara karena ekonomi menjadi tidak berputar.
>
> Dalam berbagai studi terbaru ekonomi, khususnya ekonomi perilaku (*behavioural
> economics*), juga jamak membahas mengapa agregasi agen-agen mikro, yakni
> individu, justru menciptakan ketidakpastian dalam pasar (ekonomi makro).
> Dalam disertasinya yang berjudul *Kritik terhadap Individualisme
> Metodologis dalam Ilmu Ekonomi*, Sandi menerangkan masalah tersebut.
>
> Tulisnya, rasionalitas individu yang menjadi fondasi dari teori, prediksi,
> dan rekomendasi ekonomi justru menjadi masalah filosofis yang radikal,
> karena pada praktiknya individu diandaikan mestilah merupakan makhluk yang
> rasional. Kendati dalam ilmu ekonomi rasionalitas sebenarnya hanya
> dijadikan sebagai *ideal type* – mengutip filsuf ekonomi Friedrich August
> Hayek – atau irasionalitas individu pada dasarnya diakui, namun pada
> pembangunan teoretisnya, pasar memang diasumsikan sebagai mekanisme
> rasional.
>
> Imbasnya mudah dijelaskan. Mekanisme rasional yang menelurkan kebijakan
> ekonomi makro tersebut gagal dalam menangkap irasionalitas individu dalam
> permodelan ataupun teoretisasinya.
>
> Sama dengan disertasi Sandi, dalam buku yang berjudul *Kapitalisme Yang
> Layak* karya Sebastian Dullien, Hansjörg Herr, dan Christian Kellermann,
> asumsi rasionalitas individu, atau yang mereka sebut sebagai pendekatan
> “ekspektasi rasional” telah menjadi akar dari ketidakpastian pasar itu
> sendiri.
>
> Mengacu pada perdebatan tersebut, kita dapat menariknya untuk menjelaskan
> kasus JK. Di sini, kita dapat mengatakan bahwa JK selaku individu,
> tampaknya telah menerapkan logika ekonomi mikro, yakni Ia memang harus
> memperkaya diri dan Kalla Group. Akan tetapi, persoalannya menjadi pelik
> karena Ia yang merupakan bagian dari pemerintahan justru tidak menggunakan
> logika ekonomi makro, di mana kebijakan ekonomi seharusnya ditujukan kepada
> masyarakat umum.
>
> Singkatnya, berbeda dengan *Chaebol* dan *Keiretsu* yang menggunakan
> logika ekonomi makro, yakni untuk membangun pilar ekonomi negara, JK justru
> terjebak dalam logika ekonomi mikro sehingga memanfaatkan posisinya untuk
> mengakumulasi kekayaan. Dengan kata lain, JK yang masuk dalam pemerintahan
> tampaknya diasumsikan akan berlaku rasional karena ekonomi makro
> mengasumsikan pasar bergerak secara rasional.
>
> Di sini masalahnya adalah, sistem ekonomi-politik di Indonesia tidak mampu
> menyediakan aturan kuat untuk menjaga agar kasus seperti JK, di mana
> pengusaha atau individu yang masuk ke pemerintahan tidak menerapkan logika
> ekonomi mikro ketika memiliki kekuasaan.
>
> Di luar analisis teoretis yang ada, apa yang terjadi antara RR dan JK
> memang tidak diketahui secara pasti. Benar tidaknya JK memperkaya diri
> dengan memanfaatkan posisinya sebagai Wapres seperti tudingan RR juga sukar
> dibuktikan. Yang pasti adalah data memang menunjukkan terdapat kenaikan
> drastis kekayaan mantan Ketua Umum Partai Golkar tersebut sewaktu menjabat.
> (R53)
>
> --
> Anda menerima pesan ini karena berlangganan grup "GELORA45" di Google Grup.
> Untuk berhenti berlangganan dan berhenti menerima email dari grup ini,
> kirim email ke gelora1945+unsubscr...@googlegroups.com.
> Untuk melihat diskusi ini di web, kunjungi
> https://groups.google.com/d/msgid/gelora1945/935C7485A11D470784ED9A574B2E12AB%40A10Live
> <https://groups.google.com/d/msgid/gelora1945/935C7485A11D470784ED9A574B2E12AB%40A10Live?utm_medium=email&utm_source=footer>
> .
>

Kirim email ke