Mas Agus,
Contoh yang dibuat oleh teman Mas Agus tersebut apakah sudah terbukti baik?
Maksud saya bagaimana hasilnya, bukan hanya kemampuan si anak terhadap
pengetahuan apa yang diajarkan tetapi bersosialisasi dengan teman-teman saat
sekolah itu sesungguhnya sangat penting. Perselisihan, persahabatan, yang
terjadi saat bermain, ya namanya anak-anak, akan membentuk karakter kita,
bagaimana kita bisa menyelesaikannya. Banyak hal lainnya yang positip saat
bersekolah.

Jika anak kita bukan yang "ANOMOALI" (mengutip istilah diskusi sebelumnya)
bukankah sebaiknya mengikuti cara umum yang telah kita praktekkan selama
ini. Belajar disekolah negri atau swasta atau madrasah.
Jangan lihat Pak Ayip, karena itu kurang bisa menjadi teladan buat anak-anak
yang tidak "ANOMALI".

Mas,
Sampeyan itu kan dosen tentu saja punya data mahasiswa yang masuk ke kampus.
Coba perlihatkan, mereka datang dari SMA/SMU mana saja. Coba tunjukkan
perbandingannya, antara negri vs swasta vs international school vs SMA plus
atau lainnya. Atau bisa buat perbandingan dari sekolah di Jawa vs luar Jawa
vs Sumatra vs Kalimantan vs Sulawesi vs dll

Sehingga kita bisa lihat out put dari berbagai sekolah tersebut. Ini hanya
lingkup kecil saja.

salam
benz








Pada tanggal 26/03/08, Hendratno Agus <[EMAIL PROTECTED]> menulis:
>
> Contoh sederhana Homeschooling yang dipraktekkan oleh kawan saya. Kawan
> saya ini pendidikan S3 dari Amerika. Sehari-hari dosen di UGM. Ibu-nya
> pendidikan S2 di UGM, sebagai ibu rumah tangga, tinggal di Bantul.  2
> putra-nya sampai umur 10 th dan 12 th tidak dimasukkan pendidikan formal.
> SD- SMP. Pendidikan anaknya dididik sendiri oleh kedua orang tua, tanpa
> mendatang tutor atau guru les privat, tidak. Mulai baca tulis, tata bahasa,
> etika, pengetahuan umum (alam dan sosial), bahasa inggris, bahasa arab, baca
> tulis al-quran. Bapaknya, bilang: anak saya akan saya didik tanpa pendidikan
> formal, dan tidak perlu ijazah. Urusan kerja dan rejeki, ini urusan Tuhan
> (jawabnya).
>
>   Jadi kalau seumur 10 th dan 12 th, kawan-kawannya podo sekolah di SD -
> SMP, anaknya main dan otak-atik komputer, baca koran, baca al-quran, lihat
> internet, bermain, diskusi dengan ibunya. Bapaknya produk pendidikan formal,
> tapi mendidik anaknya dengan anti pendidikan formal.
>
>   Agus Hend
>
>
>
> Rovicky Dwi Putrohari <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>   Mas Noor
> Kalau aku baca2 dari diskusi dunia pendidikan formal, metode belajar
> home schooling itu semestinya sebagai alternatif dari metode
> konvensional (akademis).
> Homeschooling itu cocok misal utk ustrali yang di pelosok2 dimana
> sekolah konvensional tidak dapat diadakan. Misal sperti film "little
> house of the prairie" jaman aku kecil dulu.
> Di ustrali homeschooling itu yang mengajar ortu2nya, tetangga dan
> kakak dsb, walaupun modulnya dari sekolah formal. Dan juga ada
> ujiannya. Di Shell brunei dulu aku ketemu anak2 yang home schooling
> ini. Tetapi mereka melakukan ini karena ikutan ortu yang berpindah2.
>
> Namun mboh kenapa kok di Indonesia ini jadi mleset2 lagi. Yang
> mengajar bukan ortunya tapi mahasiswa atau seperti les privat. Gurunya
> dateng dari luar, bahkan guru2 sekolah formal menjadi tutor2nya
> sebagai bagian dari ngobyek.
> Untuk kondisi perkotaan dan penduduk yg cukup buanyakkk ini, metode
> homeschool bukanlah yang ideal
> Salam
>
>
>
> On 3/26/08, noor syarifuddin wrote:
> > untuk info saja: home-schooling sekarang semakin menjadi pilihan banyak
> > orang tua, namun karena kondisi negeri ini yang butuh formalitas ijazah
> > (bahkan sampai untuk ngurus paspor segala), maka mereka ikutan ujian
> > persamaan atau via UT.....
> >
> > jadi memang sistem pendidikan kita perlu banyak pembenahan....
> >
> >
> >
> > ----- Original Message ----
> > From: Rovicky Dwi Putrohari
>
> > To: iagi-net@iagi.or.id
> > Sent: Wednesday, March 26, 2008 2:13:26 PM
> > Subject: Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah
> >
> > Smoga semangat belajarnya yang lebih mengemuka. Karena aku sering
> > kawatir bangsa ini sering kepleset membaca. Judul yg dibuat Pak Awang
> > tentunya mengarah ke semangat maju bukan karena formalitas. Tapii
> > kalau mleset menjadi minus "ngapain sekolah" wong billgates saja do,
> > eisnstein saja ngga sekolah, juga thomas alfa edison kaga naik kelas.
> > Mereka-mereka yg sukses besar ini memang anomai, mereka yg terkenal
> > bukan manusia pad umumnya, dan juga mereka memang istimewa. Sedangkan
> > aku termasuk bukan anomali, aku ya seperti mereka yang biasa "tanpa
> > telor".
> > Dunia "pendidikan" di Indonesia ini menjadi rumit ketika dihadapkan
> > dengan anomali-anomali diatas. Ijazah merupakan bentuk formal dari
> > pengakuan akademis. Ijazah memang tidak menjamin sukses, apalagi tanpa
> > Ijazah !!
> > Keinginan mengejar ijazah di indonesia jelas bukan hal yang salah,
> > memang benar hal ini mudah disalah gunakan dan disalah artikan.
> > Yang perlu diketahui adalah potensi (smangat) mengejar ijazah tetap
> > harus dihembuskan bukan dilarang tetapi diatur dengan benar.
> > Learning (belajar) not just studying (sekolah)
> >
> > Salam
> > Rdp
> >
> >
>
> > On 3/26/08, Hendratno Agus wrote:
> > > Lha memang khitahnya manusia adalah "membaca" atau Iqra...; Tuhan
> > menurunkan
> > > perintah yang PERTAMA KALI pada manusia adalah "IQRA...." Membaca.
> > > Lalu membaca apa? Membaca semua unsur kehidupan yang melingkupi jati
> diri
> > > manusia secara pribadi maupun sebagai makhluk sosialnya. Artinya,
> bahwa
> > > untuk memenuhi jati diri sebagai manusia, kuncinya adalah "membaca"
> bukan
> > > mencari "ijazah" (sebagai representatif dunia pendidikan / akademik).
> > > Bagaimana Einstein menemukan formulanya, lalu bagaimana Socrates,
> Plato,
> > > Galileo, Syeh Abdul Qodir Jailani, Jalaludin Rumi, Ibnu Sina
> menghasilkan
> > > karya-karya monumental-nya, yang sampai sekarang digandrungi banyak
> orang
> > > dan turut meng-inspirasi berbagai konsep dan temuan yang penting untuk
> > > kemaslahatan ummat manusia dalam belantara akademik (di dalam
> > kampus-kampus
> > > formal) maupun belantara 'akademik" dari kampus-kampus alam semesta
> > > (universitas kehidupan semesta). Orang-orang seperti (Einstein, Plato,
> AQ
> > > Jaelani, Rumi di jamannya dulu) ini tidak pernah terbayangkan apa yang
> > > disebut "ijazah". Ketika terjadi revolusi industri di Eropa menguat,
> > > kemudian menjalar proses kapitalisasi di
> > > berbagai belahan dunia, maka peng-akuan seseorang "sangat ditentukan
> oleh
> > > proses pendidikan formal" yang bermuara pada selembar kertas "ijazah".
> > >
> > > Memang telah terjadi pergeseran peradaban saat ini. Jadi kalau toch
> > > Presiden kita nantinya tanpa sebuan ijazah-pun; ASAL dia MAU dan MAMPU
> > untuk
> > > "membaca" hati nurani masyarakat Indonesia dengan baik dan amanah,
> mengapa
> > > tidak? Tapi itu mustahil dalam kondisi kapitalisasi perpolitikan di
> negara
> > > mana pun, di dunia ini.
> > >
> > > Bagaimana kita yang geosantis mensikapi ini? Kembali pada khitah-nya
> > > manusia diamanahkan di Bumi ini adalah "Iqra". Sebagian dari makna
> Iqra
> > itu
> > > kita praktekkan dalam pola observasi, penyelidikan, survey, kemudian
> kita
> > > "bisa" membaca sejarah fragmen-fragmen dari bumi ini. Semakin sering
> kita
> > > "membaca / iqra" secara tekstual maupun secara kontekstual, maka
> semakin
> > > baik kita memberikan penalaran untuk berbagai sendi-sendi kehidupan
> > (paling
> > > tidak, kehidupan yang relevan / yang terdekat dengan sekitar kita
> > > masing-masing ini). Ayip Rosyidi adalah salah satu manusia yang "mau
> dan
> > > mampu" membaca kehidupan bagi dirinya sendiri, kolektifitas di sekitar
> > > mereka; dan mampu meng-inspirasi kepada khalayak yang relevan dengan
> "cara
> > > iqra-nya" bang Ayip itu.
> > >
> > > spirit of Iqro...
> > > Agus Hendratno
> > >
> > >
> > >
>
> > > yudi purnama wrote:
> > > "Akhirnya yang penting dalam hidup adalah prestasi yang diakui oleh
> > > masyarakat"
> > >
> > >
> > > Bravo Ajip Rosidi.....
> > > Yudi
> > >
> > >
> > >
> > >
> > >
> > >
> > > On Tue, Mar 25, 2008 at 1:04 PM, Awang Satyana wrote:
> > > > Ada seorang putra Indonesia yang tak punya gelar akademik sama
> sekali,
> > > bahkan ijazah SMA pun tak punya karena ia tidak menamatkan SMA-nya,
> tetapi
> > > ia diangkat sebagai gurubesar di tiga perguruan tinggi di Jepang.
> > Bagaimana
> > > bisa ?
> > > >
> > > > Kita barangkali akan sulit meneladani tokoh yang satu ini, bukannya
> > tidak
> > > mampu, tetapi kesempatan yang ada pada masa kita hidup saat ini sudah
> jauh
> > > berbeda dengan kesempatan yang lebar terbuka pada saat dahulu. Orang
> harus
> > > mampu, dan ada kesempatan untuk menunjukkannya, maka ia akan sukses.
> > Memang
> > > kesempatan bisa diciptakan, tetapi belum tentu selalu menjadi terbuka.
> Ini
> > > cerita tentang seseorang, barangkali ada manfaatnya, paling tidak
> > menekankan
> > > : no pain no gain !
> > > >
> > > > Sebuah buku baru diterbitkan Pustaka Jaya, Januari 2008. Tebalnya
> > setebal
> > > bantal, 1364 halaman, dicetak di kertas HVS. Meskipun tebal dan
> cetakannya
> > > bagus, harganya murah untuk buku setebal ini, Rp 95.000 (bandingkan
> dengan
> > > buku seri Harry Potter terakhir, Deadly Hollows, tebal 1008 halaman,
> > > berkertas dengan kualitas di bawah HVS, berharga Rp 175.000). Saat
> > > mengetahui harganya, saya cukup kaget juga, buku-buku yang dicetak
> biasa
> > > (bukan deluks) dengan tebal sekitar 200-300 halaman kini harga
> > rata-ratanya
> > > sekitar Rp 35.000-50.000, dengan harga rata2 itu maka buku tebal
> Pustaka
> > > Jaya ini mestinya berharga sekitar Rp 250.000. Bagaimana buku setebal
> 1364
> > > halaman ini harganya hanya Rp 95.000 ?
> > > >
> > > > Saya mendapatkan jawabannya pada halaman 1329 di buku ini dalam
> "Ucapan
> > > Terimakasih". Buku yang akan saya ceritakan ini memang harga
> seharusnya
> > > adalah sekitar Rp 300.000. Tetapi, siapa yang mau membeli buku setebal
> > 1364
> > > halaman dengan harga Rp 300.000 ? Kata Rosihan Anwar, wartawan dan
> penulis
> > > senior itu, tebal buku maksimal yang masih menarik untuk dibaca
> > orang-orang
> > > Indonesia adalah sekitar 300-400 halaman. Memang Rosihan Anwar
> > menganjurkan
> > > penulis buku ini untuk memotong bukunya sampai menjadi maksimal 400
> > halaman
> > > saja, tetapi penulisnya merasa sayang memotong manuskripnya yang sudah
> > > sampai 1000 halaman, jadi ia tak memotongnya sama sekali, maka
> akhirnya
> > > menjadi 1364 halaman. Harganya ? Ada sekitar 100 orang, sebagian di
> > > antaranya tokoh-tokoh terkenal Indonesia dan Manca Negara dari
> berbagai
> > > latar belakang, dari seniman sampai birokrat, dari ilmuwan sampai
> > jenderal,
> > > yang bersedia membeli buku ini dengan harga edisi khusus dan
> terjadilah
> > > subsidi silang sehingga
> > > > masyarakat umum dapat membelinya Rp 95.000. Sebuah ide bagus !
> > > >
> > > > Baik, saya ceritakan saja buku ini. Judulnya adalah "Hidup Tanpa
> Ijazah
> > :
> > > Yang Terekam dalam Kenangan", sebuah otobiografi Ajip Rosidi,
> sastrawan
> > dan
> > > budayawan Indonesia. Buku ini ditulis dalam waktu kurang dari setahun,
> > > ditulis atas anjuran teman-teman Ajip dan mengejar waktu agar telah
> terbit
> > > saat Ajip berusia 70 tahun pada 31 Januari 2008. Buku ini ditulis oleh
> > Ajip
> > > sendiri, jadi bukan otobiografi pesanan seperti banyak dipesankan oleh
> > para
> > > tokoh politik dan militer (namanya otobiografi ya harusnya ditulis
> sendiri
> > > dong, kalau dituliskan orang lain ya namanya biografi). Walaupun buku
> ini
> > > mulai ditulis tahun 2006, Ajip dapat merekam dengan cukup detail
> > peristiwa2
> > > puluhan tahun sebelumnya sejak Ajip anak-anak, remaja, pemuda, dewasa
> > muda,
> > > dewasa, sampai usianya sekarang (70 tahun). Pasti Ajip biasa menulis
> > jurnal
> > > kegiatan harian sehingga ia bisa menuliskan kembali peristiwa
> sehari-hari
> > > puluhan tahun ke belakang.
> > > >
> > > > Mengapa Ajip memberi judul buku ini "Hidup Tanpa Ijazah" ? Karena
> Ajip
> > tak
> > > punya ijazah apa-apa, ijazah SMA pun tidak, sebab ia keluar sebelum
> ujian
> > > akhir SMA (Taman Madya). Ajip tidak pernah kuliah, bukan sarjana,
> tentu
> > > bukan master, apalagi doktor. Ia hanya seorang otodidaktis (pelaku
> > otodidak)
> > > tulen. Tetapi, lihat karya, sepak terjang, dan pengakuannya. Itu semua
> > > melebihi pencapaian rata-rata sarjana, master, doktor, dan profesor
> pada
> > > umumnya.
> > > >
> > > > Saya tidak akan menceritakan dengan detail isi buku ini, untuk yang
> > > berminat silakan membelinya saja. Saya ingin menyoroti mengapa Ajip
> keluar
> > > sekolah, tidak mau meneruskan sekolahnya, otodidaknya, dan karya,
> sepak
> > > terjang, serta pengakuannya. Dengan sikap dan kiprahnya seperti itu
> Ajip
> > > adalah manusia langka, bukan hanya di Indonesia, di dunia pun jarang
> yang
> > > seperti dia.
> > > >
> > > > Ajip lahir di Jatiwangi, Kabupaten Majalengka, wilayah yang banyak
> > > menghasilkan genteng dan kecap itu, pada 31 Januari 1938. Menempuh
> > > pendidikan hanya sampai setingkat SMA yaitu di Taman Madya, Taman
> Siswa
> > > Jakarta, itu pun tidak tamat.Tahun 1956 dia dengan sengaja keluar dari
> > > sekolahnya seminggu sebelum ujian akhir dimulai. Pendidikan formalnya
> > > berakhir 52 tahun yang lalu. Tetapi, ia tidak pernah berhenti belajar.
> > > Pendidikan dan belajar tak harus di satu tempat. Pendidikan harus di
> > > sekolah, belajar bisa di mana saja.
> > > >
> > > > Saat Ajip mau menempuh ujian nasional, ramai terjadi kebocoran
> soal-soal
> > > ujian, orang tak segan mengeluarkan uang dalam jumlah banyak untuk
> membeli
> > > soal ujian, guru-guru pun bisa disogok. Di koran-koran timbul polemik
> > > tentang manfaat ujian. Dipertanyakan tentang keabsahan ujian untuk
> menilai
> > > prestasi murid yang sebenarnya. Ajip muda (16 tahun) berkesimpulan :
> orang
> > > tidak segan melakukan perbuatan hina, membeli soal ujian atau menyogok
> > guru,
> > > demi lulus ujian. Untuk apa lulus ujian ? Untuk dapat ijazah. Untuk
> apa
> > > ijazah ? Untuk melamar kerja. Untuk apa kerja ? Untuk dapat hidup.
> Kalau
> > > begitu, hidup berarti bergantung kepada secarik kertas bernama ijazah
> !
> > Ajip
> > > terkejut sendiri dengan kesimpulannya. Ia saat itu telah empat tahun
> > > berkarya (Ajip mulai mengirimkan tulisan2 cerita dan puisi dan dimuat
> di
> > > koran2 dan majalah2 sejak tahun 1952 saat umurnya masih 14 tahun) dan
> > telah
> > > merasa bisa hidup cukup mandiri dengan honorariumnya. Ajip bertanya,
> > apakah
> > > seorang pengarang
> > > > membutuhkan ijazah untuk bisa hidup ? Tidak.
> > > >
> > > > Ajip memutuskan bahwa hidupnya tidak akan digantungkan kepada
> selembar
> > > ijazah. Prestasinya tidak akan bergantung kepada selembar ijazah.
> > Menurutnya
> > > tak ada sekolah atau universitas yang dapat menuntunnya menjadi
> seorang
> > > pengarang yang baik, apalagi ia punya pengalaman bahwa guru2 bahasa
> > > Indonesianya semasa di SMP dan SMA harus lebih banyak membaca daripada
> > > dirinya.
> > > >
> > > > "Aku akan dapat meningkatkan pengetahuan dan kemampuanku dalam
> bidang
> > > sastra dan penulisan dengan banyak membaca. Dan membaca tidak usah di
> > > sekolah. Tidak usah juga bersekolah tinggi karena aku sudah mengenal
> > > huruf-huruf. Buku-buku dapat dibeli, atau dipinjam dari perpustakaan.
> > Dalam
> > > membaca aku dapat melampaui kebanyakan orang yang punya ijazah lebar.
> > Dengan
> > > kian luasnya bacaanku, maka tulisanku akan lebih berbobot. Kalau
> tulisanku
> > > berbobot, niscaya orang-orang akan menghargaiku sebagai pengarang.
> > Akhirnya
> > > yang penting dalam hidup adalah prestasi yang diakui oleh masyarakat.
> > Berapa
> > > banyak orang yang mempunyai ijazah tinggi dan menduduki jabatan
> penting
> > > dalam masyarakat tetapi tidak pernah memperlihatkan prestasi pribadi ?
> > > Mereka akan lenyap dari ingatan masyarakat kalau mereka sudah pensiun
> atau
> > > setelah meninggal. Aku ingin tetap dikenang orang walaupun aku sudah
> > > meninggalkan dunia yang fana ini. Dan hal itu hanya dapat dicapai
> dengan
> > > berkerja keras, dengan mencipta
> > > > karya yang bagus. Orang akan tetap mengingat namaku kalau
> karya-karya
> > yang
> > > kutulis bermutu" begitu tulis Ajip Rosidi di dalam buku ini halaman
> > 167-168.
> > > >
> > > > Dan, keluarlah Ajip dari sekolah alias drop out, dia menulis surat
> > kepada
> > > gurunya di atas kartu pos, "saya tidak jadi ikut ujian nasional karena
> > saya
> > > akan membuktikan bahwa saya dapat hidup tanpa ijazah" Luar biasa
> keputusan
> > > anak remaja ini, keputusan sendiri, tanpa memberi tahu orang tuanya di
> > > Jatiwangi.
> > > >
> > > > Dan puluhan tahun berikutnya adalah puluhan tahun pembuktian bahwa
> Ajip
> > > bisa hidup tanpa ijazah. Sebuah bakat yang ditekuni secara luar biasa
> akan
> > > berhasil luar biasa juga. Setahun sebelum ia keluar dari SMA, buku
> > > pertamanya telah terbit ketika umurnya masih 17 tahun, berjudul
> > "Tahun-Tahun
> > > Kematian" (kumpulan cerpen). Itu adalah buku pertama yang mengawali
> > sebanyak
> > > lebih dari 110 judul buku berikutnya selama puluhan tahun kemudian.
> Ajip
> > > menulis buku-buku baik kumpulan cerpen, kumpulan puisi, roman, drama,
> > > penulisan kembali cerita rakyat, cerita wayang, bacaan anak-anak,
> kumpulan
> > > humor, esai dan kritik, polemik, memoar, bunga rampai, buku
> terjemahan,
> > > biografi (ada 10 halaman daftar lengkap karya Ajip di buku otobiografi
> > ini).
> > > Ajip menulis baik dalam bahasa Sunda maupun bahasa Indonesia. Banyak
> > > karyanya diterjemahkan oleh penerbit internasional ke dalam
> bahasa-bahasa
> > > asing Belanda, Cina, Hindi, Inggris, Jepang, Jerman, Kroasia, Prancis,
> > > Rusia, Thai, dan lain-lain.
> > > >
> > > > Sepak terjang Ajip tak hanya dalam dunia penulisan sastra dan
> > sekitarnya.
> > > Ia adalah redaktur dan Pemimpin majalah Suluh Pelajar (1953-1955) saat
> > Ajip
> > > masih duduk di SMP dan SMA. Juga ia menjadi pemimpin redaksi Majalah
> Sunda
> > > (1965-1967), Budaya Jaya (1968-1979), dan Cupumanik (sejak 2005).
> > > >
> > > > Ajip juga adalah redaktur, pendiri dan pemimpin usaha2 penerbitan.
> Ia
> > > adalah seorang redaktur Balai Pustaka (1955-1956). Tahun 1962
> mendirikan
> > > Penerbit Kiwari, tahun 1964-1969 mendirikan dan memimpin Penerbit
> > Tjupumanik
> > > di Jatiwangi. Tahun 1971 mendirikan Penerbit Pustaka Jaya dan menjadi
> > > pemimpinnya. Tahun 1981 mendirikan Penerbit Girimukti Pusaka, Tahun
> 2000
> > ia
> > > mendirikan dan memimpin Penerbit Kiblat Buku Utama di Bandung. Usaha
> > > penerbitannya ada yang terus berjalan sampai Sekarang (Pustaka Jaya),
> ada
> > > juga yang telah lama berhenti.
> > > >
> > > > Ajip juga sangat giat dalam berorganisasi, misalnya tahun 1954 (umur
> 16
> > > tahun) menjadi anggota Badan Musyawarat Kebudayaan Nasional. Tahun
> 1956
> > > menjadi anggota Lembaga Bahasa dan Sastra Sunda. Tahun 1972-1981
> menjadi
> > > ketua Dewan Kesenian Jakarta (dewan ini juga dibentuk pada tahun 1968
> atas
> > > prakarsa Ajip. Tahun 1973-1979 sebagai ketua Ikatan Penerbit Indonesia
> > > (IKAPI). Tahun 1993 Ajip mendirikan Yayasan Kebudayaan Rancage, sebuah
> > > yayasan yang mengapresiasi karya-karya sastra daerah dalam bahasa
> Sunda,
> > > Jawa, dan Bali.
> > > >
> > > > Ajip juga menduduki banyak anggota badan-badan kehormatan. Tahun
> > 1960-1962
> > > dia adalah anggota Badan Pertimbangan Ilmu Pengetahuan bidang Sastra
> dan
> > > Sejarah. Tahun 1978-1980 sebagai staf ahli menteri Pendidikan dan
> > > Kebudayaan, tahun 1979-1982 menjadi anggota Dewan Fim Nasional, tahun
> > > 1979-1980 menjadi anggota Dewan Pertimbangan Pengembangan Buku
> Nasional.
> > > Tahun 2002 diangkat menjadi anggota Akademi Jakarta.
> > > >
> > > > Meskipun Ajip tak menamatkan SMA-nya, tak pernah kuliah, bukan
> sarjana,
> > > tentu bukan master, apalagi doktor, tahun 1967 ia diangkat sebagai
> dosen
> > > luar biasa pada Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran di Bandung.
> Ajip
> > pun
> > > sering diundang memberikan kuliah umum di berbagai perguruan tinggi di
> > > seluruh Indonesia. Dan, tahun 1981, Ajip diangkat sebagai Visiting
> > Professor
> > > pada Osaka Gaikokugo Daigaku di Osaka, Jepang. Ajip mengajar di Jepang
> > > sampai tahun 2003. Ajip pun diangkat sebagai Gurubesar Luar Biasa pada
> > tahun
> > > 1983-1994 di Tenri Daigaku di Tenri, Nara, Jepang. Tahun 1983-1996
> menjadi
> > > Gurubesar Luar Biasa pada Kyoto Sangyo Daigaku di Kyoto. Pensiun
> sebagai
> > > guru besar, Ajip pulang ke Indonesia pada tahun 2003. Sekalipun Ajip
> > berada
> > > di Jepang selama 22 tahun, dia tetap menulis buku2nya dalam bahasa
> Sunda
> > dan
> > > Indonesia, tetap berhubungan dengan para penggiat sastra di Tanah Air,
> dan
> > > tetap memantau serta mengelola organisasi2 yang pernah didirikannya
> dari
> > > jauh.
> > > >
> > > > Sebagai penggiat sastra, tentu Ajip pun banyak menjadi pembicara di
> > > berbagai simposium, seminar, kongres, konferensi atau lokakarya
> mengenai
> > > kebudayaan dan kesenian, terutama tentang sastra dan bahasa, baik di
> > tingkat
> > > daerah, nasional, regional, maupun internasional. Sebagai orang yang
> > mumpuni
> > > dalam bidang sastra, Ajip pun kerap diminta sebagai anggota dewan juri
> > dalam
> > > menilai berbagai perlombaan bidang sastra dan kesenian.
> > > >
> > > > Ajip dan organisasinya pun beberapa kali mendapatkan dana nasional
> > maupun
> > > internacional untuk penelitian sastra dan budaya. Tahun 1969-1972 Ajip
> > > mendirikan dan memimpin proyek penelitian pantun dan folklor Sunda.
> Tahun
> > > 1960-1967 Ajip mendapatkan dana dari the Toyota Foundation untuk
> meneliti
> > > kebudayaan Sunda dalam rangka penyusunan Ensiklopedi Sunda (telah
> terbit
> > > pada tahun 2000). Tahun 1960-1994 meneliti puisi Sunda, dan hasilnya
> > > dituliskan dalam tiga jilid buku dengan tabal total 1700 halaman
> (telah
> > > terbit dua jilid).
> > > >
> > > > Karena dedikasinya yang total lepada kesustraan dan kebudayaan, Ajip
> > > beberapa kali diganjar penghargaan, yaitu 1957 : Hadiah Sastra
> Nasional
> > > untuk kumpulan puisinya, 1960 : Hadiah Sastra Nasional untuk buku
> kumpulan
> > > cerpennya, 1974 : Cultural Award dari Australia, 1993 : Hadiah Seni,
> 1994
> > :
> > > penghargaan sebagai salah satu dari 10 putra Sunda terbaik, 1999 :
> > > penghargaan Order of the Sacred Treasure, Gold Rays with Neck Ribbon
> dari
> > > Jepang, 2003 : penghargaan Mastera dari Brunei, 2004 : Teeuw Award
> dari
> > > Belanda.
> > > >
> > > > Demikian sekilas karya-karya dan pencapaian-pencapai an Ajip. Ia
> > berkarya
> > > sejak berumur 14 tahun sampai kini usianya 70 tahun, menekuni sastra
> dan
> > > budaya Sunda dan sastra Indonesia selama 56 tahun.
> > > >
> > > > Di dalam buku ini, yang berisi 23 bab, kita bisa mengetahui bahwa
> > > pergaulan Ajip begitu luas, baik dengan kalangan sesama sastrawan dan
> > > budayawan, juga dengan banyak tokoh dari berbagai bidang baik di
> Indonesia
> > > maupun peneliti2 asing yang datang ke Indonesia untuk meneliti sastra
> dan
> > > budaya Indonesia. Bagaimana pergaulan dan pandangan Ajip dengan tokoh2
> > > seperti Ali Sadikin, Mochtar Lubis, Taufik Ismail, Asrul Sani,
> Affandi,
> > Gus
> > > Dur, Nurcholish Madjid, dan masih banyak lagi bisa dibaca di sini.
> > > Pengamatannya tentang kejadian2 penting yang dialami Indonesia entah
> itu
> > > pertikaian politik, bencana, korupsi, dan lain2 dari tahun2 1940-an
> sampai
>
>
> === message truncated ===
>
>
>
> ---------------------------------
> Looking for last minute shopping deals?  Find them fast with Yahoo!
> Search.
>
> ---------------------------------
> Looking for last minute shopping deals?  Find them fast with Yahoo!
> Search.

Kirim email ke