Artikel:  Perjalanan Menunggangi Angin
 
Hore,
Hari Baru!
Teman-teman.
 
Jika kita hendak memulai sesuatu, maka sebaiknya terlebih dahulu diperhitungkan 
baik dan buruknya. Untung dan ruginya. Peluang dan resikonya. Begitulah cara 
berpikir orang modern di zaman ini. Semakin canggih kita berpikir, mestinya 
semakin rapi perencanaan yang kita buat. Dan semakin sukses kita ketika 
menjalaninya. Begitulah teorinya. Faktanya, kita sering tidak jadi melakukan 
sesuatu setelah melakukan analisis rumit yang menjadikan diri kita terserang 
paralisis. Sebaliknya, kita mengenal orang-orang sederhana yang sedikit 
berpikir, namun banyak bertindak. Alih-alih mengalami resiko kerugian yang 
sering kita takutkan, malah banyak diantara mereka yang memetik keberhasilan. 
Sementara kita masih berkutat dengan perhitungan-perhitungan yang indah di atas 
kertas. Apakah Anda juga demikian?
 
Di halaman rumah saya terdapat beberapa jenis tanaman hias. Salah satunya 
adalah Adenium. Saya yakin banyak sekali orang yang mengenal tanaman berbunga 
indah itu. Namun, saya tidak begitu yakin jika cukup banyak orang yang 
mengetahui bagaimana tanaman itu berkembang biak secara alami. Suatu hari saya 
mendapati tangkai yang menyerupai tanduk tumbuh pada salah satu batang Adenium 
kami. Karena letaknya persis di jalur masuk ke garasi, maka setiap hari saya 
memperhatikannya. Beberapa hari kemudian, batang serupa tanduk itu pecah. Lalu 
dari dalamnya bermunculan beberapa lempengan kecil seperti batang korek api 
namun ukurannya lebih pendek. Di kedua ujung benda mirip korek api itu terdapat 
semacam sayap seperti bulu-bulu berwarna putih. Saya belum benar-benar memahami 
bentuk penciptaan itu sampai suatu sore angin berhembus menerbangkan 
biji-bijian itu.
 
Saya benar-benar seperti orang pilon ketika melihat biji-biji itu beterbangan. 
Bukan hal yang aneh memang, sebab dulu ketika masih kecil sering melihat begitu 
banyak tanaman perdu yang biji-bijinya beterbangan seperti itu. Sekarang saya 
terpukau bukan semata-mata karena sudah lama tidak melihat fenomena itu, 
melainkan karena saya mendapatinya dari tanaman yang tidak pernah saya duga 
memiliki perilaku berkembang biak serupa itu. Saya sungguh-sungguh mengikuti 
beberapa biji yang terbang. Diantaranya ada yang melanglangbuana menuju ke 
tempat yang tidak mampu saya gapai. Lalu sambil mengendarai angin, dia seolah 
melambai kepada saya yang masih termangu. 
 
Tiba-tiba saja saya merasa tengah mendapatkan sebuah cemoohan. Saya yang 
mengaku sebagai mahluk yang diciptakan melebihi mahluk lainnya ini ternyata 
tidak memiliki keberanian seperti yang biji-biji Adenium itu miliki. Sampai 
seusia ini, rasanya saya masih sering ingin bersembunyi di belakang orang-orang 
yang saya percaya bisa menjadi sandaran. Sedangkan biji-biji Adenium itu sudah 
berani menghadapi hidup bahkan sebelum mereka berbentuk. Mereka tidak 
menggelayuti induk pohonnya. Malah mereka menantang angin untuk datang lalu 
memperlakukannya laksana seekor naga terbang yang bisa ditunggangi untuk 
menjelajahi langit. 
 
Mengapa saya begitu takutnya untuk menghadapi hidup dengan diri saya sendiri, 
padahal mereka yang saya kira rapuh malah memiliki jiwa yang begitu tangguh? 
Sungguh, sampai saat ini saya masih sering merasa takut untuk menjelajahi dunia 
yang saya tidak tahu akan berakhir dimana. Logika saya masih terlalu sering 
memonopoli. Ketika saya memiliki suatu keinginan, maka logika ini membombardir 
jiwa saya dengan informasi tentang kurangnya ini dan itu. Ditambah lagi dengan 
resiko berupa seribu satu kemungkinan tidak menyenangkan yang bisa menjadi 
akhir tragis dari perjalanan saya. Sehingga saya sering berhenti, bahkan 
sebelum benar-benar memulai sebuah tindakan. Makanya pikiran saya sering 
dipenuhi oleh beragam gagasan, namun kaki saya tidak pernah berhasil membuat 
sebuah langkah pertama untuk mewujudkannya.  
 
Hanya berselang beberapa hari kemudian, saya mendapati objek mirip batang korek 
api itu di halaman rumah kami. Kali ini, sudah tidak utuh lagi. Sayap bulu 
putihnya sudah tanggal. Dan kulit berwarna kremnya sudah terkelupas. Dari balik 
kulit pembungkus itu menyembul sebuah titik berwarna hijau. Saya mengamatinya 
hari itu. Lalu esok paginya saya mendapati titik hijau itu sudah menyembul 
berupa tunas dengan dua helai daun-daun mungil. Sekarang saya sudah menemukan 
dan mengumpulkan 2 tunas Adenium baru kami. Hasil dari sebuah keberanian 
biji-biji itu untuk mengambil resiko. Saya tidak tahu, apakah saya berani 
menyerahkan diri kepada angin tanpa harus bertanya;”Kemana engkau akan 
menerbangkan diriku?”
 
Saya membutuhkan waktu berhari-hari untuk memahami pelajaran ini. Sangat sulit 
untuk menerimanya dengan seluruh tubuh kasar dan nurani halus saya. Tidak 
peduli betapa kerasnya saya berusaha mengajak hati ini memiliki nyali seperti 
yang dimiliki biji-biji korek api Adenium itu, tetap saja logika saya 
menimpali;”Be logic, please!” Tidak peduli berapa besarnya keinginan saya untuk 
’yakin’, namun hitungan matematis saya mengatakan;”calculate the risk, 
please!”. Saya benar-benar ragu untuk menunggangi angin sebelum memberi 
kepastian bahwa dia akan menerbangkan saya ke tempat yang indah. Sementara biji 
korek api Adenium itu seolah kembali mentertawakan keciutan hati ini. 
”Tunggangi, angin!” katanya. ”Dan biarkan dia menerbangkan dirimu menuju 
nasibmu....” lanjutnya. 
 
”Nasib seperti apa?” begitu saya menyanggah. Bukanlah nasib jika saya tidak 
tahu akhirnya akan menjadi seperti apa. Sehingga saya memilih untuk tinggal 
disini saja. Lalu seperti biasanya, memenjarakan diri dalam zona kenyamanan 
yang memanjakan. 
 
Biji korek api Adenium itu memanggil lagi. ”Tunggani anginmu!” katanya. Angin 
lagi. Angin lagi. Ada apa sih sebenarnya dengan angin? Mengapa begitu bawelnya 
dia memanggil-manggil saya?
 
Sekarang, di tangan saya ada kitab suci. Sungguh, selepas sembahyang magrib ini 
saya membaca ayat-ayat sekenanya saja. Saya tidak berusaha mencari-cari jawaban 
apapun selain membaca apa yang ada pada halaman yang saya buka. Namun seolah 
Tuhan mengantarkan saya kepada sebuah jawaban atas kegundahan yang selama 
berhari-hari menyelimuti sekujur tubuh dan nurani ini. Saya menemukan sebuah 
ayat dalam firman Tuhan. Ayat itu berbunyi; ”Dan diantara tanda-tanda kebesaran 
Tuhan adalah bahwa Dia mengirimkan angin sebagai pembawa berita gembira....”
 
Sampai di ujung ayat itu, saya tidak lagi mampu untuk berkata-kata. Hati saya 
sekarang telah terisi oleh sesuatu yang saya tidak tahu apa. Namun, rasanya 
saya mulai memiliki keyakinan. Bahwa angin kehidupan ini pun sengaja dikirimkan 
Tuhan untuk saya tunggangi. Seperti naga yang liar, angin itupun mungkin akan 
bisa dijinakkan. Bukan dengan cara mengalahkannya. Melainkan dengan menyatukan 
diri dengan iramanya. Lalu membiarkan kuasa Tuhan untuk membawa kemana saja Dia 
menggerakkannya. Menakutkan memang. Namun, seperti kalimat selanjutnya dalam 
firman Tuhan itu. Dia bertitah;”....dan agar kamu merasakan sebagian dari 
rahmat-Nya....”.
 
Tuhan. Jika Engkau menjanjikan rahmat-Mu diujung perjalanan menunggangi angin 
itu, bagaimana aku bisa membiarkan keraguan dan rasa takut ini menguasai 
relung-relung hatiku?  
 
Mari Berbagi Semangat!
Dadang Kadarusman 
Writer, Trainer, and Speaker
www.bukudadang.com dan www.dadangkadarusman.com 
 
Catatan Kaki:
Tidak seorang pun benar-benar tahu apa yang akan terjadi esok hari. Namun, 
tidak mungkin Tuhan menyia-nyiakan orang-orang yang gigih  berusaha sambil 
berserah diri.
 
Melalui project Mari Berbagi Semangat! (MBS!) sekarang buku saya yang berjudul 
”Belajar Sukses Kepada Alam” versi Bahasa Indonesia dapat diperoleh secara 
GRATIS. Jika Anda ingin mendapatkan ebook tersebut secara gratis silakan 
kunjungi petunjuknya di www.bukudadang.com  
--------------------------------
Buku-buku terbaru Dadang Kadarusman sudah tersedia di toko buku atau bisa 
dipesan di http://www.bukudadang.com/


      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke