Membaca opini dari Tempo tadi, saya malah lebih condong agar pemenang pilpres 
depan adalah pasangan yang dalam hitungan politik justru dikira kalah. 
Stidaknya, agar mereka yang selama ini menggadang-gadangkan "bonus" dari jerih 
payah koalisi jadi kecele...

--- Pada Sab, 6/6/09, Falahuddin Qudsi <falahuddinqu...@gmail.com> menulis:


Dari: Falahuddin Qudsi <falahuddinqu...@gmail.com>
Topik: Re: [IKBAL Al-Amien] Re:PKS dan PKB = "hamba" SBY
Kepada: ikbal_alamien@yahoogroups.com
Tanggal: Sabtu, 6 Juni, 2009, 10:12 PM









Ustadz Zulfan, gak usah kesel dg itu, pks juga butuh biaya sebagai lokomotif 
partai biar ttp hidup, klo ngandalin terus dari kadernya kan keder juga, jadi 
yg real itu ya mendukung calon yg secara hitung2an politik bakal menang. 

Nah, sekarang yg selama ini nyebut pks sebagai partai paling islam, siap2 saja 
narik statemennya, sebab gak ada itu sarana pragmatis yg islami, percaya deh 
itu semua hanya bualan. [ini biar di 2014 nnti gak ada lg yg kecele dg merk 
islami dlm partai]. Setelah Masyumi, kt sulit mengidentifikasi partai yg betul2 
bernilai Islam.

Alasan yg barangkali realistis itu ya kalo calon yg diusung pks berhasil 
menang, otomatis pks punya jatah menteri di pemerintahan dan itu sebagai modal 
utk 2014 nnti. Demikian pula dg partai lainnya, semua berkepentingan.  

Ini ada opini dari Tempo ttg neolib-politik pks di Indonesia: 

Neoliberalisme Kerudung ala PKS
Senin, 01 Juni 2009 | 15:50 WIB
TEMPO Interaktif, Jakarta: Neoliberalisme bertujuan untuk mengembalikan 
kepercayaan kepada pasar. Fondasi utamanya adalah kebebasan seluas-luasnya 
sehingga menciptakan keadaan di mana kehidupan publik tunduk pada logika 
pasar.. Tidak ada ranah kehidupan yang tidak bisa dijadikan komoditas. Semua 
bisa diperjualbelikan. Fungsi sosial masyarakat yang merupakan nilai dasar 
manusia direduksi sedemikian rupa sehingga tidak lebih dari komoditas ekonomi 
belaka. Pada kondisi seperti inilah politik tidak lagi memiliki makna. Politik 
seharusnya merupakan keputusan-keputusan yang menawarkan nilai-nilai. Sedangkan 
dalam konsep neoliberalisme, hanya satu cara rasional untuk mengukur nilai, 
yaitu pasar. 
Polemik seputar masalah neoliberalisme pada hari-hari belakangan ini masih 
berkutat pada masalah kebijakan ekonomi. Masyarakat terjebak pada perdebatan 
yang mengawang-awang. Kita pun berpikir seolah-olah tidak terjebak dalam 
neoliberalisme. Pendakwa dan terdakwa dalam polemik menahbiskan diri sebagai 
bukan bagian dari neoliberalisme. Sehingga pada titik tertentu perdebatan ini 
berujung pada pencitraan diri yang berlebihan. Tapi apakah benar kita belum 
terjebak dalam neoliberalisme? Apakah kita belum mereduksi nilai sosial 
kemasyarakatan sekaligus masih mengejawantahkan fungsi politik yang hakiki? 
Sebelum pertanyaan-pertanya an ini menjadi polemik jilid kedua dari 
neoliberalisme, Mahfudz Sidik, salah seorang Ketua DPP Partai Keadilan 
Sejahtera, telah menjawabnya. Sebagaimana diberitakan dalam situs 
www.mediaindonesia. com (Selasa, 26 Mei 2009), Mahfudz memberi pernyataan, 
"...sentimen semacam ini (mengenakan kerudung) akan dimanfaatkan oleh kandidat 
lainnya. Memang (penampilan) istri JK dan Wiranto bagus. Kalau Ibu Ani dan 
istri Boediono memakai kerudung akan memunculkan efek positif bagi publik 
terhadap dukungannya untuk SBY-Boediono." Selanjutnya, masih mengutip portal 
berita yang sama, Mahfudz menyatakan, jika saran memakai kerudung dilaksanakan, 
PKS akan lebih mudah mengarahkan kader dan simpatisannya agar memilih 
SBY-Boediono. Dalam media yang sama, hal ini didukung oleh Ketua DPP PPP Lukman 
Hakim Syaifudin.
Dalam iklim demokrasi kita yang sangat menjunjung tinggi kebebasan ini, bahasa 
politik semakin gampang dicerna. Ini bukan lantaran pesan-pesan politik semakin 
mengakar dengan permasalahan masyarakat, melainkan disebabkan oleh 
penyederhanaan politik itu sendiri. Mengenakan kerudung yang merupakan sebuah 
nilai spiritual, yang dalam kaidah Islam arus utama wajib hukumnya bagi setiap 
wanita, telah direduksi oleh Mahfudz Sidik sekadar menjadi sentimen.. Sehingga 
seolah-olah kerudung yang dikenakan oleh istri Jusuf Kalla dan Wiranto hanya 
katalisator untuk meningkatkan sentimen positif pasar (pemilih) terhadap 
pasangan JK-Wiranto. Memperdagangkan kerudung sebagai sebuah "barang" tentu 
tidak salah, banyak rakyat kita yang hidup dari usaha itu.
Tapi memperdagangkan "nilai" memakai kerudung sebagai sebuah komoditas politik 
bukan hanya mereduksi nilai spiritual agama, tapi juga secara tidak langsung 
mempertanyakan otoritas hukum agama. Bukankah pernyataan di atas itu juga 
seolah-olah mempertanyakan otentifikasi pemakaian kerudung oleh istri JK dan 
Wiranto; apakah karena Allah atau sekadar untuk menciptakan sentimen positif? 
Saya tidak seberani Sidik menjawab pertanyaan itu.
Bila Ibu Ani dan Ibu Herawati mengenakan kerudung, Mahfudz menyatakan akan 
lebih mudah mengarahkan kader dan simpatisan PKS. Kerudung, yang pada konsepnya 
merupakan wujud ketundukan kepada Yang Maha Kuasa, dalam politik kita saat ini 
tunduk pada kehendak pasar. Penutup aurat itu adalah sentimen yang bisa 
dimainkan di tengah-tengah pemilih yang dalam asumsi para politikus kita lebih 
mementingkan simbol daripada nilai. Kader dan simpatisan PKS pun berubah 
menjadi angka statistik di mana aspirasinya tecermin dalam kurva-kurva yang 
akan bereaksi terhadap sentimen simbol-simbol keagamaan, seperti kerudung. Bila 
nilai memakai kerudung saja bisa direduksi sedemikian rupa menjadi sentimen, 
kita bisa mempertanyakan simbol-simbol agama yang menjadi platform 
partai-partai Islam, seperti PKS dan PPP. Maka semakin kuat saja kecurigaan 
bahwa simbol-simbol agama yang selama ini diusung tidak lebih dari bentuk 
neoliberalisme politik, reduksi nilai menjadi komoditas
 untuk meningkatkan jumlah kursi dan menaikkan tawaran politik. 
Pada saat nilai-nilai telah direduksi menjadi sentimen, kepemimpinan menjadi 
komoditas dan rakyat cuma dianggap sebagai pasar, maka kita tidak lagi perlu 
berdebat tentang apakah neoliberalisme itu telah hadir di Indonesia ini.. Kita 
tidak bisa lagi mensimplifikasi polemik seputar neoliberalisme sekadar masalah 
kebijakan ekonomi. Sebab, yang menakutkan dari neoliberalisme bukanlah pasar 
bebas yang akan terus memperlebar jurang antara orang yang berpunya dan yang 
tidak, melainkan pada saat politik tidak lagi mampu memberi keputusan-keputusan 
yang menghasilkan nilai-nilai. Politik menjadi parade kepalsuan, nilai menjadi 
sentimen, kepemimpinan jadi komoditas, rakyat jadi pasar, dan tentu saja semua 
kepalsuan butuh konsep pencitraan diri yang sempurna. Para kandidat bisa 
menghabiskan berhari-hari waktunya untuk memoles diri, sedikit hari yang 
tersisa digunakan untuk menyambangi konstituen. 
Kita perlu berterima kasih kepada Mahfudz Sidik dan PKS, yang lewat 
pernyataannya memberi kita gambaran tentang neoliberalisme politik yang tengah 
menggurita. Pernyataan ini memberi terang kepada kita tentang anomali politik 
yang terjadi belakangan ini. Kerudung untuk Ibu Ani dan Ibu Herawati, 
demikianlah cara PKS menerapkan neoliberalisme politik di Indonesia. 
MIFTAH SABRI MANGKUDUN, pemerhati politik dari Universitas Indonesia


sumber: http://www.tempoint eraktif.com/ hg/kolom/ 2009/06/01/ kol,20090601- 
81,id.html


 

 


2009/6/6 Zulfan Syahansyah <abdurahmanmakky@ yahoo.co. id>













Saya kira, untuk kasus pernyataan Tifatul mengenai Jilbab sudah tidak bisa 
dianggap sepele lagi. Jika pernyataan itu keluar dari politisi nasionalis, 
mungkin masih dimaklumi. Tapi sosok Tifatul adalah politisi yang agamis, 
pemimpin partai yang paling "Islam" di antara beberapa partai Islam lainnya. 
Saya malah berasumsi: apa karena takut dukungannya pada SBY tidak setimpal 
dengan yang akan didapat, hingga teganya Tifatul menggadaikan ideologi partai?  
Ini hampir sama dengan "penghambaan" PKB-nya Muhaimin. Takut dianggap 
kualisinya tidak maksimal, hingga berencana memecat ketua fraksi PKB di DPR 
yang menyetujui angket. Dasar....... ....


--- Pada Sab, 6/6/09, fathur rozi <fathurrozink@ yahoo..com> menulis:


Dari: fathur rozi <fathurrozink@ yahoo.com>
Topik: Re: [IKBAL Al-Amien] JILBAB HANYA SELEMBAR KAIN
Kepada: ikbal_alamien@ yahoogroups. com
Tanggal: Sabtu, 6 Juni, 2009, 9:16 AM






Presiden PKS dalam Majalah Tempo Edisi 7 Juni 2009 halaman 29 mengatakan “Apa 
kalau istrinya berjilbab lalu masalah ekonomi selesai? Apa pendidikan, 
kesehatan, jadi lebih baik?”
 
Menyikapi pernyataan Presiden PKS di Majalah Tempo tersebut, pernyataan seperti 
itu selayaknya tidak muncul dari seorang presiden partai karena tidak ada 
hubungannya antara orang berjilbab dengan pemulihan ekonomi. Berjilbab adalah 
bukti satu langkah menajalankan ajaran Islam. Sedangkan pemulihan ekonomi 
adalah tugas segenap bangsa yang tak ingin kondisi ekonomi terpuruk.  
 
Lalu pertanyaan yang mucul, apakah kalau tidak berjilbab masalah ekonomi 
selesai juga. Apa pendidikan, kesehatan jadi lebih baik? Berjilbab adalah 
keputusan individu untuk menjalankan syariat Islam, sedangkan memperbaiki 
ekonomi adalah kewajiban bangsa  untuk memulihkannya. 

  
Karena itu, masalah jilbab selayaknya tidak dibawa ke persoalan politik, 
apalagi menjelang Pemilu Pilpres. Elit politik seharunya mampu mengendalikan 
diri, jangan terlalu jauh hingga sampai masuk pada persoalan yang sudah jelas 
aturannya. 

 Melalui selembar kain itulah, wanita mewujudkan ketaatannya kepada ajaran 
agama yang diakuinya. Dengan selembar kain pula wanita mempersembahkan 
keindahan untuk agamanya. Dengan selembar kain itu wanita menjaga 
kehormatannya. Begitu kira2. 





  
  
  
  
 Regard,


Fathurroji NK


Blogger: 
www.rojinulis. blogspot. com 






From: badrie sofyan <sofy...@yahoo. co.uk>
To: ikbal_alamien@ yahoogroups. com
Sent: Thursday, June 4, 2009 1:19:28
Subject: [IKBAL Al-Amien] JILBAB HANYA SELEMBAR KAIN








Salam, 
 
ini ada uneg2 dari milis tetangga sbelah...
 
Sofyan Badrie
Youneral 1991

--- On Thu, 4/6/09, A.F. Riadi <afriadi_ajo@ yahoo.com> wrote:


From: A.F. Riadi <afriadi_ajo@ yahoo.com>
Subject: [idewe] JILBAB HANYA SELEMBAR KAIN
To: id...@yahoogroups. com
Date: Thursday, 4 June, 2009, 12:53 PM








Presiden PKS, Tifatul Sembiring, di Majalah Tempo edisi 1-7 Juni 2009 di hal 
29, berujar, "Apa kalau istrinya berjilbab lalu persoalan ekonomi selesai? Apa 
pendidikan, kesehatan, jadi lebih baik? SOAL SELEMBAR KAIN SAJA KOK DIRISAUKAN?"

ASTAGHFIRULLAH, Ane Sedih, taubat Pak! 
Bagaimana jika pernyataan itu dilanjutkan sbb: "Apa kalau capresnya sholat, 
puasa, zakat, dan berhaji lalu masalah ekonomi selesai? Apa pendidikan, 
kesehatan, jadi lebih baik?"

Sama dengan shalat, puasa, zakat, dan haji, JILBAB itu perintah agama. 

Demi berkoalisi dg SBY-NO, Tifatul tega mereduksi perintah al-Qur'an jadi "SOAL 
SELEMBAR KAIN". Kalo memang hanya selembar kain, berani ga Tifatul minta 
istrinya tidak memakai jibab? Astaghfirullah, nauzubillahi min zalik. 

Apa karena kekuasaan Bapak bisa berpikir spt penganut paham yang selama ini 
ditentang PKS: sekularisme, yang memisahkan antara ranah agama dg ranah publik, 
politik, dan kekuasaan. Atau PKS sudah berubah menjadi Partai Kaum Sekularis? 

Politik ini betul-betul dahsyat. Bahkan partai yang selama ini selalu mengusung 
ISLAM KAFFAH pun dalam hitungan detik bisa berubah haluan begitu jauh. 
Nauzubillah min zalik.

Afriadi Ajo






New Email names for you! 
Get the Email name you've always wanted on the new @ymail and @rocketmail.
Hurry before someone else does! 


Cepat, Bebas Iklan, Kapasitas Tanpa Batas - Dengan Yahoo! Mail Anda bisa 
mendapatkan semuanya. 

















      Apa dia selingkuh? Temukan jawabannya di Yahoo! Answers. 
http://id.answers.yahoo.com

Kirim email ke