Terima Kasih Istriku 

Oleh : Zaim Uchrowi 


  Kemarin, tanggal 22 Februari, genap 20 tahun kami menikah. Sebuah angka yang 
belum apa-apa bagi banyak pasangan luar biasa. Mereka bisa merayakan 'kawin 
perak 25 tahun', 'kawin emas' 50 tahun, atau bahkan lebih. Buat mereka, 
pencapaian pernikahan 20 tahun tentu cuma pencapaian para pemula.
   
  Namun bagi saya dan istri, (baru) 20 tahun pernikahan adalah karunia besar. 
Di generasi kami, tak banyak yang mampu melewati waktu sependek itu secara 
mulus. Sejumlah orang yang saya kenal baik gagal melanjutkan pernikahannya. 
Alasannya beragam. Padahal, banyak di antara mereka yang berpendidikan tinggi. 
Kadang pengetahuan agamanya juga tak diragukan. Kenapa begitu? 
   
  Sesekali saya dan istri mendiskusikannya. Kami sepakat: Penyebab tersering 
perceraian adalah selingkuh. Ketika salah satu pihak mulai mencederai komitmen 
awalnya dan berselingkuh, goyahlah sendi-sendi keluarga. Terutama bila 
selingkuh itu telah diwarnai hubungan seksual. Lewat pernikahan diam-diam, 
apalagi zina. 
   
  Tidak sedikit orang berselingkuh dan tidak merasa berdosa karena tidak 
berzina. "Kan cuma 'curhat', atau makan bareng," kilahnya. Tapi, sulit bagi 
penyelingkuh buat menyangkal bahwa curhat itu adalah kerikil yang ia tabur 
sendiri ke tengah jalan perkawinannya.
  Kadang penyebab kandas perkawinan lebih sepele: "Sudah nggak cocok lagi!" 
Begitu ringan kalimat itu diucapkannya. Pasangan demikian, mungkin sangat 
berpengalaman berganti-ganti pacar sebelum menikah. Anak-anak sekarang biasa 
empat-lima kali ganti pacar sebelum menikah. Dalam pacaran, kalau ada masalah 
putus saja. Ngapain pusing. 
   
  Kebiasaan itu dibawa ke perkawinan. Buat mereka pernikahan begitu kasual: toh 
banyak yang saat menikah sudah tak perjaka dan perawan. Pernikahan cuma sedikit 
lebih sakral ketimbang pacaran. Saya bersyukur tidak masuk kategori 'anak 
sekarang' itu. Semoga anak-anak saya pun tidak masuk kategori itu.
   
  Tapi, tak semua pasangan 'nggak cocok' memilih berpisah. Banyak pula yang 
memilih mempertahankan pernikahannya. "Awet rajet," begitu kata orang Sunda. 
Bertengkar melulu tapi terus bertahan. Alasannya beragam. Misalnya, demi anak. 
Dalam model keluarga begini, kita akan sibuk mendaftar kesalahan pasangan 
sendiri. Kita cenderung menudingnya tak bertanggung jawab pada anak. 
   
  Sangka kita, kita lebih bertanggung jawab dan lebih baik pada keluarga. Kita 
lupa bahwa pasangan hidup, sedikit banyak, adalah cermin diri sendiri. Jika 
nilai rapornya menurut kita merah, hampir pasti merah pula nilai rapor kita. 
Kita tak lebih baik dari pasangan kita. Mengapa kita tak memperbaiki diri 
sendiri saja? Biarkan ia memperbaiki dirinya sendiri pula. Mengapa kita terus 
menjadikan anak sebagai 'senjata' buat menghadapi pasangan sendiri?
   
  Ada pula model berkeluarga yang sekarang sedang menjadi 'tren'. Biasanya, 
posisi suami di keluarga sangat dominan. Ketika ekonomi keluarga kian mapan, 
dan ikatan suami-istri tak lagi terbungai perasaan berdebar-debar, suami pun 
membidikkan mata dan hati pada perempuan lain. Berzina jelas haram. Solusinya 
adalah pernikahan. Istri dengan istri dipersandingkan. Tak penting bagaimana 
perasaan istri yang dulu seperti dijanjikan menjadi ratu keluarga sepanjang 
usia. 
   
  Tak penting pula bagaimana perasan anak-anak, meskipun mereka merasa malu 
atas langkah ayahnya. Laki-laki demikian umumnya punya kemampuan untuk membuat 
istri dan anak-anaknya terdiam. Apalagi bila menggunakan alasan syariah. Sebuah 
format syariah yang berbeda dengan yang ditunjukkan pasangan Muhammad 
SAW-Khadijah: Mereka hidup bersama tanpa poligami hingga maut memisahkannya.
   
  Perjalanan 20 tahun pernikahan saya tidak semeriah kawan-kawan itu. Pesta 
pernikahan saya dulu sederhana saja. Saya merasa tidak sepantasnya bila awal 
perjalanan dipestakan megah. Saya dan istri lalu mengisi pernikahan dengan 
langkah-langkah sederhana. Misalnya, untuk sama sekali tidak pernah meninggikan 
suara karena hanya akan saling melukai. 
   
  Juga untuk tidak mengatakan "saya kan sudah berkurban ..." karena pernyataan 
itu sebenarnya lebih merupakan ekspresi menuntut dibanding sungguh-sungguh 
berkurban. Kami saling mendoakan, juga mendoakan secara spesifik anak-anak 
dengan menyebut nama satu persatu, setiap habis shalat. Juga menciptakan 
suasana agar setiap anggota melangkah hanya yang dapat membuat semua anggota 
keluarga lain dapat berjalan 'tegak'. Itu langkah kami. 
   
  Kini hari-hari kami banyak terisi dengan duduk bersama menikmati kesenyapan 
dengan tangan saling genggam, menunggu Subuh diazankan. Sungguh itu merupakan 
karunia luar biasa. Sebuah kenyamanan yang mencetuskan tanya istri saya: 
"Mengapa pada banyak orang begini saja tidak bisa? Apa sulitnya?" Saya tak tahu 
jawabnya. Saya hanya bisa berkata "Terima kasih ya." 

 
---------------------------------
Don't get soaked.  Take a quick peak at the forecast 
 with theYahoo! Search weather shortcut.

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke