Oposisi, Habib Rizieq, dan Perangkap Ideologi?F63 - Friday, November 13, 2020 
13:00
https://www.pinterpolitik.com/oposisi-habib-rizieq-dan-perangkap-ideologi
 
Habib Rizieq Shihab (Foto: CNN Indonesia)
7 min read

Kembalinya Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab ke 
Indonesia ditangkap sebagai sinyal bangkitnya kekuatan oposisi. Di tengah 
surplus kekecewaan terhadap pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-Ma’ruf Amin, 
kehadiran oposisi memang dibutuhkan sebagai corong publik untuk menyuarakan 
ketidakadilan. Akankah Habib Rizieq  mampu memenuhi ekspektasi tersebut?

--------------------------------------------------------------------------------

PinterPolitik.com

Tak dapat disangkal, masifnya sambutan atas kepulangan Imam Besar Front Pembela 
Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab ke Indonesia merupakan sinyal kuat yang 
mengindikasikan bahwa pengaruh sang ulama memang belumlah redup. 

Setelah keriuhan tumpah ruah di Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta 10 
November lalu, kini kediaman Habib Rizieq di bilangan Petamburan, Jakarta, 
seolah menjadi magnet raksasa yang menarik para tokoh, terutama yang dianggap 
berseberangan dengan pemerintah, untuk berkunjung.

Anies Baswedan dapat dikatakan menjadi salah satu sosok prominen pertama yang 
menyambangi Habib Rizieq. Tentu saja, gerak cepat Gubernur DKI Jakarta itu pun 
tak luput dari pro-kontra.

Sebagian pihak memandang wajar pertemuan tersebut mengingat betapa besarnya 
peran Habib Rizieq dan FPI dalam mengantarkan Anies menuju kursi DKI-1. Tak 
sedikit juga yang bahkan mengait-ngaitkannya dengan kontestasi Pilpres 2024 
yang notabene masih terlalu pagi untuk dibahas.

Namun di sisi lain, Anies juga tak bisa menghindari cibiran-cibiran karena 
dianggap memberikan contoh buruk bagi penanganan pandemi Covid-19 lantaran 
mengunjungi seseorang yang masih dalam masa karantina mandiri.

Kendati begitu, langkah Anies itu tetap diikuti tokoh-tokoh lainnya. Amien 
Rais, yang juga baru saja memperkenalkan logo Partai Ummat juga menyambangi 
kediaman Habib Rizieq, disusul oleh elite-elite Partai Keadilan Sejahtera (PKS).


Terlepas dari polemik yang ada, tak dapat dipungkiri, fenomena ini seolah 
menyiratkan bahwa kekuatan para oposisi pemerintah tengah berkonsolidasi 
kembali di belakang Habib Rizieq. Sejumlah pengamat politik bahkan menilai 
kehadirannya akan memperkuat gerakan rakyat yang saat ini tengah jengah dengan 
pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dengan kebijakan-kebijakan anti-populisnya.

Simbolisasi sosok Habib Rizieq sebagai pimpinan kekuatan oposisi diafirmasi 
oleh pengamat politik yang juga vokal mengkritik pemerintah, Rocky Gerung. Ia 
optimistis, Habib Rizieq bersama eks panglima TNI Gatot Nurmantyo akan 
memberikan masukan solutif seputar persoalan negara, seperti kesetaraan dan 
keadilan. Lantas mampukah Habib Rizieq memenuhi ekspektasi tersebut?



Gairahkan Oposisi
Sejak Partai Gerindra bergabung dengan kubu pemerintah, kekuatan oposisi di 
parlemen bisa dibilang nyaris kehilangan tajinya. Bahkan sejumlah pengamat 
menilai DPR kini seperti macan ompong lantaran selalu seiya-sekata dengan 
pemerintah.

Getir yang dirasakan publik akibat kekosongan peran oposisi pun diperparah 
dengan kebijakan-kebijakan pemerintahan Jokowi yang semakin dianggap tak 
berpihak kepada rakyat. Belum lagi carut-marutnya penanganan pandemi Covid-19 
turut menambah beban psikis publik.

Pengamat Politik Ray Rangkuti menilai serangkaian gerakan masyarakat yang 
menolak Undang-undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Lapangan Kerja 
(Ciptaker) merupakan bentuk akumulasi kekecewaan publik terhadap pemerintah.. 
Namun sayangnya, ekspresi kekecewaan itu dibalas pemerintah melalui tindakan 
represif aparat dengan menangkap-nangkapi para aktivis yang vokal menyuarakan 
ketidakadilan.

Di tengah kebuntuan itu, kehadiran Habib Rizieq sebagai sosok yang selama ini 
keras menentang pemerintah bisa saja membawa harapan baru kepada publik. 
Pengamat politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Adi 
Prayitno menilai Habib Rizieq bisa menjadi amunisi baru bagi tokoh-tokoh atau 
partai politik yang selama ini berseberangan dengan pemerintahan Jokowi-Ma'ruf 
Amin.

Belum lagi, gelagat para tokoh politik yang mendatangi kediaman Habib Rizieq 
itu membuktikan bahwa oposisi memang memiliki hubungan erat dengan Habib Rizieq 
selama ini. Selain itu, pengamat politik sekaligus Direktur Eksekutif Indonesia 
Public Institute (IPI) Karyono Wibowo juga menyebut bahwa besarnya massa yang 
dimiliki Habib Rizieq, membuat sosoknya begitu seksi bagi para oposan untuk 
merekrutnya dan bergabung bersamanya mengkritisi pemerintah..

Dengan demikian maka menjadi wajar apabila kepulangan Habib Rizieq memantik 
sambutan yang begitu masif.



Terjebak Perangkap Ideologi?
Kendati karismanya tak diragukan lagi mampu menggairahkan kembali gerakan 
oposisi, namun Habib Rizieq tetaplah sosok kontroversial yang tak segan-segan 
menyerang lawan politiknya, terutama pemerintah, dengan narasi-narasi politik 
identitas.

Getirnya, manuver itu kerap dibalas pemerintah dengan narasi-narasi yang seolah 
menuding kubu Habib Rizieq bertentangan dengan Pancasila, keragaman, dan 
toleransi, sehingga menjadikan perselisihan di antara keduanya lebih banyak 
fokus di persoalan ideologi.

Benno Buehler dan Anke Kessler dalam tulisannya yang berjudul The Ideology Trap 
mengatakan bahwa pemimpin ataupun tokoh yang lebih menekankan pada ideologi 
untuk mencapai suatu tujuan, seperti halnya Habib Rizieq, dapat disebut sebagai 
pemimpin ideologis atau ideolog.

Para pemimpin ini cenderung merekatkan diri sendiri dalam seperangkat keyakinan 
dan nilai yang mereka yakini, dan secara konsisten mendasarkan tindakan politik 
mereka pada nilai-nilai tersebut. Contohnya, para politikus sering menggunakan 
label ‘liberal’, ‘konservatif’, ‘moderat’, ataupun ‘kiri’ untuk menggambarkan 
diri mereka sendiri dan lawan politiknya. Fenomena ini mereka namakan “jebakan 
ideologi”.

Kendati begitu, Daniel Bell dalam bukunya yang berjudul The End of Ideology 
sempat meramalkan suatu keadaan dunia di mana ideologi suatu saat nanti akan 
mati.  Menurutnya itu akan terjadi ketika perkembangan politik di negara-negara 
Barat telah memandang perlunya mengakhiri persaingan ideologi dan politik.


Kematian ideologi ini disebabkan lantaran di tengah persoalan dunia yang 
semakin kompleks, terutama persoalan pembangunan ekonomi dan kemajuan 
teknologi, diperlukan langkah pragmatis untuk mencapai hasil yang lebih cepat 
dan efektif daripada berlarut-larut dalam persaingan ideologi dan politik yang 
tak berkesudahan.

Dengan melihat rekam jejak Habib Rizieq dan pegikut-pengikutnya yang cenderung 
bermanuver di ranah politik identitas, maka dapat dikatakan bahwa gerakan 
oposisi yang tengah dibangunnya saat ini memang sangat rawan terjebak dalam 
perangkap ideologi.

Jika hal ini terjadi, maka gerakan tersebut berpotensi gagal memenuhi harapan 
publik, sebab saat ini masyarakat membutuhkan kekuatan yang mampu menyuarakan 
persoalan-persoalan substantif daripada permasalahan abstrak seperti identitas 
dan ideologi.

Lalu sekarang pertanyaannya, apa yang bisa dilakukan Habib Rizieq agar gerakan 
oposisinya itu tak terjebak dalam perangkap ideologi?



Butuh Moderasi?
Meski Bell meramalkan kemajuan teknologi akan membunuh ideologi, namun tak 
semua pemikir setuju dengan pendapatnya tersebut. Beberapa ilmuwan menilai 
ideologi adalah seusatu yang tak akan pernah mati.

Sosiolog Daniel Chirot dalam wawancaranya dengan Eurozine mengatakan bahwa 
selama masih ada perlawanan atas ketidakadilan dan tuntutan kesetaraan, selama 
itu juga ideologi akan terus hidup.

Penjelasan Chirot itu sepertinya dapat dijadikan jawaban mengapa diskursus 
mengenai ideologi di Indonesia seoalah tak pernah mati kendati Pancasila telah 
ditetapkan sebagai ideologi negara sejak republik ini didirikan. Narasi-narasi 
untuk menantang ideologi yang ada hampir selalu dilatarbelakangi oleh 
ketidakpuasan terhadap sistem yang tengah berjalan saat ini.

Namun begitu, sekalipun ideologi disebut tak akan pernah mati, bukan berarti 
manusia tak bisa lepas dari perangkapnya. R Jagannathan dalam tulisannya yang 
berjudul Ideology Is A Trap, Whether You’re Left, Right Or Centre mengatakan 
bahwa salah satu cara untuk bisa lepas dari perangkap ideologi adalah dengan 
membangun kesadaran bahwa ideologi itu sendiri memiliki batasan yang nyata, dan 
tak akan selalu cocok di segala situasi.

Dengan kata lain, penawar dari perangkap ideologi adalah moderasi. Ideologi 
apapun bentuknya, mulai dari kapitalisme, komunimsme, sosialisme, liberalisme, 
Islamisme, hingga konservatisme membutuhkan moderasi untuk membuatnya tetap 
relevan dengan perubahan masyarakat yang begitu cepat.

Kendati pengaruhnya dalam memobilisasi massa memang tak bisa dianggap remeh, 
namun pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun menilai upaya Habib Rizieq untuk 
menyatukan kekuatan oposisi tetaplah tak mudah. Menurutnya, menjadi penantang 
pemerintahan yang sah dengan segala sumber daya yang ada tentu memiliki 
tantangan tersendiri.

Belum lagi, tak semua pihak yang ingin beroposisi cocok dengan platform 
ideologi yang digelorakan Habib Rizieq selama ini. Berhasil tidaknya Habib 
Rizieq menyatukan kekuatan oposisi sangat bergantung pada nilai yang 
diperjuangkan. Ia menyebut nilai atau value yang disepakati bersama dapat 
membuat gerakan tersebut menjadi efektif.

Kesepakatan nilai itu, kiranya bisa tercapai jika Habib Rizieq mau melakukan 
moderasi terhadap ideologi yang diperjuangkannya agar lebih bisa diterima oleh 
banyak kalangan yang ingin beroposisi.

Meski begitu, pada akhirnya sekelumit analisis teoritis ini hanyalah dugaan 
awal yang belum tentu terjadi. Namun, terlepas dari segala kemungkinan yang 
ada, signifikansi ketokohan Habib Rizieq sebagai simbol oposisi tetaplah tak 
terbantahkan.  Maka dari itu, bagaimana sepak terjangnya dalam mewarnai 
dinamika politik nasional ke depan tetaplah menarik untuk ditunggu 
kelanjutannya. (F63)

Kirim email ke