Cowboy Bojonegoro

Oleh: Dahlan Iskan, CEO Jawa Pos
CITRA Jatim di mata investor asing baru saja tercemar oleh tindakan
Bupati Bojonegoro Santoso. Bupati mengeluarkan surat yang isinya
menghentikan kegiatan pengeboran minyak di wilayahnya. Bupati juga
mengerahkan pasukannya untuk memblokade lahan yang sudah dipasangi rig
(alat pengeboran minyak) tersebut. Alasannya: sesuai dengan UU Migas,
daerah boleh mendapatkan saham 10 persen dari setiap usaha minyak di
daerah.

Maka, sudah hampir sebulan ini (larangan tersebut terhitung sejak 23
Maret 2005), rig itu nganggur. Sewa rig tersebut sekitar USD 20.000
(sekitar Rp 180 juta) per hari. Maka, kalau sebulan ini tidak ada
pencabutan surat bupati tersebut, kerugian langsungnya saja sudah hampir
Rp 3 miliar. Gelisahkah investor asing atas munculnya kerugian itu?

Tidak!
Semua biaya itu akan dicatat oleh si investor. Sesuai dengan peraturan
pemerintah Indonesia, semua biaya pengeboran minyak memang harus
ditanggung dulu oleh investor. Namun, kalau usaha pencarian minyaknya
berhasil, biaya tersebut akan diganti oleh pemerintah. Cara
penggantiannya adalah: dipotongkan dari bagian yang harus disetorkan ke
pemerintah. Bukan hanya biaya itu yang diganti pemerintah, tapi masih
ditambah 30 persennya lagi, sebagai semacam cost of fund.

Maka, investor asingnya tenang-tenang saja. Dilarang setahun pun si
investor tidak akan terlalu gelisah. Apalagi dalam kasus Bojonegoro itu
sudah jelas minyaknya sudah ditemukan. Investor tinggal terus membukukan
biaya selama dihentikan tersebut. Kelak, yang gigit jari pemerintah
Indonesia sendiri (termasuk pemerintah Jatim dan Bojonegoro). Bagi hasil
untuk pemerintah berkurang. Ini juga berarti jatah untuk Jatim dan
Bojonegoro juga akan berkurang.

Bupati Bojonegoro, rupanya, kurang teliti membaca UU Migas. Atau tukang
kipasnya begitu hebat sehingga bisa ngompori bupati yang memang
temperamental itu. Dia saya kenal dengan baik. Sejak masih berpangkat
mayor, sampai menjadi kepala Dolog Jatim, ketua PSSI Jatim, dan terakhir
kepala Dolog Papua. Setelah agak lama tanpa jabatan, lalu mencalonkan
diri jadi bupati Sidoarjo lewat pintu PDI Perjuangan. Entah sudah berapa
banyak dananya habis untuk proses itu. Gagal. Tak lama kemudian, muncul
namanya sebagai calon bupati Bojonegoro lewat pintu PKB. Kali ini jadi.

Jadi bupati Bojonegoro memang menggiurkan, kelihatannya. Di situlah
ditemukan cadangan minyak terbesar di Jatim yang dikenal sebagai Ladang
Cepu. Meski namanya "Ladang Cepu", sebenarnya wilayah itu masuk
Bojonegoro. Ladang tersebut dulu diberikan kepada Tommy Soeharto. Tapi
setelah dilakukan pengeboran dan memakan biaya besar, tidak ditemukan
minyak yang memadai. Tommy rugi besar sekali di sini. Termasuk proyek
pengilangan minyaknya yang sudah telanjur dibeli tidak jadi beroperasi.
Tidak cukup ada minyak di situ.

Lalu, Pertamina mengerjasamakan ladang tersebut dengan Exxon Mobil dari
AS. Dicobalah oleh perusahaan AS tersebut untuk dibor lebih dalam.
Ternyata ditemukan cadangan minyak sekitar 700 juta barel. Luar biasa
besarnya. Dengan harga minyak mentah Indonesia saat ini (sekitar USD 44
per barel), nilai kekayaan di bawah Bojonegoro itu Rp 280 triliun).
Tapi, untuk mengambil kekayaan tersebut, harus ada modal Rp 40
triliunan.

Gambaran yang serba triliunan itulah, yang kini membuat Pertamina dan
Exxon bersitegang. Pertamina minta pembayaran di depan Rp 4 triliun
dulu, tapi Exxon masih menawar separonya. Sudah lima tahun dan sudah
tiga presiden naik singgasana di Indonesia, tapi belum ada yang bisa
membuat keputusan. Exxon, rupanya, tahu tiga kekuatan dia yang sekaligus
tiga kelemahan Indonesia: kontrak harus dihormati, modal untuk menggali
minyak tersebut sangat besar, dan Indonesia sangat memerlukan minyak
tersebut segera diambil. Kalau tidak, pada 2009, kekurangan minyak
Indonesia semakin kritis.

Di tengah-tengah dua gajah itu ada semut yang dapat angin: Pemda
Bojonegoro. Lewat UU Migas yang baru, juga UU Otonomi Daerah, bupati
merasa pemda juga punya hak 10 persen.

Selain cadangan minyak yang besar itu, di Bojonegoro juga ditemukan
beberapa cadangan minyak kecil-kecil. Inilah yang diusahakan oleh Petro
China dengan Medco-nya Arifin Panigoro. Dan, ladang inilah yang distop
oleh bupati.

Bupati sungguh kurang teliti dan hati-hati. Hak 10 persen tersebut baru
berlaku untuk kontrak baru setelah UU itu lahir. Yang dia persoalkan itu
kontrak lama. Mungkin secara hukum memang masih bisa dipersoalkan, lepas
akhirnya kalah atau menang. Tapi, cacat citra Jatim di mata investor
asing sudah terjadi. Dulu ketika terjadi masalah pengelolaan minyak di
Kabupaten Siak, Riau, hebohnya bukan main. Yang terjadi di Bojonegoro
ini lebih berat daripada itu. Tidak berlebihan kalau lantas ada yang
menyebutnya sebagai cowboy Bojonegoro. Kita bisa bayangkan, apa yang
dibicarakan di forum-forum investor internasional mengenai kasus
Bojonegoro itu.

Bupati atau wali kota di era transisi demokrasi seperti ini memang
rawan. Banyak kasus bupati atau wali kota ditunggangi pihak lain karena
yang ditunggangi tidak tahu bahwa dia lagi ditunggangi. Kasus-kasus
pembelian kapal oleh bupati di banyak daerah, insenerator sampah, dan
pembangunan listrik, yang ujung-ujungnya hanya menguntungkan pihak
tertentu, umumnya terjadi karena minimnya latar belakang pengetahuan
bisnis para kepala daerah. Ini juga yang terjadi ketika para profesor,
doktor, aktivis yang tiba-tiba harus mengurusi alumunium, pulp,
gramatur, tinta, dan seterusnya. Apalagi untuk urusan minyak yang ada
2.000 meter di bawah tanah sana.

Gubernur Jatim sudah lama membayangkan jangan-jangan ada masalah seperti
di Riau di Jatim kelak. Karena itu, sejak tiga tahun lalu, Pemda Jatim
menugasi PT PWU, miliknya, untuk membuat anak perusahaan di bidang
minyak dan gas: PT Petrogas Wira Jatim. Meski komisaris utamanya saya
sendiri (yang tidak tahu bisnis minyak), tim manajemennya para
profesional di bidang perminyakan. Para bupati di Jatim bisa
memanfaatkan jasa PT Petrogas agar bisa dapat pandangan yang lebih luas.
Kalau perlu, PT Petrogas tidak usah dapat apa-apa (karena punya usaha
sendiri di bidang itu). Yang penting, jangan sampai ada bupati atau wali
kota yang kebablasan seperti di Bojonegoro. Reputasi, nama baik, track
record sangat penting dalam dunia bisnis.

Saya sendiri setuju dengan kesertaan 10 persen pemda di usaha minyak dan
harus diperjuangkan terus pelaksanaannya. Tapi, pendekatan business to
business adalah yang paling baik. Modalnya: kita tidak boleh kalah
pintar di bidang itu dengan para investor tersebut.

Sudah waktunya para bupati penghasil minyak di Jatim selalu bertemu dan
berkonsultasi di bawah koordinasi gubernur. Berjuang bersama-sama secara
benar akan lebih baik hasilnya.*** 

 

Santos Ltd A.B.N. 80 007 550 923
Disclaimer: The information contained in this email is intended only for
the use of the
person(s) to whom it is addressed and may be confidential or contain
privileged information. If you are not the intended recipient you are
hereby
notified that any perusal, use, distribution, copying or disclosure is
strictly
prohibited. If you have received this email in error please immediately
advise us by return email and delete the email without making a copy.
        

Kirim email ke