---------- Forwarded message ---------- From: Ridwan Djamaludin <[EMAIL PROTECTED]> Date: Jun 19, 2008 1:04 PM Subject: jawaban untuk RDP & nDaru To: prasiddha Hestu Narendra <[EMAIL PROTECTED]> Cc: [EMAIL PROTECTED]
Rovicky dan Mas nDaru, berikut jawaban-jawaban saya terhadap pertanyaan2 Anda: Bangsa ini sedang menghadapi masalah-masalah besar, terutama adalah kurang berpikir positif, terlalu banyak bicara tapi kurang bekerja, dan tidak kompak dalam menghadapi masalah. Dalam konteks kegeologian, kita akan [bahkan sudah] menghadapi krisis energi tapi tidak punya rencana yang jelas untuk mengatasinya. Konsumsi minyak sudah melebih produksi, tapi strategi menambah produksi belum gamblang dipaparkan. Bicara nuklir, ada yang mengharamkan. Bicara batubara, diserang soal lingkungan. Sel surya, tenaga bayu, tenaga arus laut dianggap mahal. Bahkan, blue energy dianggap ide gila.. Tapi, hidup ini 'kan harus memilih... Maka kita harus memilih dari yang ada bukan hanya sibuk berwacana. Masalah lain adalah konflik dalam pengelolaan sumberdaya kebumian, sehingga-seperti kata MT Zen: minyak ternyata membawa bencana, bukan berkah... Umumnya sering dipertentangkan antara kepentingan 'kapitalis' dengan kepentingan 'rakyat'; atau kepentingan ekonomi vs. perlindungan lingkungan. Kita sering tidak konsisten dalam menyikapi konflik2 ini. Contoh: Newmont Minahasa dianggap berdosa karena membuang tailing ke dasar laut, tapi rakyat di dekatnya yang menggunakan mercury tak dianggap salah. Atau, penambangan timah inkonvensional di Bangka tak berani ditutup karena ternyata menggerakkan ekonomi rakyat; dan sialnya didukung politisi lokal... Menurut saya, IAGI perlu berperan secara strategis dalam menyikapi kondisi ini. Caranya, antara lain: membentuk Forum Pakar Bidang Sumberdaya Energi. Forum ini akan mengulas potensi berbagai sumberdaya energi yang bisa dipilih oleh bangsa ini. Forum sejenis dapat diterapkan untuk isyu lingkungan, tataruang, sumberdaya air, dan mitigasi bencana. Ketika orang ribut soal reklamasi, informasi geologi belum banyak digunakan. Padahal ini salah satu faktor kunci. Informasi ini perlu kita sampaikan secara tepat sasaran. Saya yakin, kalau informasi kita benar dan didukung fakta yang kuat, kita bisa seperti KPK: bertindak benar atas dukungan hukum dan dukungan masyarakat... Sambungan untuk Mas Sukamndaru: Memang sebagian besar anggota IAGI berkiprah di Jakarta, atau di kota-kota besar yang banyak industri kebumiannya; namun anggota yang di daerah sebenarnya dapat menjadi ujung tombak dalam kegiatan-kegiatan yang terkait dengan kehidupan sehari-hari, seperti masalah lingkungan, tataruang, tataguna air, mitigasi bencana, dll. Tipikal anggota IAGI di daerah adalah PNS Dinas ESDM, dosen, atau konsultan geologi teknik. Saya akan mendorong anggota di daerah untuk bicara tentang isyu-isyu strategis di daerah. Contoh yang bagus adalah IAGI Riau seperti dilaporkan dalam Rakernas di Bali, IAGI Sumbar dalam sosialisasi gempa & tsunami, IAGI Nusatenggara, IAGI Jabar dalam kasus jalan tol Cipularang, dll. Kalau dianggap layak, mereka perlu juga didorong untuk melakukan 'PIT Daerah', PIT 'kecil2an' untuk membahas isyu lokal. Tentang 'pemerataan', saya akan melaksanakan program-program yang lebih beragam dalam konteks bidang keilmuan. Sebetulnya selama ini sudah cukup kita upayakan, namun suka atau tidak suka topik-topik migas memang masih dominan. Tapi ini bukan masalah, yang penting adalah para anggota dalam bidang lain harus lebih aktif. Batubara, emas, bijih besi, timah, air tanah, lingkungan, bencana kebumian adalah topik-topik seksi yang menarik. Saya akan mengkampanyekan semangat: "Jangan tanya kenapa IAGI lebih banyak bicara migas, tapi tanyalah kenapa yang bukan migas nggak bicara-bicara....". Setuju ya... Terimakasih atas pertanyaan rekan2 yang sesunguhnya merupakan masukan buat saya. Hidup IAGI!!!