Kekuasaan Pemerintah Tiongkok sejak Republik Rakyat Tiongkok ditegakkan, 1 
Oktober 1949 bukanlah kekuasaan Imperio, sekalipun suku Han (dari 56 suku) 
merupakan mayoritas mutlak, lebih dari 95% jumlah penduduk Tiongkok! Sejak RRT 
ditegakkan dibawah Partai Komunis Tiongkok (PKT), prinsip yang dijalankan 
adalah berorientasi pada RAKYAT, kepentingan rakyat banyak itulah yang 
dijadikan dasar perjuangan. MENGABDI RAKYAT itulah yang dipegang teguh sampai 
sekarang dalam memperjuangkan pembangunan bangsa dan masyarakat Tiongkok.

Patut diketahui, sekalipun suku Han menempati posisi mayoritas mutlak penduduk, 
kebijakan yang mereka jalankan justru berusaha melindungi dan mendahulukan 
suku-minoritas jangan sampai tertindas apalagi musnah, ...! Keluarlah kebijakan 
aneh dalam konstitusi RRT, tidak hanya memberi kelonggaran bagi anak-anak 
suku-minoritas bisa diterima masuk Universitas, bahkan melarang pria suku Han 
mengawini perempuan suku-minoritas, sebaliknya boleh. Mengapa?

Karena dikalangan suku-minoritas itu juga berpandangan patriakat, keturunan 
menurut garis ayah. Untuk melindungi keturunan suku-minoritas habis ditelan 
suku-Han, dikeluarkanlah kebijakan peria suku Han dilarang mengawini perempuan 
suku-minoritas.  

Dan, saat RRT keluarkan kebijakan “anak tunggal” bagi seluruh warga Tiongkok 
diakhir tahun 1978 dengan sangat ketat, justru TIDAK BERLAKUKAN bagi 
suku-minoritas, ... setiap suku-minoritas tetap diperbolehkan melahirkan anak 
banyak! 

Tentu setelah perkembangan kebijakan afermatif positif dijalankan 
berkepanjangan, terjadi ekses samping yang kurang baik, akhirnya 2-3 tahun yl. 
diperbaiki juga. Larangan kawin silang dengan suku-minoritas dicabut, berubah 
menjadi sitiap keluarga diperbolehkan mengikuti garis ayah atau ibu! Artinya, 
setiap keluarga tetap boleh mempertahankan identitas suku-minoritas, mengikuti 
garis ibu, sekalipun ayah dari suku-Han! Dan, ... ketentuan pembatasan “anak 
tunggal” juga dicabut, bahkan dianjurkan setiap keluarga bisa lebih dari satu 
anak!

Prinsip MENGABDI RAKYAT juga tetap dipegang teguh oleh RRT, bisa dilihat 
bagaimana pemerintah Tiongkok bisa dengan sigap mengatasi wabah Covid-19 yang 
merebak di Wuhan Januari tahun 2020 ini, ...! Bukankah keberanian dan ketegasan 
di pertengahan Januari menutup rapat kota Wuhan, begitu disimpulkan wabah 
corona-baru menular dari manusia kemanusia. Tanpa mempedulikan pengorbanan 
kebebasan pribadi seseorang yang didisiplin ngerem dirumah dan kerugian ekonomi 
akibat kota Wuhan ditutup-rapat itu, untuk menyelamatkan kesehatan rakyat 
seluruh negeri dan rakyat dunia, ... Sekalipun kebijakan itu dituduh Amerika 
dan negara barat sebagai pelanggaran HAM!

Disini nampak terjadi perbedaan prinsip, kepentingan dan keselamatan pribadi 
seseorang atau kepentingan RAKYAT BANYAK yang diutamakan! Prinsip yang dipegang 
Tiongkok, sesuai dengan budaya Tionghoa yang sudah ribuan tahun, mereka 
bersemboyan “Dibawah langit ini demi RAKYAT!”, yang yang diutamakan adalah 
kepentingan rakyat banyak, sedang kepentingan pribadi harus tunduk dan bisa 
dikebawahkan demi kepentingan rakyat banyak! Tidak terbalik, lebih mengutamakan 
kepentingan dan kebebasan pribadi tanpa pedulikan kepentingan dan keselamatan 
rakyat banyak. Dimana ketentuan pakai masker saja tidak bisa! Bahkan kita bisa 
lihat disana-sini terjadi pemukulan akibat menegur orang yang tidak pakai 
masker masuk bus-umum atau supermarket, ... sangat menyedihkan mendengar berita 
seorang supir bus harus meninggal akibat dipukuli 3 pemuda tidak pakai masker 
yang dilarang naik bus! 

Dan, ... hasilnya bisa terlihat jelas, didunia ini hanya RRT yang mampu dalam 
waktu sangat singkat, 70 hari berhasil mengendalikan merebaknya wabah covid-19, 
memulai kerja normal kembali secara bertahap! Sedang negara-negara maju 
didunia, termasuk Amerika kedodoran meenangani wabah covid-19, sudah lebih 8 
bulan tidak juga nampak berhasil mengendalikan dengan baik! Satu-satu jalan 
harus menunggu keberhasilan vaksin disuntikkan pada rakyatnya, ... 


From: BILLY GUNADIE 
Sent: Monday, November 16, 2020 7:45 AM
To: sa...@netvigator.com 
Subject: Re: [GELORA45] Fw: Mengapa Nasionalisme Berhasil di China tetapi Gagal 
di Barat?

Apakah Nationalisme di China itu bukannya Emperor....  
Ampir 85% Han ethnicity... Di US.. Caucasian 60%...?..and kapitalis 1%...
Obamacare jadi masalah.... 

Sent from Rogers Yahoo Mail on Android


  On Sun., Nov. 15, 2020 at 6:32 p.m., Chan CT
  <sa...@netvigator.com> wrote:

  mata mata politik di BaBe:
  Mengapa Nasionalisme Berhasil di China tetapi Gagal di Barat?
  Klik untuk baca artikel:
  http://share.babe.news/s/wFedejpQvR

  Mengapa Nasionalisme Berhasil di China tetapi Gagal di Barat?
   
  mata mata politik
  15 November 2020 pukul 06.06
  Follow
    
  Empat tahun terakhir kepemimpinan Presiden Amerika Serikat Donald Trump telah 
mengingatkan negara-negara Barat bahwa daya tarik nasionalisme bersifat 
universal. Nasionalisme dapat berkembang lebih mudah di negara-negara otoriter 
seperti China, tetapi menjadi kekuatan yang sangat kuat di mana-mana.

  Pada Oktober 2020, Presiden China Xi Jinping menyampaikan pidato nasionalis 
yang berapi-api pada peringatan 70 tahun keterlibatan China dalam Perang Korea. 
Setelah menyatakan bahwa China memperoleh “perdamaian dan rasa hormat melalui 
kemenangan”, Xi menjelaskan bahwa China tidak perlu takut kepada “negara mana 
pun dan tentara mana pun, tidak peduli seberapa kuat mereka dahulu”, yang 
dengan kata lain merujuk ke Amerika Serikat.

  Nasionalisme adalah komponen utama dari legitimasi negara China, menurut 
opini Matt Johnson di South China Morning Post, terutama sejak Xi menjadi 
presiden. Bagian penting dari Pemikiran Xi Jinping, yang telah diabadikan dalam 
pembukaan Konstitusi China, berkaitan dengan penegasan kembali kekuatan 
ekonomi, politik, dan militer China.

  Mulai dari Inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI) hingga perluasan dan modernisasi 
angkatan bersenjata, China kini mengerahkan kekuatannya lebih luas daripada 
sebelumnya. Salah satu mesin paling kuat dari kebangkitan ini adalah 
nasionalisme China yang diperkuat dan dihidupkan kembali.

  Kebangkitan nasionalisme di seluruh dunia telah menjadi salah satu 
perkembangan internasional yang paling diawasi dalam dekade terakhir, mulai 
dari kemenangan Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada Pilpres AS 2016, 
referendum Brexit di tahun yang sama, hingga kemenangan pemilu partai-partai 
nasionalis di seluruh Eropa dan di negara-negara seperti Brasil. 

  Namun, banyak dari kemenangan nasionalis tersebut kini sedang terurai. 
Presiden Amerika terpilih Joe Biden telah mengalahkan Trump dalam Pilpres AS 
2020. Sementara itu, jauh lebih banyak orang Inggris sekarang mengaku akan 
memilih untuk tetap bertahan di Uni Eropa jika referendum diadakan hari ini 
(56,8 persen versus 34,9 persen yang masih akan memilih untuk mendukung 
Brexit). Di Eropa, dukungan untuk partai nasionalis di Jerman, Prancis, Italia, 
dan negara-negara lainnya pun telah menurun.

  Meskipun nasionalisme bersifat fundamental bagi kebangkitan China, Matt 
Johnson berpendapat di South China Morning Post, hal itu tidak berlaku di 
negara-negara demokrasi Barat seperti yang dikhawatirkan banyak orang beberapa 
tahun lalu.

  Mengapa China dapat menggunakan nasionalisme sebagai kekuatan politik yang 
mengejutkan dengan cara yang tidak dilakukan oleh negara-negara demokrasi 
liberal?

  Pertama, China adalah negara satu partai yang otoriter. Hal itu 
memungkinkannya memperkuat visi nasionalis yang koheren sambil menekan 
pandangan yang berbeda tentang identitas dan tujuan nasionalnya.

  China telah membangun infrastruktur sensor terbesar dan paling efektif dalam 
sejarah manusia. Sejumlah besar media sosial dan situs media internasional 
diblokir, banyak perilaku dilacak dan diawasi dengan ketat, sementara publikasi 
konten online dikontrol dengan ketat.

  Para calon pemimpin otoriter di negara demokrasi liberal (seperti Trump) 
tidak memiliki kemewahan ini, yang berarti mereka tidak dapat menyebarkan 
propaganda nasionalis hampir seefisien atau seragam seperti China. Amerika 
Serikat memiliki masyarakat sipil yang kuat dengan akses informasi yang tidak 
terbatas. Hal ini memungkinkan munculnya banyak gagasan yang bersaing tentang 
kebangsaan, sejarah, peran pemerintah Amerika, dan sebagainya.

  Ketika Trump bersumpah bahwa dia akan mengutamakan “America first”, dia 
sedang berbicara dengan satu Amerika di antara banyak Amerika yang lainnya. 
Meskipun terdapat banyak China juga, pemerintah negara itu berada dalam posisi 
yang lebih kuat untuk menghasilkan persepsi bahwa hanya ada satu versi bangsa.


  Presiden Amerika Serikat Donald Trump melemparkan topi “Make America Great 
Again” selama kampanye Pilpres AS 2020 di Wilkes-Barre Scranton International 
Airport di Avoca, negara bagian Pennsylvania pada 2 November 2010. Para calon 
pemimpin otoriter di negara demokrasi liberal seperti Trump tidak dapat 
menyebarkan propaganda nasionalis hampir seefisien atau seragam seperti China. 
(Foto: Reuters)

  Kedua, tidak seperti gerakan dan partai nasionalis di Barat, nasionalisme 
China tidak melihat ke dalam. China menyadari bahwa pengaruh internasional 
negara itu bergantung padanya untuk menjadi lebih terintegrasi dengan ekonomi 
global, bukan kurang.

  Jadi, ketika Amerika Serikat dan Inggris mundur dan menarik diri dari 
berbagai perjanjian perdagangan besar-besaran dan Uni Eropa, Inisiatif Sabuk 
dan Jalan (BRI) China pun terus melebarkan sayap.

  Inilah sebabnya presiden terpilih Biden harus membalikkan kemunduran “America 
first” yang telah gagal total untuk mengembalikan pekerjaan manufaktur atau 
mengurangi defisit perdagangan AS dengan China, yang telah tumbuh secara 
substansial selama tahun-tahun Trump. Biden juga harus menetapkan komitmen 
kembali AS untuk aliansi dengan Eropa dan Asia Timur.

  Ketika AS dan negara-negara demokrasi Barat lainnya berusaha untuk melawan 
kebangkitan China, menurut opini Matt Johnson di South China Morning Post, 
mereka harus menemukan kembali prinsip-prinsip yang menopang penciptaan tatanan 
internasional yang telah ada sejak Perang Dunia II. Konflik itu telah 
menunjukkan betapa menghancurkannya konsekuensi dari nasionalisme yang tidak 
terkendali.

  Terlepas dari permusuhan terhadap perdagangan bebas dan institusi 
internasional yang mendorong dukungan untuk nasionalis populis di kedua sisi 
Samudera Atlantik, Eropa dan Amerika dengan cepat menemukan bahwa ini adalah 
tindakan balasan paling efektif yang mereka miliki terhadap China nasionalis 
yang semakin asertif.

  Empat tahun terakhir telah membuktikan bahwa nasionalisme hanya menawarkan 
pembubaran dan otoritarianisme yang baru lahir dalam demokrasi liberal. Namun, 
periode ini juga mengingatkan negara-negara Barat bahwa daya tarik nasionalisme 
bersifat universal. Nasionalisme dapat berkembang lebih mudah di negara-negara 
otoriter seperti China, tetapi nasionalisme merupakan kekuatan yang sangat kuat 
di mana-mana.

  Ini harus menjadi peringatan bagi Amerika Serikat dan Eropa pada dua tingkat. 
Di China, nasionalisme akan terus menopang sistem otoriter terkuat di dunia. 
Sementara itu di Barat, Matt Johnson menyimpulkan di South China Morning Post, 
nasionalisme telah menjadi ancaman besar bagi institusi yang diperlukan untuk 
menunjukkan bahwa tantangan China terhadap demokrasi liberal tidak akan menang.

  Penerjemah dan editor: Fadhila Eka Ratnasari

  Keterangan foto utama: Para peserta pawai berbaris melewati Lapangan 
Tiananmen bersama kendaraan hias yang menunjukkan foto Presiden China Xi 
Jinping selama parade yang menandai peringatan ke-70 berdirinya Republik Rakyat 
China pada Hari Nasional di Beijing, China, Selasa, 1 Oktober 2019. (Foto: 
Reuters/Thomas Peter)

  Mengapa Nasionalisme Berhasil di China tetapi Gagal di Barat? 

  -- 
  Anda menerima pesan ini karena berlangganan grup "GELORA45" di Google Grup.
  Untuk berhenti berlangganan dan berhenti menerima email dari grup ini, kirim 
email ke gelora1945+unsubscr...@googlegroups.com.
  Untuk melihat diskusi ini di web, kunjungi 
https://groups.google.com/d/msgid/gelora1945/1568E2622F0D4C6F994F5C436E117FA9%40A10Live.

Kirim email ke