....dari gas-engine based ke diesel-engine based.........

dari kalimat ini saja mustinya lampu kuning-nya harusnya sudah berkedip-kedip 
karena tidak sesuai dengan logika energi sekarang: gas lebih murah dari diesel.
salam,

----- Original Message ----
From: Eko Prasetyo <[EMAIL PROTECTED]>
To: iagi-net@iagi.or.id
Sent: Friday, June 20, 2008 11:35:10 AM
Subject: Re: [iagi-net-l] Potensi Rp. 34 Trilyun, biaya cost recovery yg tidak 
layak


ini ada sebuah kisah:
 
Sebuah operator lapangan minyak mempunyai cadangan gas yang cukup menjanjikan, 
dan mereka ingin mengkomersialkannya. Tapi ada sebuah pemikiran licik yang 
aneh: gas akan dijual semua, dan mereka ingin mengganti power supply system 
mereka dari gas-engine based ke diesel-engine based. Usut punya usut, ternyata 
pemilik perusahaan ingin bermain di fuel supply system cost recovery yang akan 
masuk ke diese-fuel-brokeraga yang ternyata....milik mereka sendiri.
 
Skenario seperti ini akan kah lolos dari saringan BP-MIGAS?

 
On 6/20/08, Agus Budiluhur <[EMAIL PROTECTED]> wrote: 
Noor,

Saya pikir yang (juga) menjadi major issue dalam hal ini, adalah apakah 
pembiayaan2 yang masuk dalam cost recovery ini, tidak ada sulap???Salam,

-abl-


2008/6/19 noor syarifuddin <[EMAIL PROTECTED]>: 


Mas Firman yang penuh semangat,
Saya kira tidak perlu menunggu anda ditempatkan menjadi pengawas approval CR 
untuk bisa berperan. Kita semua bisa mulai dari lingkungan kerja kita sendiri 
dengan bekerja lebih profesional, efisien serta inovatif. Dengan itu semua 
paling tidak kita bisa menghindarkan pembengkakan biaya operasional yang 
nantinya akan berujung ke CR.
Marilah kita bertanya kepada diri sendiri setiap kali akan mengambil keputusan 
: apakah saya memang perlu untuk melakukan hal ini....(MDT point, OFA, logging 
suite, log interpretation, seismic reprocessing, perbanyakan dokumen dll). Mari 
kita berpikir secara inovatif dan tidak selalu menerima hal-hal yang sudah 
menjadi KEBIASAAN dalam kita bekerja sehari-hari. Dari hal kecil ini kita 
mungkin bisa berperan secara positif dan langsung untuk mengurangi CR ini.
 
 
salam,
NSy
----- Original Message ----
From: Firman Gea <[EMAIL PROTECTED]>
To: "iagi-net@iagi.or.id" <iagi-net@iagi.or.id>
Sent: Friday, June 20, 2008 8:53:10 AM
Subject: [iagi-net-l] Potensi Rp. 34 Trilyun, biaya cost recovery yg tidak layak


Dear Pejabat BP MIGAS yang membaca, mohon diteruskan ke yang berwenang,
Bagaimana tanggapan pejabat BP MIGAS tentang hal ini? Apa tindak lanjutnya? 
Penyempurnaan sistem pengawasan dan approval Cost Recovery? Atau bahkan 
penghapusan sistem tersebut? Apapun lah metode perbaikannya, saya yang bodoh 
ini cuma menghimbau Bapak-bapak pejabat yang pintar-pintar dan terbukti pintar 
untuk dengan konsistensi dan memperhitungkan hati nurani segera memperbaiki hal 
ini. Rp. 40 trilyun, Pak!! Kalau Bapak-bapak butuh yang muda-muda dan fresh 
untuk berpikir dan bertindak tegas, Bapak tinggal cari saja insinyur-insinyur 
muda yang siap untuk itu, di setiap pelosok negeri ini.
Stop kebocoran uang rakyat dari sistem Cost Recovery, sekarang juga!!! 
Salam,
Firman Fauzi – geologist muda, siap digaji besar yang wajar untuk ditempatkan 
di posisi pengawasan approval Cost Recovery, and I'm not the only one, Sir.
 
Penerimaan Minyak Berpotensi Dikorupsi Rp 228,096 Triliun 
Arin Widiyanti- detikFinance

Tambang MInyak (ist)
 
Jakarta- Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan potensi penyelewengan dalam 
penerimaan minyak selama tahun 2000-2007 sebesar Rp 228,096 triliun.

Hal tersebut disampaikan Koordinator Pusat Data dan Analisis ICW Firdaus Ilyas 
dalam jumpa pers di Kantor ICW Jalan Kalibata Timur IVD, Jakarta, Kamis 
(19/6/2008).

Angka itu timbul dari data resmi perminyakan dari Departemen ESDM selama 
2000-2007. Dari data itu pendapatan yang disimpangkan indikasinya sebesar Rp 
194,097 triliun ditambah hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap 
kontrak Kontraktor Kerja Sama minyak (KKSS) pada semester I-2006, semester 
I-2007 dan semester II-2007 dengan temuan cost recovery yang tidak perlu 
dibayarkan sebesar Rp 39,999 triliun. 

Dari angka itu sebesar Rp 6 triliun merupakan angka cost recovery yang layak, 
dengan kata lain mengurangi pendapatan negara dari minyak sebesar Rp 34 triliun.

Firdaus mengatakan apabila pihak BP Migas merasa janggal akan temuan ini dia 
menantang BP Migas untuk membuka data penerimaan minyak yang dimilikinya secara 
head to head dengan ICW sehingga data penerimaan minyak menjadi transparan.

"Temuan ini akan dibawa ke KPK sebagai bahan investigasi KPK apakah ada 
indikasi korupsi dalam pengelolaan minyak karena apabila penyimpangan ini tidak 
ditegakkan maka saya yakin seperti sekolah gratis, dan jaminan kesehatan gratis 
tidak akan teralisasi. Negara terlalu dirugikan dengan penyimpangan ini," 
ujarnya.

Dia meminta pemerintah untuk meninjau ulang regulasi dan otoritas BP Migas 
dalam  pengelolaan minyak dan gas apakah telah melakukan pengawasan dengan 
benar.

Tak lupa dia juga meminta pelaksanaan audit investigasi penerimaan minyak 
secara menyeluruh.

"Riset ini bisa merupakan shock theraphy. Indonesia selalu dirugikan dengan 
cost recovery yang tidak erlu dibayarkan kepada pengusaha minyak," ujarnya.

Hasil audit BPK terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 
2005-2007 dimana ditemukan penerimaan migas yang tidak dicatat dan dibelanjakan 
tanpa melalui APBN senilai Rp 120,329 triliun.
( ddn / qom ) 


      

Kirim email ke