Dengan Hormat

Coba tengok kebelakang .. waktu Megawati jadi Presiden siapa Menko 
Perekonomiannya .. 

Setalah itu siapa yang menjual Gas dari Tangguh ke China dengan Harga murah ... 
dll 

Maaf saya nggak respek dengan Sdr Dr.Rizal Ramli .. 

Salam 

Dandy 

To: iagi-net@iagi.or.id
From: anoms...@gmail.com
Date: Sat, 11 Aug 2012 09:32:52 +0000
Subject: Re: [iagi-net-l] MK Pengujian UU Migas

Rizal Ramli ini dulu ketika jadi menteri jg tdk berbuat apa2 tetapi setelah 
berposisi diluar baru berkoar-koar.
Mau dirubah seperti apa juga sistem kita ini akan sama aja,,pasti ada lg pihak2 
yg kontra dan koar2. Akan banyak interpretasi negatif yg lain lagi.
Hukum itu simple saja yg penting yg menjalankan itu profesional semua.

Salam ngabuburit
-seto-
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSATFrom:  Ok Taufik <ok.tau...@gmail.com>
Date: Fri, 10 Aug 2012 16:49:54 +0700To: iagi-net<iagi-net@iagi.or.id>ReplyTo:  
<iagi-net@iagi.or.id>
Subject: [iagi-net-l] MK Pengujian UU Migas

          Transkrip: DR. Rizal Ramli - MK Pengujian UU Migas (18 Juli 2012)     
   
                          
                  
                          
    

    
  
    

      
  
  
    DR. RIZAL RAMLI
Saksi Ahli PERKARA NOMOR 36/PUU-X/2012
PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2001.
Mahkamah Konstitusi, Rabu, 18 Juli 2012.
 
Yang Mulia Bapak Ketua dan Anggota 
Mahkamah Konstitusi, Pak Din Syamsudin Ketua Muhammadiyah, Pak Amidhan 
dari MUI, dan kawan-kawan dari Muhammadiyan dan NU, dan para tim 
pembela.
Inisiatif untuk meminta judicial review 
tentang Undang-Undang Migas ini menurut saya ini suatu hal yang historis
 yang diminta oleh kawan-kawan organisasi sosial kemasyarakatan paling 
besar di Indonesia.

Saya ingin menyampaikan beberapa hal. 
Yang pertama adalah proses pembuatan Undang-Undang Migas ini. 
Undang-Undang Migas ini dibiayai dan disponsori oleh USAID dengan motif:
1.   Agar sektor migas diliberalisasi.
2. Agar terjadi internasionalisasi harga, agar harga-harga domestik migas 
disesuaikan dengan harga internasional.
3. Agar asing boleh masuk sektor hilir yang sangat menguntungkan dan bahkan     
 risikonya lebih kecil dibandingkan sektor hulu.
 
Pertama kali draft undang-undang ini 
diajukan oleh Menteri Pertambangan Kuntoro Mangunsubroto pada masa 
pemerintahan Habibie, ditolak oleh DPR atas saran kami karena kami pada 
waktu itu adalah penasihat DPR untuk keempat Fraksi, Fraksi Angkatan 
Bersenjata, Fraksi Golkar, dan PPP dan PDIP.

Kemudian selama pemerintahan Gus Dur 
Undang-Undang ini nyaris stak tidak ada kemajuan karena tidak mungkin 
dilewatkan jika Menkonya itu Pak Kwik Kian Gie dan kemudian dilanjutkan 
oleh saya. Begitu pemerintahan Gus Dur jatuh, undang-undang ini kemudian
 diajukan dengan sangat cepat oleh Pak Boediono sama Pak Purnomo kawan 
saya dan diproses di DPR dengan sangat cepat.

Setelah itu, Kedutaan Besar Amerika dan 
USAID mengirim laporan ke Washington telah  berhasil menggolkan 
undang-undang ini yang sangat penting untuk kepentingan bisnis Amerika 
di sektor migas di Indonesia. Pembuatan undang-undang yang dibiayai oleh
 asing biasanya banyak prasyarat, dan conditionalities-nya, dan sering 
diiming-imingi dengan pinjaman, apa yang dikenal sebagai loan-tied laws, 
undang-undang yang dikaitkan dengan pinjaman.


Dalam sejarah Indonesia, itu banyak 
sekali kasusnya. Saya berikan contoh, ADB menawarkan U$300.000.000,00 
dengan syarat Pemerintah Indonesia membuat Undang- Undang Privatisasi 
BUMN. Jadi, Undang-Undang Privatisasi BUMN ini dipesan oleh ADB dan 
ditukar dengan pinjaman sebesar U$300.000.000,00. Undang-Undang 
Privatisasi Air dipesan oleh Bank Dunia dengan memberikan pinjaman 
U$400.000.000,00. Jadi, air yang di dalam Undang-Undang Dasar kita 
dinyatakan sebagai dikuasai oleh negara untuk kepentingan rakyat 
sebesar-besarnya, itu pun mau diswastanisasikan. Dan untuk itu, 
Pemerintah Indonesia diberikan pinjaman U$400.000.000,00, Undang-Undang 
Migas termasuk. Jadi undang-undang yang dikaitkan dengan pinjaman luar 
negeri, penuh prasyarat, itu tidak mungkin tujuannya betul-betul untuk 
menyejahterakan rakyat dan negara Indonesia. Sudah pasti ada kepentingan
 strategis, kepentingan bisnis di belakangnya yang ikut dompleng 
persyaratan daripada undang-undang tersebut.

Ini semuanya kebanyakan bertentangan 
dengan Undang-Undang Dasar 1945, banyak sekali undang-undang begini. Dan
 ini adalah pintu masuk dari liberalisasi dan neoliberalisasi di dalam 
bidang ekonomi. Jadi, kalau zaman Belanda dulu, Belanda mau berkuasa di 
Indonesia, itu harus pakai senjata, harus pakai pasukan. Kalau sekarang 
itu tidak perlu, siapa saja boleh jadi presiden ya, siapa saja, partai 
apa saja boleh berkuasa. Yang penting, undang-undang dalam bidang 
ekonominya itu merupakan pesanan dari kepentingan asing. Dari situlah 
Indonesia dipaksa mengambil langkah-langkah dan undang-undang yang 
bertentangan dengan Undang- Undang Dasar 1945 dan bertentangan dengan 
itikad untuk memanfaatkan semua sumber daya alam itu untuk kesejahteraan
 rakyat dan bangsa.

Seharusnya, pembuatan undang-undang 
tidak boleh dibiayai oleh asing, harus dibiayai sendiri oleh APBN, 
sehingga undang-undang betul-betul mencerminkan kepentingan rakyat dan 
bangsa kita. Tidak mungkin asing membiayai dan memesan undang-undang 
tanpa melibatkan kepentingan strategis mereka.
Salah satu adalah menyangkut harga. 
Menurut UU Migas harga itu harus sama dengan harga internasional. Saya 
mengulangi kembali karena ini penting sekali. Contoh yang sangat 
sederhana, pulpen ini ongkos produksinya Rp90,00. Kalau dijual di 
Indonesia, harganya Rp100,00. Tetapi seandainya pulpen ini dijual di New
 York, harganya Rp1.000,00. Para ekonom neoliberal dan essensi UU Migas 
akan mengatakan, “Indonesia rugi karena kalau dijual di dalam negeri 
hanya Rp100,00, kalau dijual di luar negeri, di New York, ini 
Rp1.000,00.” Inilah di belakang dasar dari banyak pikiran supaya harga 
Migas di dalam negeri disamakan dengan harga internasional.

Internasionalisasi harga tersebut juga 
sudah terjadi di dalam bidang kesehatan, pendidikan, migas, dan 
sebagainya. Nah harganya, harga internasional, tapi pendapatan 
rakyatnya, pendapatan Melayu, pendapatan lokal. Kebijakan seperti ini 
adalah, strategi jalur cepat untuk mendorong proses pemiskinan 
struktural.

Kenapa? Kalau memang demikian, rakyat 
Indonesia berhak meminta, “Naikkan dulu dong pendapatan kami sama dengan
 di New York,” yaitu rata-rata U$40.000 atau Rp400.000.000,00. Kalau 
pendapatan rakyat sudah segitu, rakyat Indonesia saya rasa tidak 
keberatan, kalau harga-harga dinaikkan sama dengan di New York tidak ada
 masalah.

Negara-negara di Asia yang berhasil 
mengejar ketinggalannya dari barat, tidak langsung menyesuaikan dengan 
harga internasional, tapi terlebih dahulu mendorong, memacu pertumbuhan 
ekonomi di atas 10%, meciptakan lapangan kerja, meningkatkan pendapatan,
 baru harga-harga disesuaikan. Jadi, ada perbedaan mendasar dengan apa 
yang dilakukan di Indonesia dengan di negara-negara lain yang berhasil 
memakmurkan rakyatnya dan mengejar ketinggalannya dari Barat. Kita ini 
seolah-olah satu-satunya solusi hanya menyesuaikan harga dengan harga 
internasional dan berhutang.

Menurut hemat kami, internasionalisasi 
harga tersebut bertentangan dengan Undang- Undang Dasar 1945, terutama 
untuk komoditi-komoditi yang strategis, seperti migas, pendidikan, dan 
kesehatan. Kalau misalnya ini menyangkut mobil, elektronik, dan 
lain-lain, kami tidak ada masalah, serahkan kepada mekanisme pasar. Tapi
 kalau menyangkut kepentingan yang strategis, negara berhak menentukan 
dan melakukan intervensi agar harga itu tidak selalu sesuai dengan harga
 internasional. Apalagi apa yang disebut sebagai harga internasional 
itu? Selama 20 tahun terakhir, harga internasional bukanlah mencerminkan
 supply and demand. Saya mohon maaf, tadi ada saksi pemerintah yang mengatakan 
supply and demand.
 Tidak, itu adalah harga para spekulator financial yang mempermainkan 
harga-harga komoditi. Sebagian besar dari pembentukan harga itu adalah 
permainan para spekulator, bukan hanya hukum supply and demand.
 Jadi untuk Indonesia sekedar ikut-ikutan harga internasional, 
sebetulnya menyerahkan nasib kita kepada para spekulator internasional.


Satu yang penting, Pak Ketua. Menurut 
saya penting karena disinilah permainan utamanya. Pasal 33 Undang-Undang
 Dasar 1945 mengatakan, “Bumi, air, dan kekayaan alam Indonesia dikuasai oleh 
negara dan dimanfaatkan sebesarbesarnya
 untuk kesejahteraan rakyat Indonesia.” Di undang-undang yang asli itu 
tidak ada kata-kata dimiliki oleh rakyat Indonesia dan dikuasai dan 
dikelola oleh negara, sehingga akibatnya, istilah dikuasai itu sering 
bisa dimanipulasi, bisa direkayasa, akhirnya yang berkuasa beneran ya 
swasta, terutama asing. Mudah-mudahan nanti setelah pemerintahan ini 
berakhir kita mengajukan amandemen Pasal 33, sehingga kata-katanya 
menjadi lengkap. “Bumi dan air dan kekayaan alam Indonesia dimiliki oleh
 rakyat Indonesia, dikuasai dan dikelola oleh negara untuk dimanfaatkan 
sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat Indonesia”, supaya tidak ada
 lagi multitafsir dan rekayasa interpretasi.

Saya ingin memberikan contoh di sini di 
tabel yang diajukan oleh Pembela tentang “pemaknaan Pasal 33 UUD 1945 
hanya menyangkut pengaturan kebijakan, pengelolaan, pengurusan, 
pengawasan, dikuasai oleh negara. Tidak ada istilah dimiliki karena yang
 paling penting sebetulnya pemiliknya, walaupun di dalam Undang- Undang 
Dasar 1945 kita sendiri dikatakan manfaatnya digunakan sebesar-besarnya 
untuk rakyat. Artinya siapa pemiliknya itu? Ya rakyat, secara tidak 
langsung, kalau tidak buat apa digunakan sebesar-besarnya untuk rakyat. 
Jadi di dalam Pasal 33 itu sudah implisit kata dimiliki walaupun tidak 
eksplisit, sebetulnya itu milik rakyat.

Pada sidang yang terakhir, mantan Dirjen Migas yang bertindak sebagai saksi 
ahli Pemerintah, saya tidak tahu apakah itu conflict interest
 karena beliau waktu itu juga terlibat dalam penyusunan Undang-Undang 
Migas ini. Saksi Ahli tersebut disini mengatakan “Pemerintah tidak kasih
 apa-apa kok sama asing karena semua pengaturan dikelola oleh 
pemerintah, yang kita kasih itu cuma economic right-nya saja”. Wah, saya dengar 
itu kaget. ‘Economic right” itu yang paling ada nilainya, kalau tidak ada 
economy right-nya
 tidak ada nilainya itu barang. Justru itu yang paling berharga yang 
diserahkan sepenuhnya kepada asing, dan menurut saya itu interpretasi 
yang sangat berbahaya karena harusnya itu dikuasai oleh Pemerintah 
Indonesia. Contoh yang paling sederhana di sektor mineral banyak sekali 
dan juga berlaku di sektor Migas. Banyak perusahaan-perusahaan tambang 
besar dunia, salah satunya BHP Billiton dari Australia memiliki tambang 
batubara di Kalimanatan Tengah yang kadar batubaranya sangat tinggi 
(cooking coal) untuk industri baja. Puluhan tahun konsesi mereka tidak 
bikin apa-apa karena dia punya bisnis di tempat yang lain lebih menarik.
 Tetapi aset tersebut di dalam bukunya Billiton, itu masuk di dalam contingency 
asset.
 Dengan itu mereka bisa cari uang karena tambang itu kan sudah ada 
valuasinya, tambang di situ sudah dieksplorasi tapi tidak dikerjakan. 
Sudah ada estimate nilainya berapa, tinggal kalikan saja berapa dollar 
per ton. Nah itu dimasukkan ke dalam contingency asset, bisa 
mencari pinjaman dan kemudian hasil pinjamaan itu dipakai untuk 
investasi bisnis di luar Indonesia. Kasus-kasus seperti ini banyak 
sekali terjadi di sektor Migas. Kenapa? Karena pikiran seperti mantan 
Dirjen Migas kemarin, “kita tidak kasih apa-apa kok, kita kasih economy  
rights”. Justru yang paling berharga itu economy right-nya, bukan soal aturan 
macam-macam.


Kemudian ada hal-hal yang cukup penting di Pasal 3 Undang-Undang Migas, 
penyelenggaraan harus  accountable
 yang diselenggarakan dengan mekanisme persaingan usaha yang wajar, dan 
sehat, dan transparan. Dan saya setuju dengan Pembela dan Pemohon, hal 
ini adalah cara dan mekanisme, padahal yang paling penting itu prinsip 
dan tujuan. Prinsip dan tujuannya itu ada di Pasal 33 ayat (2), 
“Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat 
hidup orang banyak dikuasai oleh negara.” Prinsip dan tujuannya yang 
paling penting, tetapi kok didalam undang-undang itu mekanismenya malah 
yang lebih diutamakan. Di sinilah virus dari neoliberalisme itu masuk. 
Kok cara itu kan cuma sebagian, bukan hal yang terlalu penting.

Nah, kemudian menyangkut modus kerja sama, Indonesia menganut selama ini 
production sharing arrangement.
 Sebetulnya PSA bukan satu-satunya modus, ada kerja sama operasi, ada 
kepemilikan langsung. Negara-negara yang berhasil di sektor migas dan 
cukup kuat dan besar terutama di negara-negara Arab dan Latin Amerika 
itu tidak memakai PSA, tetapi memakai konsep kepemilikan (ownership). 
Aramco dikuasai oleh Pemerintah Saudi Arabia dalam bentuk kepemilikan 
saham mayoritas, ada asingnya minoritas. Nah apa manfaatnya ? Menurut 
saya sistem pemilikan mayoritas ini jauh lebih efektif dibandingkan PSA 
karena satu, cost control-nya bisa dilakukan secara internal, 
wong wakil dari pemerintah Saudi Arabia duduk di dalam manajemen, ikut 
melakukan kontrol manajemen, ikut melakukan control cost, 
proses alih teknologi juga lumayan bagus, dan sebagainya. Jadi, banyak 
dari raksasa-raksasa atau BUMN milik negara di negara-negara berkembang 
yang besar itu kebanyakan memiliki (ownership) saham mayorita. Memang 
ada asingnya sebagai pemilik minoritas. Jadi, PSA bukan satu-satunya 
opsi yang paling baik yang selama ini oleh pejabat selalu dibanggakan 
sebagai yang paling hebat, paling dahsyat, dan sebagainya. Kenapa? 
Karena sangat rawan terhadap mark up, biaya-biaya, hampir semua biaya dan saya 
juga dengar banyak biaya entertainment untuk menyogok pejabat Indonesia itu 
masuk recovery cost. Pak Hakim, itu bukan dongeng dan biaya lain-lain 
dibebankan kepada cost recovery.
 Dan yang kedua yang juga tadi Pak Hakim tunjukan produksi anjlok kok 
dari 1.300.000 barrel per hari menjadi hanya 850-an barrel per hari, 
tapi cost recovery-nya naik ya hampir dua kali dan saya mohon 
maaf tidak pernah ada penjelasan yang transparan dan hitung-hitungannya.
 Kenapa hal itu terjadi ? Saya dengarkan dengan hati-hati, keterangan 
wakil pemerintah yang ada itu tabel, grafik, produksi, tapi penjelasan 
kenapa cost recovery naik dua kali ?, produksi anjlok, apa 
komponen biayanya, bagaimana hitungannya tidak pernah dijelaskan kepada 
rakyat Indonesia secara terbuka.

Yang ketiga adalah budaya birokratis, 
semua mau dikontrol, semua mau diperiksa, tapi saya mohon maaf kultur 
control di Indonesia dan periksa ini itu juga sebagian besar identik 
dengan pemerasan. Semakin banyak kontrolnya, semakin banyak 
diperiksanya, semakin banyak yang harus diservis pejabatnya ya, jangan 
diartikan kontrol oleh negara itu hebat dan dahsyat karena cara 
kontrolnya itu mohon maaf tidak canggih. Sederhana kok, biaya 
menghasilkan oil di mana (on-share vs. off share). Kedalaman 
berapa itu saja dipegang ya, tidak usah sampai detail. Sehingga tidak 
aneh pemerintah Indonesia sejak 8 tahun terakhir telah memberikan 
ratusan konsensi di sektor minyak bumi dan gas, tapi tingkat eksplorasi 
sangat rendah. Penemuan cadangan baru nyaris tidak ada, kenapa ? Saya 
tanya kepada investor asing maupun pemain minyak dalam negeri, 
birokrasinya ruwet, ribet, itu dimuat di salah satu majalah oil and gas 
internasional, bahwa iklim investasi migas di Indonesia itu sangat ribet
 karena terlalu banyak kontrol, terlalu banyak macam-macam. Tapi tidak 
control terhadap cost, itu kadang-kadang banyak kontrol BP 
migas supaya nanti temannya bisa masuk sebagai pemasok atau apa, 
gitu-gitu aja tidak lebih dan tidak kurang.

Jadi, menurut hemat saya budaya 
birokratis  dalam kaitannya dengan BP Migas menurut saya tidak 
penting-penting amat. Saya mohon maaf, pada dasarnya fungsi BP migas itu
 bisa diambil alih oleh Dirjen Migas, oleh ESDM. Perbedaannya biaya BP 
migas sangat besar dibandingkan biaya Dirjen Migas karena dianggap 
profesional pegawainya harus biaya mahal sama kayak BPPN dulu dibikin. 
Kalau boleh sejarah diulang kembali walaupun bukan saya yang bikin BPPN,
 saya tidak akan bentuk BPPN. BPPN gajinya, gaji internasional, stafnya 
kebanyakan titipan dari bank-bank yang bermasalah. Sehingga recovery rate
 BPPN di Indonesia itu cuma 20%, di negara lain 40%, data-data banyak 
yang hilang. Kalau diserahkan kepada Bank untuk melakukan 
restrukturisasi, cost-nya lebih murah. Saya juga percaya kalau 
Dirjen Migas diberikan kewenangan lebih besar seperti halnya BP Migas 
bisa lebih efisiendan murah. Apa buktinya ya kan, biayanya kemahalan. 
Kemarin Bp Migas baru ulang tahun, ulang tahun saja di Ritz-Carlton. 
Saya sedih lihatnya, tidak ada prihatinnya, padahal kantornya sudah 
bagus kenapa tidak ulang tahun di kantor?, kenapa mesti di Ritz-Carlton?
 Ini contoh, kalau kita lakukan audit terhadap biaya BP Migas itu mahal,
 dampak dan manfaatnya kecil, kecuali jika BP Migas berhasil menekan 
cost recovery, berhasil meningkatkan produksi, okelah. Jadi menurut saya
 tidak penting-penting amat BP Migas. Lebih bagus fungsi regulasi Migas 
kita kembalikan kepada Dirjen Migas.

Kemudian ada Pasal 10 di Undang-Undang 
Migas, “Badan usaha atau bentuk usaha tetap yang melakukan usaha hulu 
dilarang melakukan kegiatan usaha hilir.”

KETUA: MOH. MAHFUD MD


Saudara Ahli supaya dipercepat ya.

AHLI DARI PEMOHON: RIZAL RAMLI


Iya Pak Ketua, akan saya percepat.

Pasal itu bagus supaya tidak ada 
monopoli vertikal. Tapi dalam praktiknya, Shell atau BP tinggal bikin PT
 di hilir, tetapi tetap di hulu, migas. Jadi, kalimat-kalimat di pasal 
itu, multiinterpretasi, sangat sumir. Dalam praktiknya, tetap terjadi 
integrasi vertikal. Kemudian pasal ayat (22) Migas tentang DPR. DPR 
hanya diberitahu, tidak dimintai persetujuannya. Yang kemudian yang juga
 penting pasal tentang arbitrase internasional. Di situ dikatakan kalau 
ada pertikaian, diserahkan kepada arbitrase internasional. Prof. Joseph 
Stiglitz, pemenang Nobel, melakukan studi, ternyata 99% dari hasil 
arbitrase internasional sangat merugikan negara berkembang dan selalu 
menguntungkan negara-negara maju. Oleh karena itu, pada tahun 2007, 
Stiglitz datang ke Jakarta, ketemu Presiden SBY, meminta agar arbitrase 
internasional ini dihapuskan dari rencana Undang-Undang Investasi. SBY 
seperti biasa, “Iya, bagus,” manggut-manggut, tapi tetap saja ada itu 
pasal arbitrase internasionalnya. Stiglitz ketemu saya, kecewa betul, 
“ternyata Presiden kamu bilang, ‘Iya, iya,’” ya kan? Kejadian terus itu 
berulang.

Kesimpulannya, Bapak Hakim Yang 
Terhormat, kami minta Undang-Undang Migas yang disponsori, dibiayai oleh
 USAID dengan membawa kepentingan strategis mereka bertentangan dengan 
semangat Undang-Undang Dasar 1945, sebaiknya dibatalkan. Banyak terjadi 
manipulasi dari kata dikuasai negara, sehingga menjadi multitafsir, 
sehingga pada praktiknya menjadi swastanisasi dan asingnisasi 
besar-besaran. Untuk itu kami minta dengan hormat kepada Ketua dan 
Anggota dari Majelis Hakim untuk menyatakan Undang-Undang Migas ini 
bertentangan dengan Undang- Undang Dasar 1945 dan menetapkan peraturan 
peralihan. Memang bakal ramai, tapi tidak apa-apa kok, ramai sebentar, 
ya. Masih lebih mending daripada di negara lain, dinasionalisasi. Di 
Venezuela dan banyak Negara Latin Amerika, sector migas di 
nasionalisasi. Kita tata ulang lagi undang-undang Migas agar supaya 
betul-betul bekerja sesuai dengan semangat Undang-Undang Dasar 1945. 
Terima kasih.***
  

-- 
Sent from my Computer®
 
                                          

Kirim email ke