Terimakasih Pak Iwan, 

 

Memang saya sering "gregeten" karena kita terlalu banyak "nrimo". 

 

Geologist dengan segala macam teorinya mengupas bagaimana kayanya mineral 
resources Indonesia. Tapi kalau aturan mainnya tidak jelas dan gonta-ganti, 
bagaimana kayanya kita,  tidak pernah bisa dibuktikan, dan mineral resources 
Indonesia akan tetap berupa "potensi".  

 

Saya ingin mengambil contoh dimana keikutan IAGI diperlukan.  

 

MK dalam kurun waktu empat tahun ini telah mengeluarkan tiga keputusan yang 
sangat menyusahkan geologist. Pertama adalah pembubaran BPMIGAS. Badan sudah 
berdiri 11 tahun dikatakan in-konstitutional.  Juga terjadi dengan ground 
water. Perusahaan sudah bertahun-tahun mengambil air tanah dianggap 
in-konstitutional atau illegal. Bulan Januari 2017, MK menghapus Pasal 11 yang 
tidak memperbolehkan perusahaan asing mendirikan Independent Power Plant yang 
memakai batubara. PLN tidak punya uang dan minta IPP untuk membangun. Sudah 
berjalan beberapa tahun, sekarang dianggap in-konstitutional?   

 

Memang, Indonesia tidak pernah "ngemplang". Segala sesuatu akirnya dapat 
diselesaikan dengan damai tanpa merugikan keuangan investor dengan cara 
merubah, menambah, dan membuat peraturan baru. PLN umpamanya sekarang sedang 
jungkir balik untuk mangakomodeer keputsuan MK. 

 

Keputusan MK adalah demi mengikuti UUD 45, Pasal 33 Ayat 3. Tidak ada faktor 
finaciil. Namun perlu diutarakan bahwa tanpa kecualian semua Negara didunia 
mempunyai UU demikian. Kalau Negara lain bisa menyesuaikan, kenapa Indonesia 
tidak? 

 

Yang terjadi sekarang adalah bahwa setiap keputusan MK telah merugikan 
Pemerintah sendiri tanpa memberi hasil yang significant. Dalam hal BPMIGAS 
menjadi SKKMIGAS cuma ganti baju. Padahal dengan adanya keputusan MK, kerugian 
sampai ratusan juta dollar yang ditanggung K3S tetapi akirnya dibayar oleh 
Pemerintah lewat cost recovery. 

 

Ketidakpastian merupakan momok bagi investor. Mereka sering kaget2 dengan 
peraturan baru termasuk keputusan MK. Hal ini menyebabkan investor enggan 
berinvestasi.  

 

Contoh sekarang adalah Geothermal yang sedang digalakkan Pemerintah. Investor 
takut kalau nantinya nasib sama yang menimpa dunia perminyakan, air tanah, dan 
batubara, akan juga  menimpa mereka.  Mereka takut kalau kontrak yang 
ditandatangani tidak berlaku dan dianggap in-konstitusional.   

 

Yang bisa bicara dengan MK, hanyalah IAGI bersama Assosiasi lainnya. Dengan 
menunjukan kerugian yang diderita Pemerintah dan negatif effek investor, 
diharapkan MK lebih mengerti persoalan yang dihadapi industri mineral resources 
Indonesia.    

 

Salam,

 

HL Ong

 

 

From: iagi-net@iagi.or.id [mailto:iagi-net@iagi.or.id] On Behalf Of munajat 
iwan - kangim...@yahoo.com
Sent: Saturday, February 4, 2017 7:57 AM
To: iagi-net@iagi.or.id; Ong Han Ling; iagi-net@iagi.or.id
Subject: Re: [iagi-net] Pentingnya IAGI membantu Pemerintah

 

Terima kasih pak Ong. 

Saya bukan orang didunia perminyakan. Lebih dari 29 tahun saya bekerja di 
eksplorasi dan pertambangan mineral dan batubara,  tetapi membaca tulisan2 pak 
Ong untuk IAGI selalu menggugah saya. Saat usia yg mulai sepuh tetapi idalam 
tulisannya selalu ada semangat yg membara untuk membangun indonesia yg lebih 
baik melalui IAGI. Selalu ada kesan berpihak dan mengajak dengan memberi contoh 
sikap seorang nasionalis dan ilmuwan sejati. 

 

Terima kasih pak Ong. Semoga pak Ong berumur panjang dan masih terus bisa 
sharing dengan kami. 

 

Hormat kami bekas muridmu. Yang sangat suka pelajaran geokimia karena selalu 
dapat photo copy pelajaran yg biaya photo copynya keluar dari saku sang dosen . 

Sebagai mahasiswa saat itu,  biaya photo copy  saja terasa sangat berat. 

 Salam

Iwan munajat. 

 

 

 

Sent from Yahoo <https://overview.mail.yahoo.com/mobile/?.src=Android>  Mail on 
Android

 

On Sat, 4 Feb 2017 at 1:31, Ong Han Ling

<wim...@singnet.com.sg> wrote:

Teman-teman IAGI,

 

Saya dapat undangan dari Serikat Pekerja Pertamina Hulu dan Indonesia Society 
of Petroleum Geologist, anak perusahaan IAGI, untuk memberi sumbang saran 
rencana penerapan Gross PSC yang diadakan tgl. 19 Januari, 2017. Sekitar 150 
participants dari K3S dan Pertamina hadir. Seminar dibuka dengan ceramah dari 
Wamen ttg. "Kontrak Bagi Hasil Gross PSC" atau KBHGS.

 

Ternyata tujuan seminar tidak sesuai isi undangan. KBHGS sudah berjalan dan 
telah ditandatangani dengan ONWJ sebagai percobaan. Contoh KBHGS baru saya 
terima tgl 19 Januari.   

 

Kemajuan dan kelangsungan IAGI tergantung dari "lakunya" KHBGS, yang sekarang 
sedang dipromosikan ESDM. Partisipasi IAGI diperlukan.

 

 

KEKURANGAN-KEKURANGAN "HASIL BAGI GROSS SPLIT"

 

Karena KBHGS baru diberikan pada kami waktu presentasi tgl. 19 Januari, saya 
tidak sempat membaca hingga presentasiasi saya tidak kena sasaran. Saya ingin  
memperbaiki dan memberi tanggapan terbatas pada pasal 4, 5, 6, dan 7 saja. 

 

Berdasarkan Pasal 6, kontrak ini terdiri dari dua bagian. Kalau eksplorasi 
berhasil, akan dilakukan persetujuan berikutnya berupa "Pengembangan lapangan" 
(seperti POD), berdasarkan hasil awal (base split) yang disesuaikan dengan 10 
komponen variable dengan 35 sub-komponen dan 2 komponen progresif dengan 13 
sub-komponen.  

 

Dalam industri natural resources semua perusahaaan ingin kontrak yang menyatu, 
yaitu dari  Eksplorasi sampai Produksi, seperti PSC sekarang. Istilahnya adalah 
 "From Cradle to Grave" atau "Dari Buaian sampai Nisan". Kalau eksplorasi 
berhasil langsung bisa produksi.  

 

Perlu juga diutarakan bahwa perusahaan minyak dalam kalkulasi profit memakai 
Expected Value, bukan NPV. Hal ini mereka lakukan karena antisipasi risiko 
kegagalan  eksplorasi seperti dry holes. Jadi kalau profit mereka batasi, 
seperti yang dikehendaki oleh Pemerintah, dengan memberi insentif berdasarkan 
komponen yang sudah ditentukan Pemerintah, bagian terbesar dari mereka akan 
menolak terutama untuk blok eksplorasi. 

 

Alasan K3S menolak simple, komponen variable dan progresif yang tercantum dalam 
kontrak tidak mencerminkan keadaan keseluruhan lapangan/blok hingga pasti akan 
timbul disputes, padahal K3S sudah mengeluarkan jutaan dollar untuk eksplorasi. 
 

 

Banyak komponen tidak ada dalam daftar KBHGS, seperti estimasi cadangan yang 
sangat penting. Indek harga besi juga tidak ada, padahal komponen ini penting 
dalam development lapangan. Komponen HSE tidak ada padahal kita akan berhadapan 
dengan sensitive areas seperti hutan lindung ataupun endangered species. Pajak 
tanah yang merupakan komponen penting tidak dibahas.  Dsb.   

 

Juga besarnya insentif/penalty tidak sesuai. Umpama untuk H2S diatas 500 ppm, 
diberikan insentif 1%. Padahal H2S antara 1-10% adalah umum?   

 

Demikian juga untuk kandungan CO2 sampai diatas 60% diberi insentif tetapi cuma 
4%. Ini tidak masuk akal. Gas diproduksi dan dipisahkan dari hydrocarbon yang 
hanya 40%. Pemisahan dilakukan diatas ground, berarti perlu fasilitas yang luar 
biasa besarnya. Kandungan CO2 yang sampai 60% harus diinjeksikan kembali dan 
dijamin tidak akan keluar atau mengotori reservoir maupun  gound water selama 
puluhan tahun. Biaya reinjection wells CO2 akan sangat tinggi dan insentif 4% 
tidak cukup. 

 

Sebagai contoh, waktu EXXON diminta untuk pengembangan gas raksasa Natuna yang 
mengandung 72% CO2, Exxon kalau tiak salah hanya sanggup memberi 10% FTP dan 
zero saham kepada Pertamina.    

 

Demikian juga Jenis Reservoir dibagi atas Konvensional (0%) sedangkan 
Non-konvensional dapat insentif 16%. Namun dalam non konvensional tidak 
dimasukkan "fractured reservoir" seperti Jatibarang. Perlu juga dimasukkan 
"Stratigraphic traps". Perlu juga dimasukkan untuk daerah yang ditutupi 
volcanics, limestone, basalt, dsb. yang menyebabkan biaya seismic yang mahal 
sekali. Hal-hal tsb diatas berisiko tinggi untuk melakukan pemboran hingga 
perlu  diberikan juga insentif 16%, bahkan mungkin lebih besar. Dll.?  

 

Contoh lain adalah insentif yang diberikan berdasarkan kedalaman laut, makin 
dalam makin besar insentif diberikan. Padahal didaerah Transition Zone atau 
daerah mangrove swamp, untuk melakukan eksplorasi dan pemboran sangat mahal. 
Juga laut bisa tidak terlalu dalam, tetapi ombak besar akan menyebabkan  biaya 
tinggi. Dll.

 

Karena HGBS adalah hal baru hingga kemungkinan besar banyak kekurangannya. 
Kalau tidak salah "sunk cost" tidak dibahas. Apakah sunk cost dibayar 
Pemerintah kepada K3S berdasarkan base split atau setelah koreksi dari berbagai 
komponen? Atau dibayar dari income tahun-tahun permulaan?   

 

Kontrak HBGS Split sangat berlainan dengan PSC yang sekarang sudah berjalan 
selama 50 tahun. PSC Indonesia yang berlaku sekarang relatif tipis, cuma 40 
halaman dobel spasi untuk jangka 30 tahun dari eksplorasi, development sampai 
produksi diterima dunia Internasional, tanpa keraguan. 

 

Hal ini sebetulnya sangat amazing, kontrak yang tipis sekali dengan banyak 
loopholes, tetapi diterima semua IOC. Mereka percaya PSC Indonesia karena sudah 
berjalan selama 50 tahun. Tapi yang juga tidak kalah pentingnya adalah 
perbankan Internasional mengakui PSC Indonesia dan mereka bisa menggunakan PSC 
Indonesia sebagai garansi atau agunan untuk digadaikan dan menerima pinjaman. 
Ini sangat penting karena tanpa kecualian, semua perusahaan harus pinjam uang 
waktu development. 

 

KBHGS berlainan sekali dengan PSC Indonesia sekarang. Akibatnya KBHPC akan 
diteliti benar oleh ahli hukum K3S dan Bank mereka. Kemungkinan besar bisa 
ditolak, kalau cadangan tidak bisa digadaikan.  Apakah kita berani mengambil 
risiko dalam keadaan sekarang ini? Kalau tidak, sebaiknya "don't rock the boat" 
dan pakailah existing PSC yang sudah baku dan pasti diterima oleh dunia 
Internasional. 

 

Juga perlu diutarakan bahwa sampai sekarang sudah 7 tahun UU Baru Migas masih 
digodok DPR. Bagaimana natinya kalau KBHGS bertentangan dengan UU Baru? 
Investor cenderung wait and see.   

 

Pertanyaan lain adalah, apakah kontrak sejenis ini dengan banyak vairiable dan 
berubah dengan waktu (harga minyak, kadar H2S, CO2, TKDN, dsb.) telah dipakai 
dinegara lain? 

 

 

USULAN.

 

Untuk meniadakan  keadaan negatip tsb.diatas, saya ingin mengusulkan untuk  
menggunakan "Cost Recovery Limit". CRL adalah ciri suatu PSC dan dipakai oleh 
Ibnu Sutowo periode 1966-1976. Antara 1976-1986, kata "limit" dilepas. 
Mengetahui Indonesia mengalami kerugian, tahun 1996 dikeluarkan FTP yang 
menjamin pemasukan negara antara 15-20%. TFP berlaku sampai sekarang. FTP 
dishare dengan K3S berdasarkan split dan berfungsi ganda, sebagai Cost Recovery 
Limit maupun sebagai royalty.  

 

Penerapan CRL bisa mengurangi secara significant kesulitan yang dihadapi BHGS 
dan mengurangi pekerjaan tender system a la SKKMIGAS. CRL bisa diterapkan 
langsung untuk blok-blok eksplorasi. CRL bisa diterapkan tanpa merubah existing 
PSC secara significant.           

 

Contoh yang ditandatangani Pak Ibnu tahun 1966 dengan IIAPCO dengan CRL sangat 
sederhana seperti terlihat dibawah.

              1. The State would have management control.

              2. The contract would be based on production sharing

              3. IIAPCO would bear production risk, and if oil was discovered, 
cost recovery            limited to 40%.

              4. After cost recovery the profit oil will be split 65/35 in 
favor of the State.

              5. Title to all project-related equipment bought by IIAPCO would 
pass to the       State. 

 

Contoh diatas mengambil CRL 40% dan split 65/35. Kita bisa merubah salah satu 
atau keduanya tergantung dari kebutuhan dan kepentingan Indonesia. Namun, 
begitu tertulis dalam kontrak, berlaku seterusnya. Inilah yang diingini K3S. 

 

K3S akan mendapatkan semua pengeluaran kembali dalam bentuk cost recovery,  
tapi pengeluaran tiap tahun dibatasi 40% dari oil/gas production. Kalau 
pengeluaran lebih dari 40%, umpamanya, kelebihannya bisa dicanking 
ketahun-tahun berikutnya (Loss carry forward).  

 

Pengawasn mudah, tinggal tunggu di wellhead, 40% minyak yang keluar dipakai 
sebagai expenses atau CRL. 

 

PSC menjadi simple. Tidak ada FTP. Tidak perlu adanya depresiasi. SKKMIGAS bisa 
implementasi tugas utamanya tanpa pamrih, yaitu menerapkan HSE dan TKDN. 

 

Dengan menerapkan CRL hanya dua parameter yang diawasi, besarnya share (contoh 
diatas 65%) dan besarnya CRL (contoh diatas 40%). Terjamin bahwa pemerintah 
Indonesia selalu dapat, mulai tahun pertama. Terjamin bahwa Oil company dapat 
memakai uangnya secara jauh lebih bebas tanpa selalu minta izin dari SKKMIGAS.  

 

Pemakaian CRL masih within the boundary dari PSC hingga bisa dipakai tanpa 
melakukan banyak perubahan. 

 

Istilah-istilah yang dipakai oleh PSC sekarang adalah cost recovery, profit 
oil, dan contractor. Sedangkan KBHGP yang bersistim Royalty/Tax, istilah tsb. 
akan diganti menjadi deduction, taxable oil, dan Oil Co. Dengan demikian 
Indonesia akan punya dua sistim, satu PSC dan satu Royalty/Tax sistim dengan 
istilah berlainan. Ini akan berakibat confusion. 

 

Salam,

 

HL Ong 

 

. 

 

 

 

 

 


----------------------------------------------------

JCM (Joint Convention Malang) 2017
Sep 25-28 September 2017
Malang

----------------------------------------------------

Iuran tahunan Rp.250.000,- (profesional) dan Rp.100.000,- (mahasiswa)
Pembayaran iuran anggota ditujukan ke:
Bank Mandiri Cab. Wisma Alia Jakarta (a/n IAGI)
No. Rek: 123 0085005314
Bank BCA KCP. Manara Mulia (A/n: Shinta Damayanti)
No. Rekening: 255-1088580

----------------------------------------------------
Subscribe: iagi-net-subscr...@iagi.or.id
Unsubscribe: iagi-net-unsubscr...@iagi.or.id
----------------------------------------------------
DISCLAIMER: IAGI disclaims all warranties with regard to information 
posted on its mailing lists, whether posted by IAGI or others. 
In no event shall IAGI or its members be liable for any, including but not 
limited
to direct or indirect damages, or damages of any kind whatsoever, resulting 
from loss of use, data or profits, arising out of or in connection with the use 
of 
any information posted on IAGI mailing list.


----------------------------------------------------

JCM (Joint Convention Malang) 2017
Sep 25-28 September 2017
Malang

----------------------------------------------------

Iuran tahunan Rp.250.000,- (profesional) dan Rp.100.000,- (mahasiswa)
Pembayaran iuran anggota ditujukan ke:
Bank Mandiri Cab. Wisma Alia Jakarta (a/n IAGI)
No. Rek: 123 0085005314
Bank BCA KCP. Manara Mulia (A/n: Shinta Damayanti)
No. Rekening: 255-1088580

----------------------------------------------------
Subscribe: iagi-net-subscr...@iagi.or.id
Unsubscribe: iagi-net-unsubscr...@iagi.or.id
----------------------------------------------------
DISCLAIMER: IAGI disclaims all warranties with regard to information 
posted on its mailing lists, whether posted by IAGI or others. 
In no event shall IAGI or its members be liable for any, including but not 
limited
to direct or indirect damages, or damages of any kind whatsoever, resulting 
from loss of use, data or profits, arising out of or in connection with the use 
of 
any information posted on IAGI mailing list.


----------------------------------------------------



JCM (Joint Convention Malang) 2017

Sep 25-28 September 2017

Malang



----------------------------------------------------



Iuran tahunan Rp.250.000,- (profesional) dan Rp.100.000,- (mahasiswa)

Pembayaran iuran anggota ditujukan ke:

Bank Mandiri Cab. Wisma Alia Jakarta (a/n IAGI)

No. Rek: 123 0085005314

Bank BCA KCP. Manara Mulia (A/n: Shinta Damayanti)

No. Rekening: 255-1088580



----------------------------------------------------

Subscribe: iagi-net-subscr...@iagi.or.id

Unsubscribe: iagi-net-unsubscr...@iagi.or.id

----------------------------------------------------

DISCLAIMER: IAGI disclaims all warranties with regard to information 

posted on its mailing lists, whether posted by IAGI or others. 

In no event shall IAGI or its members be liable for any, including but not 
limited

to direct or indirect damages, or damages of any kind whatsoever, resulting 

from loss of use, data or profits, arising out of or in connection with the use 
of 

any information posted on IAGI mailing list.

Kirim email ke