Akhir tahun lalu saya berada di sebuah kawasan pantai di Kuta, Bali untuk 
mengajar sebuah kursus. Hampir setiap sore atau pagi, saya sempatkan 
berjalan-jalan di pantai. Selain sekadar berolah raga dan menghirup udara laut, 
saya juga sempatkan mengamati air laut bolak-balik di wilayah muka pantai 
(shoreface, intertidal)  bersama sedimentasi yang dihasilkannya. Struktur 
sedimen gelembur gelombang (wave ripple/ ripple mark) terlihat di mana-mana. 
 
Kawasan pantai memang sering dijadikan tempat pengamatan struktur sedimen 
modern. Saya teringat ke pantai Aquitaine di tepi pantai Atlantik, Prancis saat 
beberapa tahun yang lalu bersama teman-teman Total ekskursi ke sana dan 
ramai-ramai menggali muka pantai menggunakan sekop demi mengamati struktur 
sedimen Resen hasil proses2 di pantai. Saya juga teringat saat ikut ekskursi 
dengan Chevron hampir 20 tahun yang lalu ke pantai Galvestone, di tepi Teluk 
Mexico, Texas; saat itu kami menancapkan alat coring dari kaca serat (fiber 
glass) ke pasir pantai sampai beberapa dalam, mencabutnya lagi dan mengamati 
struktur sedimen endapan pasir di dalam core. Pekerjaan coring di Delta Mahakam 
(Resen) sering pula dilakukan oleh rombongan ekskursi ke daerah ini untuk 
mempelajari proses sedimentasi delta.
 
Begitulah, itu dilakukan dalam rangka memahami proses sedimentasi pada masa 
lalu, pada masa geologi sebab dalam geologi berlakulah prinsip “the present is 
the key to the past”.
 
Di pantai Kuta Bali itu, saya mengamati banyak alga berwarna coklat yang 
terhempas ke pantai, juga menemukan ‘rumput laut’ tumbuh di tempat berbatu 
maupun berpasir. Saya juga naik ke pulau-pulau buatan yang dibangun agak jauh 
dari pantai ke arah laut. Pulau-pulau ini dibangun untuk memecah gelombang; 
semacam tanggul yang dibuat dari batu-batugamping terumbuan. Batu-batu pemecah 
gelombang di pantai Kuta ini mungkin didatangkan dari kawasan Bali selatan, 
sebab sekilas melihatnya seperti batugamping yang pernah saya lihat di Uluwatu.
 
Alga, ‘rumput laut’ dan hewan karang batu (scelaractinian coral) adalah tiga 
makhluk hidup yang membangun struktur yang saling berhubungan, yaitu terumbu. 
Terumbu adalah reservoir migas yang penting di Indonesia. Saya ingin sedikit 
bercerita bahwa istilah alga dan ‘rumput laut’ telah disalahgunakan dalam 
perbincangan atau diskusi-diskusi.
 
Dalam dunia perdagangan atau dalam penggunaan sehari-hari, alga sering disebut 
sebagai rumput laut yang merupakan terjemahan dari istilah bahasa Inggris ‘sea 
weed’. Mengacu kepada buku-buku biologi marin (misalnya “Laut Nusantara”, 
tulisan Dr. Anugerah Nontji, 1987, 2002 –Penerbit Djambatan), sebenarnya, 
istilah rumput laut itu tidak tepat karena secara botani alga tidak termasuk 
golongan rumput-rumputan (Graminae). Selain itu, alga sering pula disebut 
‘ganggang’ atau ‘agar-agar’. Istilah ganggang dapat membingungkan karena 
istilah ini telah digunakan untuk jenis tertentu tumbuhan air tawar (Hydrilla). 
Sementara agar-agar, sering dikaitkan dengan kandungan kimia dari beberapa 
jenis alga laut yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan agar-agar.
 
Istilah rumput laut akan lebih membingungkan lagi karena sering pula digunakan 
sebagai terjemahan istilah ‘sea grass’. Padahal ‘sea grass’ bukanlah rumput, 
bukan pula alga, melainkan tumbuhan akuatik yang berbunga (Angiospermae) dari 
bangsa Helobiae yang hidup di dalam laut. Untuk mengganti istilah rumput laut, 
para ahli biologi marin di Indonesia telah mengusulkan istilah ‘lamun’ sebagai 
terjemahan sea grass. Istilah ‘lamun’ telah lama digunakan oleh penduduk 
Kepulauan Seribu, Teluk Jakarta untuk menyebut ‘rumput laut’ (jangan 
dikelirukan dengan ‘lamun’ dalam bahasa Sunda yang artinya ‘kalau/bila’)
 
Alga ada yang hidup sebagai fitoplankton - melayang-layang ke mana air 
membawanya, atau sebagai fitobentos - menancap di dasar laut. Sebagai 
fitobentos, alga sedikit terdapat di perairan yang dasarnya berlumpur atau 
berpasir. Alga butuh tempat (substrat) yang kokoh  untuk melekat. Di terumbu 
karang, alga umum ditemukan, mereka melekat pada batu, potongan karang, 
cangkang moluska, potongan kayu, dan sebagainya. Substansi alga bermacam-macam, 
ada yang lunak, keras mengandung kapur, berserabut dan sebagainya. Alga yang 
berkapur (calcareous) misalnya ‘Halimeda’ banyak ditemukan di terumbu karang 
dan ikut memperkuat formasi terumbu karang tersebut.
 
Indonesia merupakan negara yang sangat kaya akan jenis alga. Pengkajian ilmiah 
mengenai alga laut telah dimulai lebih daripada 250 tahun yang lalu, oleh 
Rumphius (tahun 1750) di perairan Ambon. Ilmuwan ini, meskipun buta, meneliti 
alga dengan detail. Pada tahun 1900, bersamaan dengan Ekspedisi Siboga, telah 
diidentifikasi sebanyak 782 jenis alga di Indonesia. Dan, penduduk Indonesia 
telah berabad-abad menggunakan alga untuk berbagai keperluan, termasuk sebagai 
bahan pangan.
 
Kini tentang lamun (sea grass), ini adalah tumbuhan berbunga yang sudah 
sepenuhnya menyesuaikan diri untuk hidup terbenam di dalam laut. Lamun sering 
dijumpai di terumbu karang, ia dapat hidup juga di perairan dangkal yang agak 
berpasir. Kadang-kadang, lamun membentuk komunitas yang lebat di bawah muka 
laut sehingga disebut ‘padang lamun’ (sea grass bed) yang pelamparannya cukup 
luas. Padang lamun merupakan ekosistem yang sangat tinggi produktivitas 
organiknya sebab itu umum menjadi kawasan tujuan makhluk hidup untuk menetap 
atau mengunjunginya. Duyung sering ditemukan ‘merumput’ di padang lamun.
 
Padang lamun terkenal memperlambat gerakan air arus dan gelombang sehingga 
perairan di sekitarnya menjadi lebih tenang. Di sini sedimen ditangkap, 
sekaligus menjadi pelindung pantai dari erosi.
 
Kepentingannya untuk geologi migas, hubungan antara alga, lamun dan terumbu 
adalah harmonis untuk membangun suatu sistem hidrokarbon (petroleum system). 
Dalam proses-proses sejarah geologi, wilayah alga adalah wilayah terumbu. Alga 
bersama hewan karang batu (scleractinian coral) akan membangun terumbu karang 
(karena itu simbiose di antara mereka ini suka disebut ‘coralgal’). Pada 
sayatan petrografi terumbu, koral dan alga sering ditemukan bersamaan. Padang 
lamun yang kaya organik dan berada di lingkungan berenergi rendah akan menjadi 
batuan induk yang kaya organik, yang kelak akan jadi dapur hidrokarbon 
(kitchen) yang baik untuk terumbu yang berkembang di dekatnya. Tripartit 
alga-padang lamun-terumbu karang adalah prasyarat suatu sukses sistem 
hidrokarbon.
 
Suatu pagi di kawasan Pantai Kuta itu, saya menemukan banyak Sargassum, suatu 
genus alga coklat (Phaeophyceae), terhempas ke pantai. Alga ini tidak mati, 
masih hidup. Yang nampak terkulai lebih lama pun masih hidup sebab masih segar. 
Itulah keunikan Sargassum, ia dapat sebagai fitobentos maupun fitoplankton. 
Alga ini banyak mengandung gelembung udara di tubuhnya yang nampak seperti 
buah-buah kecil. Saat ia tercabut dari substrat dasarnya, ia tetap hidup dengan 
mengambang di permukaan oleh gelembung-gelembung udara itu, sebuah pelampung 
alam yang unik. Meskipun terhempas ke pantai, saat air pasang ia akan 
mengambang lagi dan meneruskan hidupnya. 
 
Demikian, sebuah cerita tertunda dari tahun lalu; semoga kita kini dapat 
menggunakan istilah yang tepat untuk menyebut alga atau lamun.
 
Salam,
Awang


      Menambah banyak teman sangatlah mudah dan cepat. Undang teman dari 
Hotmail, Gmail ke Yahoo! Messenger sekarang! 
http://id.messenger.yahoo.com/invite/

Kirim email ke