Iya sih pingin banget memanfaatkan waktu yang ada untuk mengerti. Kebetulan
saya selain sama pak Edi gafar juga sama pak Haryadi Permana yang dulu
banyak bekerja untuk sosialisasi Gempa. Cuman, terus terang agak sulit untuk
punya waktu dan kesempatan karena masih banyak pekerjaan yang tersisa
sebelum kami pulang tanggal 16 ini. Selain setress terus digoyang begini.

Kalau saya fikir, di sini lebih cenderung ke local wisdom aja yah.
Pertimbangan moral nya yang sudah jadi budaya. Paling tidak, itu yang saya
tangkap dari ceritanya pak Iyung. Artinya mas Ismed, saya nggak yakin akan
ada penggantian. Kasus yang saya ceritakan bukan pengungsi, hanya karena
gempa ini menyebabkan transportasi lumpuh total sehingga orang tidak bisa
pulang. Sehingga mencari tempat berteduh di mal tersebut.

Saya juga sangat berharap, dari kita ada yang terjun ke sini sebagai wujud
keperdulian seperti bangsa lain berbondong2 membantu kita waktu itu. Selain
membantu, bisa belajar bagaimana mereka menangani bencana. Di sini tingkat
kesulitannya jauh lebih berat saya fikir. Nuklir, saluran gas yang terhubung
ke setiap rumah, cuaca yang dingin dan bahkan salju, dan tingkat kepadatan
yang tinggi, dan ketergantungan pada teknologi yang rentan dengan bencana
seperti tranportasi kereta yang punya tingkat kerumitan tinggi. Belum lagi,
tingkat kehati2an yang mungkin buat kita kelewatan, sehingga kereta pada
nggak jalan.

Wallahu a'lam

2011/3/12 Rovicky Dwi Putrohari <rovi...@gmail.com>

> Mas Udrech berarti di Indonesia melakukan karena local wisdom
> "tulung-tinulung". Mungkin anda bener karena di jepungp sana lebih
> tertata dan terukur. Kalau memungkinkan dicopi saja SOPnya trus kita
> modifikasi dan diusulkan ke BNPB atau malah disosialisasikan lewat
> IAGI-HAGI sebagai pegangan. Supaya tanggap daruratnya lebih tertata
> dan terorganisir.
> Mungkin mas udrekh bisa mendapatkannya lewat i-net atau selebaran yg
> mereka miliki. Sukur2 dalam versi bahasa Inggerisnya. Jepang mungkin
> lebih pas sebagai panutan karena memilki kemiripan budaya ketimbang
> barat (eropa-amrik).
> Salam
> RDP
>
> On 12/03/2011, Udrekh <udr...@gmail.com> wrote:
> > Amiiin... Iya, urusan keperdulian kita sih rasanya nggak kalah. Cuman,
> > mereka kok sepertinya lebih punya SOP.
> >
> > Btw, saya sendri nggak banyak paham dengan gempa. Rasa2nya, informasi
> gempa
> > yang terjadi di Indonesia, jarang mendengar after shocknya sering dan
> > lumayan besar. Di sini, jadi was-was terus, meningat goyangannya rutin
> > terjadi , tetap besar, dan hampir mencapai 1 hari.
> >
> > 2011/3/12 Rovicky Dwi Putrohari <rovi...@gmail.com>
> >
> >> Hal yang sama sebenernya juga terjadi di Jogja sewaktu Gunung Merapi
> >> Meletus akhir tahun lalu.
> >> Bagi yang suka kuliner tentunya tahu Rumah Makan Moro Lejar. Ketika
> Merapi
> >> meletus, Rumah makan itu seketika berubah menjadi POSKO Bencana yang
> >> dikelola IOF (Indonesian Offroad Federation). Walaupun akhirnya terpaksa
> >> berpindah setelah radius bahaya berkembang menjadi 20 Km. Tetapi ketika
> >> radius diturunkan, Rumah Makan Morolejar ini berganti kembali menjadi
> >> POSKO
> >> Bencana. Saya tahu ini karena bersama IOF saya naik keatas diantar Staff
> >> bahkan bersama Pak Kapolda.
> >>
> >>
> > --
> > Udrekh
> > Marine Geoscientist
> > Nusantara Earth Observation Network
> > The Agency for The Assessment and Application Of Technology (BPPT)
> > BPPT 1th Building 20th floor
> > M.H. Thamrin no. 8
> > Jakarta 10340
> > Indonesia
> > Phone : 62-21-3168909
> >
>
> --
> Sent from my mobile device
>
> *"Success is a mind set, not just an achievement"*
>



-- 
Udrekh
Marine Geoscientist
Nusantara Earth Observation Network
The Agency for The Assessment and Application Of Technology (BPPT)
BPPT 1th Building 20th floor
M.H. Thamrin no. 8
Jakarta 10340
Indonesia
Phone : 62-21-3168909

Kirim email ke