mata mata politik di BaBe:
Mengapa Nasionalisme Berhasil di China tetapi Gagal di Barat?
Klik untuk baca artikel:
http://share.babe.news/s/wFedejpQvR

Mengapa Nasionalisme Berhasil di China tetapi Gagal di Barat?
 
mata mata politik
15 November 2020 pukul 06.06
Follow
  
Empat tahun terakhir kepemimpinan Presiden Amerika Serikat Donald Trump telah 
mengingatkan negara-negara Barat bahwa daya tarik nasionalisme bersifat 
universal. Nasionalisme dapat berkembang lebih mudah di negara-negara otoriter 
seperti China, tetapi menjadi kekuatan yang sangat kuat di mana-mana.

Pada Oktober 2020, Presiden China Xi Jinping menyampaikan pidato nasionalis 
yang berapi-api pada peringatan 70 tahun keterlibatan China dalam Perang Korea. 
Setelah menyatakan bahwa China memperoleh “perdamaian dan rasa hormat melalui 
kemenangan”, Xi menjelaskan bahwa China tidak perlu takut kepada “negara mana 
pun dan tentara mana pun, tidak peduli seberapa kuat mereka dahulu”, yang 
dengan kata lain merujuk ke Amerika Serikat.

Nasionalisme adalah komponen utama dari legitimasi negara China, menurut opini 
Matt Johnson di South China Morning Post, terutama sejak Xi menjadi presiden. 
Bagian penting dari Pemikiran Xi Jinping, yang telah diabadikan dalam pembukaan 
Konstitusi China, berkaitan dengan penegasan kembali kekuatan ekonomi, politik, 
dan militer China.

Mulai dari Inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI) hingga perluasan dan modernisasi 
angkatan bersenjata, China kini mengerahkan kekuatannya lebih luas daripada 
sebelumnya. Salah satu mesin paling kuat dari kebangkitan ini adalah 
nasionalisme China yang diperkuat dan dihidupkan kembali.

Kebangkitan nasionalisme di seluruh dunia telah menjadi salah satu perkembangan 
internasional yang paling diawasi dalam dekade terakhir, mulai dari kemenangan 
Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada Pilpres AS 2016, referendum Brexit 
di tahun yang sama, hingga kemenangan pemilu partai-partai nasionalis di 
seluruh Eropa dan di negara-negara seperti Brasil. 

Namun, banyak dari kemenangan nasionalis tersebut kini sedang terurai. Presiden 
Amerika terpilih Joe Biden telah mengalahkan Trump dalam Pilpres AS 2020. 
Sementara itu, jauh lebih banyak orang Inggris sekarang mengaku akan memilih 
untuk tetap bertahan di Uni Eropa jika referendum diadakan hari ini (56,8 
persen versus 34,9 persen yang masih akan memilih untuk mendukung Brexit). Di 
Eropa, dukungan untuk partai nasionalis di Jerman, Prancis, Italia, dan 
negara-negara lainnya pun telah menurun.

Meskipun nasionalisme bersifat fundamental bagi kebangkitan China, Matt Johnson 
berpendapat di South China Morning Post, hal itu tidak berlaku di negara-negara 
demokrasi Barat seperti yang dikhawatirkan banyak orang beberapa tahun lalu.

Mengapa China dapat menggunakan nasionalisme sebagai kekuatan politik yang 
mengejutkan dengan cara yang tidak dilakukan oleh negara-negara demokrasi 
liberal?

Pertama, China adalah negara satu partai yang otoriter. Hal itu memungkinkannya 
memperkuat visi nasionalis yang koheren sambil menekan pandangan yang berbeda 
tentang identitas dan tujuan nasionalnya.

China telah membangun infrastruktur sensor terbesar dan paling efektif dalam 
sejarah manusia. Sejumlah besar media sosial dan situs media internasional 
diblokir, banyak perilaku dilacak dan diawasi dengan ketat, sementara publikasi 
konten online dikontrol dengan ketat.

Para calon pemimpin otoriter di negara demokrasi liberal (seperti Trump) tidak 
memiliki kemewahan ini, yang berarti mereka tidak dapat menyebarkan propaganda 
nasionalis hampir seefisien atau seragam seperti China. Amerika Serikat 
memiliki masyarakat sipil yang kuat dengan akses informasi yang tidak terbatas. 
Hal ini memungkinkan munculnya banyak gagasan yang bersaing tentang kebangsaan, 
sejarah, peran pemerintah Amerika, dan sebagainya.

Ketika Trump bersumpah bahwa dia akan mengutamakan “America first”, dia sedang 
berbicara dengan satu Amerika di antara banyak Amerika yang lainnya. Meskipun 
terdapat banyak China juga, pemerintah negara itu berada dalam posisi yang 
lebih kuat untuk menghasilkan persepsi bahwa hanya ada satu versi bangsa.


Presiden Amerika Serikat Donald Trump melemparkan topi “Make America Great 
Again” selama kampanye Pilpres AS 2020 di Wilkes-Barre Scranton International 
Airport di Avoca, negara bagian Pennsylvania pada 2 November 2010. Para calon 
pemimpin otoriter di negara demokrasi liberal seperti Trump tidak dapat 
menyebarkan propaganda nasionalis hampir seefisien atau seragam seperti China. 
(Foto: Reuters)

Kedua, tidak seperti gerakan dan partai nasionalis di Barat, nasionalisme China 
tidak melihat ke dalam. China menyadari bahwa pengaruh internasional negara itu 
bergantung padanya untuk menjadi lebih terintegrasi dengan ekonomi global, 
bukan kurang.

Jadi, ketika Amerika Serikat dan Inggris mundur dan menarik diri dari berbagai 
perjanjian perdagangan besar-besaran dan Uni Eropa, Inisiatif Sabuk dan Jalan 
(BRI) China pun terus melebarkan sayap.

Inilah sebabnya presiden terpilih Biden harus membalikkan kemunduran “America 
first” yang telah gagal total untuk mengembalikan pekerjaan manufaktur atau 
mengurangi defisit perdagangan AS dengan China, yang telah tumbuh secara 
substansial selama tahun-tahun Trump. Biden juga harus menetapkan komitmen 
kembali AS untuk aliansi dengan Eropa dan Asia Timur.

Ketika AS dan negara-negara demokrasi Barat lainnya berusaha untuk melawan 
kebangkitan China, menurut opini Matt Johnson di South China Morning Post, 
mereka harus menemukan kembali prinsip-prinsip yang menopang penciptaan tatanan 
internasional yang telah ada sejak Perang Dunia II. Konflik itu telah 
menunjukkan betapa menghancurkannya konsekuensi dari nasionalisme yang tidak 
terkendali.

Terlepas dari permusuhan terhadap perdagangan bebas dan institusi internasional 
yang mendorong dukungan untuk nasionalis populis di kedua sisi Samudera 
Atlantik, Eropa dan Amerika dengan cepat menemukan bahwa ini adalah tindakan 
balasan paling efektif yang mereka miliki terhadap China nasionalis yang 
semakin asertif.

Empat tahun terakhir telah membuktikan bahwa nasionalisme hanya menawarkan 
pembubaran dan otoritarianisme yang baru lahir dalam demokrasi liberal. Namun, 
periode ini juga mengingatkan negara-negara Barat bahwa daya tarik nasionalisme 
bersifat universal. Nasionalisme dapat berkembang lebih mudah di negara-negara 
otoriter seperti China, tetapi nasionalisme merupakan kekuatan yang sangat kuat 
di mana-mana.

Ini harus menjadi peringatan bagi Amerika Serikat dan Eropa pada dua tingkat. 
Di China, nasionalisme akan terus menopang sistem otoriter terkuat di dunia. 
Sementara itu di Barat, Matt Johnson menyimpulkan di South China Morning Post, 
nasionalisme telah menjadi ancaman besar bagi institusi yang diperlukan untuk 
menunjukkan bahwa tantangan China terhadap demokrasi liberal tidak akan menang.

Penerjemah dan editor: Fadhila Eka Ratnasari

Keterangan foto utama: Para peserta pawai berbaris melewati Lapangan Tiananmen 
bersama kendaraan hias yang menunjukkan foto Presiden China Xi Jinping selama 
parade yang menandai peringatan ke-70 berdirinya Republik Rakyat China pada 
Hari Nasional di Beijing, China, Selasa, 1 Oktober 2019. (Foto: Reuters/Thomas 
Peter)

Mengapa Nasionalisme Berhasil di China tetapi Gagal di Barat? 
  • [GELORA45] Fw: Mengapa Nasionali... 'Chan CT' sa...@netvigator.com [GELORA45]

Kirim email ke