Anda terdaftar dengan alamat: arch...@mail-archive.com

e-JEMMi -- Pelayanan Holistik (I)
No. 09, Vol. 17, September 2014

Kepada Yth.
Pelanggan Publikasi e-JEMMi

Dikarenakan adanya kesalahan dalam penomoran poin di kolom Artikel, berikut ini 
kami kirimkan kepada Anda revisi dari publikasi e-JEMMi Edisi 09/September/2014 
yang kami kirimkan siang tadi. Kami mohon maaf atas ketidaknyamanan ini, dan 
terima kasih atas pengertian Pelanggan sekalian.

Salam hormat,
Yosua S. Yudo
Pemimpin Redaksi e-JEMMi


DARI REDAKSI: KASIH, DASAR YANG SEMPURNA

Shalom,

Selama di dunia, Tuhan Yesus memberikan pemenuhan kebutuhan terhadap hal-hal 
yang sangat diperlukan oleh orang-orang di sekitar-Nya. Makanan bagi lima ribu 
orang, perhatian bagi anak-anak, penerimaan bagi mereka yang dianggap hina, 
pengertian bagi mereka yang ragu, dan pengampunan bagi mereka yang berdosa. 
Kasih-Nya tak hanya terbatas pada hal-hal rohani saja, ataupun sebaliknya. 
Sesuai dengan hikmat-Nya, Ia memenuhi kebutuhan umat manusia yang menderita di 
sekitar-Nya. Saat masih dalam wujud manusia, Yesus harus merasakan apa yang 
dirasakan manusia, seperti: merasakan kelelahan, kesedihan, dan rasa sakit. 
Teladan Tuhan Yesus inilah yang telah mendorong ribuan, bahkan jutaan orang, 
untuk berinkarnasi dalam pelayanan-pelayanan holistik; berusaha memenuhi 
kebutuhan jasmani mereka yang miskin sambil mengantar mereka untuk bertemu 
dengan Allah yang sejati.

Pada edisi kali ini, e-JEMMi ingin mengajak pembaca untuk merenungkan panggilan 
pelayanan dengan melihat teladan yang Tuhan Yesus contohkan dalam catatan Injil 
dan mendalami lagi mengenai prinsip-prinsip pelayanan holistik yang sangat 
penting. Kiranya edisi ini dapat menjadi berkat bagi pembaca sekalian. Tuhan 
Yesus memberkati.

Pemimpin Redaksi e-JEMMi,
Yudo
< yudo(at)in-christ.net >
< http://misi.sabda.org/ >


RENUNGAN MISI: HATI YANG BERBELAS KASIHAN (MATIUS 14:1-21)

Dalam bacaan ini, kita dapat melihat bahwa Yesus juga mengalami hari yang 
buruk. Ia baru saja menerima kabar bahwa orang yang paling memahami-Nya, 
sepupu-Nya, sang nabi Yohanes Pembaptis, telah dibunuh untuk memenuhi sebuah 
janji yang dangkal dari seorang raja yang dikuasai hawa nafsu.

Yesus adalah Allah, tetapi Ia juga sepenuhnya manusia, yang dapat merasakan 
emosi manusiawi. Ketika Ia menerima kabar yang tragis ini, Ia hanya ingin undur 
dari segala sesuatu. Matius menceritakan hal ini kepada kita:

"Setelah Yesus mendengar berita itu menyingkirlah Ia dari situ, dan hendak 
mengasingkan diri dengan perahu ke tempat yang sunyi." (Matius 14:13a)

Kita semua pernah berada dalam sebuah situasi yang di dalamnya segala masalah 
duniawi ini menerjang kita bagai ombak yang bergulung-gulung, dan hal yang 
paling ingin kita lakukan saat itu hanyalah undur dari semua itu dan menyendiri 
bersama Tuhan.

Akan tetapi, orang banyak tidak memberi Yesus waktu untuk berkabung. Matius 
mencatat bahwa ketika mendengar tentang hal itu, orang banyak "... mengikuti 
Dia dengan mengambil jalan darat dari kota-kota mereka." (Matius 14:13b)

Yesus bisa saja mengutus Petrus atau Yakobus untuk berbicara kepada orang 
banyak itu bahwa Ia sedang tidak ingin diganggu. Atau, Ia bisa saja menyuruh 
Yohanes untuk mengumumkan kepada mereka bahwa Yesus sedang tidak dapat ditemui. 
Akan tetapi, Alkitab bersaksi kepada kita bagaimana tanggapan Yesus terhadap 
orang-orang ini:

"Ketika Yesus mendarat, Ia melihat orang banyak yang besar jumlahnya, maka 
tergeraklah hati-Nya oleh belas kasihan kepada mereka dan Ia menyembuhkan 
mereka yang sakit." (Matius 14:14)

Sebelumnya, Yesus telah menunjukkan hati Bapa dengan berkata kepada 
murid-murid-Nya:

"Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit. Jadi pergilah dan 
pelajarilah arti firman ini: Yang Kukehendaki ialah belas kasihan dan bukan 
persembahan, karena Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan 
orang berdosa." (Matius 9:12-13)

Dengan jelas, Yesus menyatakan bahwa Tuhan tidak hanya memiliki belas kasihan 
kepada orang-orang berdosa, tetapi Ia juga ingin agar kita pun memiliki kasih 
yang sama kepada mereka yang dikasihi-Nya. Ia ingin mengubah hati kita yang 
keras -- yang penuh dengan luka batin, pengkhianatan, sinisme, atau keegoisan 
-- menjadi lembut; yaitu hati yang merindukan Tuhan dan ingin agar kasih-Nya 
dikenal oleh dunia ..., bahkan, ketika kita mengalami hari yang buruk.

Hari ini, ketika kita menjalani hari kita, marilah kita menyediakan waktu untuk 
meminta kepada Allah hati yang berbelas kasihan untuk mereka yang terhilang. 
Berdoalah supaya melalui hati yang penuh belas kasihan itu, kita digerakkan 
untuk menjadi bagian dari karya Allah untuk menyampaikan Kabar Baik kepada 
mereka yang terluka di seluruh penjuru dunia.

Berdoalah agar kasih Allah mengalir di hati kita sehingga kita dapat menjadi 
serupa dengan Yesus yang digerakkan oleh belas kasihan terhadap orang-orang 
berdosa yang membutuhkan Juru Selamat.

Inilah hati Allah. Dan, dengan anugerah-Nya, biarlah hati kita pun menjadi 
seperti hati-Nya.

"Sebab ia akan melepaskan orang miskin yang berteriak minta tolong, orang yang 
tertindas, dan orang yang tidak punya penolong; ia akan sayang kepada orang 
lemah dan orang miskin, ia akan menyelamatkan nyawa orang miskin." (Mazmur 
72:12-13) (t/Yudo)

Diterjemahkan dari:
Nama situs: CBN
Alamat URL: 
http://www.cbn.com/spirituallife/Devotions/vonbuseck_Jesus_Heart_of_Compassion.aspx
Judul asli artikel: A Heart of Compassion
Penulis artikel: Craig von Buseck
Tanggal akses: 17 April 2014


ARTIKEL MISI: REFLEKSI TEOLOGIS MENGENAI TINDAKAN KEMANUSIAAN KRISTIANI

Ada beberapa hal teologis yang harus diingat ketika kita mengeksplorasi 
tindakan kemanusiaan Kristen terhadap bencana kemanusiaan.

1. Keramahtamahan

Sementara kasih umat Kristen kepada mereka yang miskin adalah sesuatu yang 
diwajibkan oleh Alkitab, perintah itu ternyata berdiri di atas sesuatu yang 
lebih dalam daripada hukum dalam Perjanjian Lama. Tuntutan untuk mengasihi 
Allah dengan segenap hati dan pikiran, serta tuntutan untuk mengasihi sesama 
kita seperti kita mengasihi diri sendiri dijelaskan oleh pengajaran Yesus dalam 
kitab Matius pasal 25. Segala bangsa akan dikumpulkan dan dipisahkan 
berdasarkan pada tindakan mereka dalam memberi makanan, air, pakaian, 
perawatan, dan keramahan kepada mereka dianggap "paling hina".

Salah satu sumbangsih Kosuke Koyama terhadap misiologi adalah apa yang 
disebutnya sebagai "neighborology." [1] Koyama mengingatkan kita bahwa yang 
lebih dibutuhkan manusia daripada teologi yang baik atau badan penanggulangan 
bencana yang tanggap adalah sesama mereka yang baik hati. Ia juga mengatakan 
bahwa mengundang orang lain ke rumah kita adalah sesuatu yang penting.

Keramahtamahan Adalah Sebuah Tindakan Misi

Paus Paulus VI menekankan hal yang sama dalam Popularum Progessio, sebuah surat 
edaran kepada para uskup yang ditulis dua tahun setelah Konsili Vatikan yang 
Kedua, "Menunjukkan keramahan kepada seorang asing tidak dapat kita katakan 
sebagai sesuatu yang terlalu memaksa karena itu merupakan sebuah kewajiban yang 
dibebankan kepada kita oleh solidaritas kemanusiaan dan oleh kasih dalam 
kekristenan." [2] Konsili Pontifisial untuk Pelayanan Pastoral kepada Migran 
dan Pengungsi mengingatkan kita bahwa kemajuan menuju kehidupan yang penuh 
kedamaian "sangat terkait dengan pertumbuhan mentalitas yang ramah". [3] 
Keramahan adalah sesuatu yang lebih dari memberi perhatian atau menjangkau 
orang, hal itu lebih merupakan suatu cara untuk menjadi dekat dengan orang lain 
dan bersifat personal. Keramahan adalah seperti yang ditunjukkan Yesus ketika 
Ia berbagi makanan dengan orang kusta dan mereka yang terbuang. "Aku seorang 
asing, kamu memberi Aku tumpangan." (Matius 25:35)

2. Kebaikan Hati dan Solidaritas

Kita harus juga mengakui tanggung jawab yang diemban oleh mereka yang kaya. 
Memang, tidak ada seorang pun yang terlalu miskin untuk dapat memberi, tetapi 
Alkitab mengajarkan bahwa mereka yang memiliki kelimpahan harus mau berbagi. 
Dalam Kisah Para Rasul, kita dapat membaca bahwa tidak seorang pun dalam 
komunitas orang percaya itu yang berkekurangan (Kisah Para Rasul 4:34), dan hal 
itu dapat mereka capai dengan saling berbagi. Ketika kita gagal menerima mereka 
yang mengungsi, terbuang, maupun para pekerja migran yang terlantar, hal itu 
menunjukkan tingkat moral kita, bukan hanya sekadar keputusan moral saja. 
Menerima orang lain tidak hanya terbatas pada pemenuhan kebutuhan jasmani saja, 
dalam Popularum Progessio disebutkan adanya 3 hal yang menjadi kewajiban 
negara-negara maju: (1) Solidaritas mutualisme dalam bentuk bantuan dari sebuah 
negara yang kaya kepada negara berkembang; (2) Keadilan sosial dalam bentuk 
perbaikan relasi perdagangan antara negara yang kuat dengan negara-negara yang 
lemah; dan (3) Mengupayakan tindakan amal secara universal demi membangun 
komunitas yang lebih manusiawi, yang di dalamnya setiap pihak saling memberi 
dan menerima. [4] Semua hal di atas menggemakan Hukum Taurat yang terdapat 
dalam Perjanjian Lama. Berbagi (mengasihi orang asing) harus berjalan 
beriringan dengan medan yang lebih adil (dengan tidak menindas orang asing) dan 
memulihkan relasi yang adil dan damai di antara semua orang (memberi warisan 
kepada orang asing). Pertanyaannya, dari manakah datangnya semangat untuk amal 
dan solidaritas itu?

3. Iman dan Kasih

Sekarang, kita harus mempertimbangkan relasi antara iman dengan kapasitas kita 
untuk mengasihi sesama kita yang berkekurangan. Ujian iman kita adalah 
kemampuan kita untuk mengasihi. Jika kita tidak dapat menyambut orang asing, 
kita harus mempertanyakan iman kita. Kesulitan untuk menerima bisa saja muncul 
dari hati kita yang kurang percaya, pemahaman firman yang dangkal, atau karena 
adanya ilah-ilah lain yang menghalangi kita dalam mengerjakan tanggung jawab 
kita.

Akan tetapi, yang lebih penting lagi, iman merupakan titik awal untuk dapat 
mengasihi dengan tulus. Iman kita di dalam Tuhan yang berlimpah rahmat dan Roh 
Kudus yang menyucikan adalah satu-satunya penopang janji bahwa kita dapat 
mengasihi dengan tulus. Hal ini seperti yang dirangkumkan oleh David Bloesch: 
"Iman membenarkan; kasih membuktikan bahwa iman itu hidup. Iman bersifat 
pribadi; kasih bersifat sosial. Iman adalah dasar; kasih adalah tujuan. Iman 
adalah akar; damai, sukacita, dan kasih adalah buah-buahnya." [5] Iman Kristen 
kita, beserta semangat dan dayanya, adalah dasar dari tindakan kemanusiaan kita.

4. Tindakan Kemanusiaan yang Sejati

Akhirnya, kita harus menjelaskan teologi kita mengenai tindakan kemanusiaan. 
Bloesch mengingatkan tentang godaan-godaan yang berusaha menurunkan pemahaman 
Kristen kita mengenai tindakan kemanusiaan menjadi pengertian yang modern dan 
sekuler:

"Tujuan dari tindakan kemanusiaan (dalam pengertian sekulernya) bukanlah untuk 
berinkarnasi bersama dunia ke dalam kehinaannya dan derita yang dialaminya 
(Yakobus 1:27) ataupun untuk membawa Injil ke dalam dunia, tetapi untuk 
membentuk ulang dunia ini sesuai gambaran manusiawi. Tindakan kemanusiaan 
adalah bentuk liberal dari agama yang menekankan pelayanan kepada umat manusia 
di atas segala hal lainnya ... tujuan utamanya adalah kesejahteraan manusia, 
bukan kemuliaan Allah." [6]

Bahaya dari pemahaman tentang tindakan kemanusiaan yang telah direduksi tidak 
hanya memengaruhi tindakan kita, tetapi juga memengaruhi pola pikir kehidupan 
kita: "Ketika masalah perbaikan sosial menjadi lebih tinggi dari pengharapan 
akan kebenaran Kerajaan Allah, kita berada di dalam ranah kemanusiaan 
[demokrasi liberal Barat], bukan di dunia yang berdasarkan Alkitab." [7]

Penawar bagi tindakan kemanusiaan yang palsu adalah dengan memastikan bahwa 
pemahaman antropologi kita terbukti benar secara teologis. Faktanya, Allah 
menciptakan manusia sebagai makhluk yang bebas, dan bahwa kita diciptakan 
sesuai gambar Allah untuk suatu tujuan. Kita adalah yang pertama dalam 
memuliakan Allah dan mendapat perintah untuk mengerjakan bumi ini. Inilah dasar 
dari tindakan kemanusiaan kita sebagai orang Kristen, dan suatu standar uji 
bagi tindakan kemanusiaan kita.

Populorum Progressio mengingatkan kita bahwa humanisme Kristen yang sejati 
selalu "berpusat pada Allah" dan bahwa "Manusia bukanlah standar bagi manusia 
lainnya. Manusia dapat menjadi manusia yang seutuhnya dengan melampaui dirinya 
sendiri." [8] Kita belum mencapai tingkatan yang benar jika tindakan 
kemanusiaan kita belum membuat orang lain mencari Allah, dalam hal ini agar 
mereka dapat menemukan bahwa mereka dapat menjadi diri mereka seutuhnya ketika 
mereka juga memedulikan orang lain. Hal ini diungkapkan Bloesch dengan sangat 
baik: "Meskipun pelayanan 'Samaria yang Baik' terkadang memiliki prioritas 
kronologis di atas penginjilan, tetapi misi gereja tidak akan terpenuhi sampai 
kita menyatakan kabar perdamaian dan penebusan." [9] Ia juga mengingatkan kita 
bahwa:

"Bapa-bapa gereja telah merevolusi masyarakat karena mereka telah menunjukkan 
kepada dunia sebuah visi metafisika yang baru, yaitu tentang sebuah dunia dan 
cara pandang tentang kehidupan yang bersauh pada sesuatu yang transenden. 
Mereka juga tidak hanya menyediakan program perbaikan sosial, tetapi juga 
memberi makna dan tujuan tentang keberadaan manusia." [10]

Sementara kita berdiri di pundak orang-orang Kristen yang berjuang untuk 
hal-hal tentang perbudakan, pekerja anak, pembajakan, penyelundupan minuman 
keras, kemiskinan, dan para pengungsi, kita perlu memastikan bahwa apa yang 
kita lakukan adalah tindakan kemanusiaan Kristen yang sejati. (t/Yudo)

Referensi:
1. Koyama, Kosuke. "Extending Hospitality to Strangers: A Missiology of 
Theoligia Crucis." International Review of Mission, hal. 82. No. 321, Oct. 1993.
2. Paul VI. "Populorum Progression." hlm. 67, 1967.
3. Etchegaray, Roger Cardinal and Chelli, Archbishop Giovanni. "Refugees: A 
Challenge to Solidarity," a paper presented for Pastoral Care of Refugees at 
the Pontifical Council for Pastoral Care of Migrant and Itinerant People. hlm. 
4, 1983.
4. Paul VI. "Populorum Progression." paragraf 44, 1967.
5. Bloesch, Donald. "Humanitarianism." Faith and Counterfeits. Intervarsity 
Press. hal. 51, 1980.
6. ibid, hlm. 47-48.
7. ibid, hlm. 47.
8. Paul VI. Populorum Progression. paragraf 42, 1967.
9. Bloesch, hlm. 58.
10. ibid, hml. 52.

Diterjemahkan dari:
Nama situs: Laussane World Pulse
Alamat URL: http://www.lausanneworldpulse.com/themedarticles.php/62/10-2005
Judul asli artikel: Theological Reflections on the Christian Humanitarian 
Response
Penulis artikel: Bryant Meyers
Tanggal akses: 4 Maret 2014


STOP PRESS: Kunjungilah! Pusat Elektronik Pelayanan Anak Kristen
< http://pepak.sabda.org >

Anda membutuhkan situs berbahasa Indonesia yang lengkap seputar pelayanan anak 
Kristen? Anda rindu lebih diperlengkapi untuk membawa jiwa-jiwa kecil datang 
kepada Tuhan Yesus! Kunjungilah situs PEPAK (Pusat Elektronik Pelayanan Anak 
Kristen).

Situs ini diluncurkan oleh Yayasan Lembaga SABDA khusus bagi para pelayan anak, 
pendidik, orang tua, hamba Tuhan, dan masyarakat Kristen Indonesia yang rindu 
diperlengkapi lebih dalam lagi untuk melayani domba-domba kecil Tuhan. Dapatkan 
artikel, tips, bahan mengajar, buku online, kesaksian, aktivitas, bundel-bundel 
PDF e-BinaAnak, dan masih banyak lagi dalam situs PEPAK. Gunakanlah setiap 
bahan di situs PEPAK yang secara GRATIS bisa Anda dapatkan untuk memperkaya 
wawasan, meningkatkan kemampuan, dan mempertajam panggilan Anda dalam pelayanan 
anak.

Sekarang juga! Kunjungilah situs PEPAK di: http://pepak.sabda.org


Kontak: jemmi(at)sabda.org
Redaksi: Yudo, Amidya, dan Yulia
Berlangganan: subscribe-i-kan-misi(at)hub.xc.org
Berhenti: unsubscribe-i-kan-misi(at)hub.xc.org
Arsip: http://sabda.org/publikasi/misi/arsip
BCA Ps. Legi Solo, No. 0790266579, a.n. Yulia Oeniyati
(c) 2014 -- Yayasan Lembaga SABDA < http://ylsa.org >

Kirim email ke